"Wah, ada tamu!" kalimat yang membuat padmarini membeku menahan nafas.
"Kak, ini Bunda aku." Cira memperkenalkan Hebilla pada mereka berempat. Namun tanggapan mereka tak sesuai ekspektasi. Melihat mereka yang hanya diam saja, membuat Cira menatap bingung begitu juga dengan Hebilla.
"Apa aku semenyeramkan itu?" Batin Hebilla.
"Kak?!" Cira melambaikan tangannya untuk menyadaekan mereka. Namun hasilnya tetap nihil
"Kak?!" kini panggilam Cira sedikit meninggi.
"Eh? i-iya." Yara yang tersadar refleks menggaruk tengkuk.
"Ini Bunda aku," kata Cira kembali memperkenalkan Bundanya.
Melihat mereka berempat hanya terdiam kembali. Hebillah tersenyum lalu meletakkan nampan, dielusnya puncuk kepala mereka berempat.
"Kalian cantik," ujar Hebilla sembari terus mengusap sayang kepala mereka.
"Kenapa?" tanya Hebilla pada Nala yang sedari tadi menatapnya dalam diam dengan tatapan yang menusuk.
Nala tak menjawab, malah semakin menatap Hebilla dalam. Tatapannya meredup, segera mengusir jauh tafsirannya.
"Gak papa," jawab Nala dingin. Hebilla tersenyum akan sikap yang dilontarkan Nala.
"Hallo, Tante. Nama saya Yara." Yara yang mengetahui sisi sahabatnyapun bertindak, tak enak hati juga.
Lagi-lagi Hebilla tersenyum menanggapi. "Nama kamu bagus," ujar Hebilla. Yara menyalimi tangannya.
"Makasih, Tante," jawab Yara. kembali melihat sahabat yang hanya menatap datar. "Kalian tuh berdosa banget!!!" sindir Yara.
Runi dan Nila mengubah ekspresi lalu manampilkan senyum tipis agar tidak kaku.
"Arunika, Tante," kata Runi menyalimi Hebilla diikuti Nila.
"Nila," ujar Nila singkat.
Hebilla menerima dengan lapang dada, bahkan tak ada rasa sewot sedikitpun.
"Kalian anak baik. Panggil Bunda saja, tidak perlu Tante!" ujar Hebilla. Sementara Cira yang sedari tadi diam terus menatap Nala dalam dan teduh. Ada rasa aneh dan bergejolak dalam hati.
"Makasih, Tan ... eh maksudnya Bunda." Yara terkekeh mencairkan suasana. Runi dan Nila bersyukur akan adanya Yara, sang air yang selalu menyairkan mereka dan mengguyur amarah.
Hebilla terkekeh sebentar. "Yang ini?" tunjuknya pada Nala.
"Ah, dia Nala, Bunda. Sifatnya memang seperti itu, bisu tak menentu," ujar yara menyalipkan candaan.
"Kamu bisa saja, Bunda ke dapur dulu, yah. Nanti para Abangnya Cira datang kok, kalian kenalan yah," pesan dan pamit Hebilla.
"Dada, Bunda." Ceria Yara.
"Hati-hati, Bunda. Awas ketabrak sama lalat," timpal Cira yang terus melambai walau sang bunda tidak terlihat lagi.
"Kamu bisa aja." Yara memukul bahu Cira pelan lalu terkekeh bersama.
"Hehe, oh iya Kak. Dimakan kuenya, itu buatan Bunda lo, lebih enak dari buatan Cira." Mereka mengangguk lalu kembali duduk.
"Rumah lo besar juga yah," kata Runi disela lahapannya.
"Gitu deh," jawab Cira seadanya.
"Bunda lo baik!" kini Nala angkat bicara.
"Baik banget!" seru Cira semangat. "Tapi, yah gitu. Kadang ngomel kalau Cira sakit, bukannya disayang malah diomelin!" Cira mengerucutkan bibir.
"Tanda sayang, Cir!" Nasehat Nala.
"Iya, Kak. Kakak tadi kenapa gak kenalan sama Bunda?" Cira menatap Nala meminta pertanggung jawaban.
"Nanti Bunda lo beralih ke gue." jawaban Nala agak membuat Cira bingung.
"Jangan ditanggapin, dia lagi puasa bicara," ujar Yara terkekeh.
"Eh, iya, Kak! Em ... Kakak mau gak Cira kasih panggilan sayang?" tanya Cira malu-malu, ia menggigit bibir bawahnya.
"Maksud kamu, Sayang?" tanya Yara.
"Cira boleh gak ganti nama Kakak? ngasih panggilan sayang gitu," kata Cira malu-malu layaknya anak kecil.
