"Gimana, Sayang? udah dilakuin belum?" tanya Yara saat melihat Cira telah menginjakkan kaki di ruangan mereka. Selepas telphone dari Tara, mereka memang mendengar semuanya karena volume hp Cira yang besar. Yara memutuskan untuk membuat Cira menghajar sedikit cewek itu, yang tak lain adalah Canaya Fanandra.
"Iya, kak. Makasih udah buat Cira jadi pemberani." Cira tersenyum lalu mempercepat langkahnya dan duduk di sebelah Yara.
"Bagus! cewek gak ada akhlak emang harus di kasih pelajaran!" ujar Arunika menggebu-gebu.
"Kalau perlu jambak aja sampai rambutnya lepas," ucap Nila yang tak merasakan ngilu bagaimana sampai itu terjadi.
"Kakak kejam banget." Cira terkekeh.
"Nah gitu dong, jangan cemberut mulu. Ketawa dan tersenyum itu gratis lo," ujar Yara sambil mengacak rambut Cira gemas. Entah mengapa Yara sangat suka dengan Cira.
"Tapi kok Kakak itu gak senyum?" tunjuk Cira pada Nala. Mulut mereka mengetup saat mendengar pertanyaan Cira.
"Sini!" panggila Nala. Yara, Nila, dan Runi kompak menengok ke arah Nala begitupun Cira. Mereka mencoba masuk ke dalam pikiran Nala, apa yang akan gadis itu perbuat?
"Iya, Kak?" Cira menurut lalu beranjak ke sofa yang lain agar bisa duduk berdekatan dengan Nala.
"Mau liat gue senyum?" Perkataan Nala begitu dingin hingga Cira dapat merasakan bulu kuduknya berdiri.
"Nal?" panggil Yara. Yara sebenarnya yakin jika Nala tak akan berbuat macam-macam. Namun, kini pikiran Yara tengah berkelana entah kemana.
Nala hanya memandang datar Yara.
"I-iya kak," kata Cira sedikit gugub, ia meremas jari-jarinya.
Kejadian di luar dugaan. Nala tersenyum, senyumnya sangat manis dan tulus. Senyum yang belakangan ini sangat jarang ia tunjukkan bahkan pada sahabatnya yang telah mengenal lebih dari 10 tahun.
"Wah," mata Cira berbinar, ia seakan melihat bidadari.
"Kakak cantik banget," ujar Cira antusias, padahal hanya seulas senyum yang diberikan Nala, bagaimana jika dia tau bahwa Nala juga menyayanginya?
Nala kembali menyebunyikan senyumnya.
"Udah kan?" tanya Nala. Cira mengangguk antusias, ia semakin melebarkan senyumnya. Nala terkekeh melihat itu semua.
lucu. Batin Nala.
"Nal gue kira lo bakal ngapain," ujar Runi menghembuskan nafas kasar.
"Negatif," singkat Nala
Nala berjalan ke arah dapur yang tersedia di markas mereka, lalu di ambilnya brownis yang sempat dibuat Cira tadi. Membuat kue saat tengah di sekolah? sungguh murid teladan.
"Ini, kamu tadi yang bikin kan?" Sahabat Nala di buat cengo, apa tadi? Nala menggunakan kata 'kamu'. Ia sih, Nada bicara Nala masih agak dingin.
"Nal, kamu amnesia?" tanya Yara sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Sangat lebay.
"Hm," gumam Nala malas.
"Oh, ternyata gak amnesia, hehehe," Yara membentuk jarinya seperti 'V'.
"Kak Yara?" panggil Cira, ia masih belum paham dengan keadaa ini.
"Kenapa, Sayang?"
"Nama Kakak ini siapa?" tanya Cira, padahal Nala sekarang sedang berada di sampingnya. Nala kembali mendudukan bokongnya di samping Cira.
"Kenalan?" tanya Nala.
"I- iya, kak," jawab Cira kembali gugub akibat sorot mata Nala, jantungnya berdetak sedikit cepat ketika duduk di samping ataupun berdekatan dengan Nala.
"Ko gugub?" kata Nala melembut, ia menyentuh puncuk kepala Cira lalu di elusnya sedikit.
"Panggil aja Nala," kata Nala. Kembali memperlihatkan senyum tipis singkat agar Cira tak takut padanya. Nala memang pembunuh, tetapi masih mempunyai hati nurani.