"Boleh," jawab Nala menyela Yara.
"Wah, beneran boleh?" Cira menatap berbinar. Ditambah Nala yang menganggukinya, ia semakin semangat memplesetkan nama mereka.
"Kak Yara jadi Kak Yaya, Kak Runi jadi Kak Nini , Kak Nila jadi Kak Lala, dan terakhir Kak Nala aku bakal panggil Kak Nana." Cira berucap puas dengan nama yang lewat dimemorinya.
"Jelek banget nama gue," kata Nila tak berperasaan.
"Jangan bilang gitu!" Yara menyikut lengan Nila pelan..
"Kak Nini gak suka yah?" Cira menunduk lesuh dan tak enak.
"Bagus!" jawab Nala, seharusnya untuk menenangkan. Namun nadanya tak nyaman. Cira yang tadinya lesuh kini sedikit menerima secerca harapan.
"Bagus, Kak?" tanya Cira kini telah menampilkan senyum, hatinya cukup menghangat ketika mendengar lontaran Nala yang tak seberapa.
"Iya, lo boleh panggil kita dengan sebutan itu," kata Nala sedikit mengembangkan senyumnya walau sangat tipis.
"Wa!!! Kakak yang terbaik deh." Cira memeluk Nala sangat erat. Disamping itu diam-diam Nala masih mengembangkan senyum tipisnya. Namun itu semua tak bertahan lama karena seseorang menghancurkan, terus menggedor pintu rumah tak ada akhlak.
"Bunda!!! jangan kunciin Abang!!! Abang gak nyuri donat Bik jum, si Tara yang nyuri, Bun. Abang gak tau apa-apa." Teriak seseorang yang tak lain adalah Bagas, sementara Tara, memelototi Bagas, karena Bagas telah menyangkut pautkan namanya.
Bagas tak menghiraukan tatapan Tara, ia terus menggedor pintu dengan tak santai.
"Bunda!!! bukain! jangan kutuk Abang jadi batu! Abang bukan Bang Toyib!" teriak Bagas yang mendapat jitakan mulus dari kedua adiknya yang tak lain adalah Wara dan Tara. Sejak kapan Bang Toyib dikutuk jadi batu?
"Gila gak tau tempat!" sindir Buma.
"Biar gue," katanya. Mereka memberi jalan untuk Buma. Dengan santai Buma memencet bel dan pintu terbuka. Bagas menganga tak percaya.
"Cir, gimana sih? tadi Abang udah gedor tapi kamu gak bukain. Tapi sekarang Buma yang ketimbang mencet bel doang kamu langsung bukain. Kamu tega sama Abang." Bagas menggeleng tak percaya sembari meremas dadanya mendramatisi.
Cira menatap malas sang Kakak. "Maaf gak ada recehan," kata Cira lalu kembali menutup pintu.
"Bhakhak. Dia bilang elo orang yang minta-minta, Bang! liat Bang! bahkan adek kandung lo aja gak ngakuin, bhakhak!" Tara tertawa terpingkal-pingkal bersama Wara, Buma yang berusaha untuk tidak tertawa saja tidak bisa. Sedangkan Bagas menatap datar mereka semua.
"Cira, ini Abang kamu loh! jangan durhaka!" kata Bagas kembali berteriak.
Ceklek!
Buma membuka pintu dan langsung nyelonong masuk.
"Makanya otak dipakai! tadi Cira udah bukain dan gak ngunci ulang!" sinis Tara membalas dendam lalu ikut masuk berasama Wara yang mengekor.
"Kasihan dinistain dalam diam sama doi," kata Wara sebelum masuk ke dalam rumah, sindiran kepada Bagas yang disindir Buma sangat halus tetapi menusuk.
"Dasar adik biadap!" teriak Bagas. "perasaan gue hina banget, gue salah apa?" Bagas masih bengong tak langsung masuk, hingga sayup-sayup ia mendengar suara Hebilla, sebenarnya keadaannya sangat dekat dengan ruang tamu dan sudah tentu dapat mendengar jelas suara mereka. Namun karen Bagas menghayal, maka dari itu pikiran terbagi.
"Bagus ada Bunda, gue aduin lo Tara." Bagas tersenyum licik. Bagaimana jika Hebilla mengetahui Tara kembali menyuri donat Bik Jum, pasti drama dadakan akan diadakan.
"Bunda! Bunda!" Bagas berlari menuju ke Hebilla, ucapannya terhenti ketika melihat Hebilla yang sedang berbicara dengan 5 orang gadis dengan Tara, Wara, Buma yang sedang duduk di lantai layaknya orang jalanan. Semula ia ingin menertawai mereka tetapi tertahan akibat para gadis tersebut.