"Wah, Iya kak." Cira tersenyum, kini kegugupannya sirna, senyuman Nala memang membuat candu.
"Ayo makan, kan tadi Cira yang buat. Kakak udah izinin kamu gak masuk dulu," kata Nala pada Cira yang di balas anggukan.
"Kalian gak makan?" tanya Nala pada ketiga temannya yang masih menganga.
"Masuk lalat gak tanggung jawab," kata Nala setelah melihat penampilan ketiga sahabatnya.
"Eh, aku di mana? aku siapa?" Yara melihat kanan kiri tak jelas.
"Yar, sadar Yar!" Runi menggucang-guncangkan badan Yara. "tolong-tolong Yara mati!!! Yara mati!!!" teriak Runi.
Plak!
"Sembarangan kalau ngomong!" Yara memukul lengan Runi pelan.
"Kalian gila," kata Nila. ia mengambil satu potong kue brownis lalu memakannya.
"Kenapa gak buka toko?" tanya Nila setelah ia memakan kue Cira, rasanya sangat enak.
"Maksudnya, Kak?" Cira melahap habis sepotong kue yang berada di tangannya.
"Kue lo enak, kenapa gak bikin toko aja?" kata Nila memperjelas tujuannya.
"Masih sekolah, ntar kerepotan," kata Cira. Mereka mengangguk membenarkan. Benar juga, tugas numpuk 6 hari dalam seminggu itu banyak loh.
"Langsung?" tanya Nala. Cira memiringkan kepalanya melihat Nala, ia tak mengerti jika Nala hanya berbicara singkat.
"Panjangin dikit, Nal!" kata Yara yang mengerti gerak Cira yang mengisyaratkan bahwa ia tak tau maksud Nala.
Nala menghelas nafas."Mau langsung tanyain? kata Yara lo mau tau lebih tentang kita, gue izinin lo tau lebih tentang kita kok, tanya aja," kata Nala yang telah memanjangkan kalimatnya.
"Iya, kak!" Cira mengibas sedikit pakaiannya, barangkali remahan roti terjatuh pada pakaiannya.
"Aku mulai," kata Cira. Semua mengangguk.
"Kalian kok bisa di sebut Padmarini?" tanya Cira.
"Biar Gue yang jawab," kata Nila, ketiga temannya mengangguk.
"Jadi gini, Padmarini itu artinya indah serta tajam, mungkin mereka liat kita kejam tetapi sosoknya gadis. Makanya mereka menyebutnya Padmarini." jelas Nila
"Kalian orang baik?" pertanyaan macam apa ini?
"Kita bukan orang baik!" jawab Nala. "jangan pernah terlalu sayang sama kita."
Cira bingung dengan penuturan Nala, baru kali ini ia menemukan seorang gadis yang berkata kalau dirinya bukan orang baik, biasanya para gadis berlomba-lomba untuk terlihat baik. Apalagi di depan kaum Adam.
"Maaf kalau pertanyaan Cira nyinggung, Kakak," ujar Cira tak enak hati.
"Gak kok, tapi kita gak seburuk apa yang mereka pikirkan," Untuk kali ini Nala kembali memperlihatkan senyum tipisnya.
"Mulai sekarang senyum Kakak adalah candu Cira," kata Cira berbinar menatap tepat di seulas senyum yang diberikan Nala, dan apa itu? ada lesung pipitnya.
"Dia pacar Kakak, Sayang!!! gak boleh diambil!" Yara menyilangkan tangannya sembari menggelang kuat.
"Kak, Yara imut," kata Cira terkekeh. Pipi Yara merona akibat godaan Cira.
"Eh, anak kecil kok udah pintar ngegoda!" Yara menoel hidung Cira gemas sebelum mereka sadar jika ia sebentar lagi akan menjadi kepiting rebus.
"Yara pipinya merah coy," teriak Runi histeris.
"Ha ha ha, pipi Kak Yara merah, Kak Yara malu ya," goda Cira. Semua tertawa akibat si kecil Cira, bahkan hari ini Nala sering manampilkan senyumnya.
"Eh, Kakak semua gimana bisa ketemu?" tanya Cira tiba-tiba. Ia sebenarnya hanya penasaran saja, karena yang ditangkap matanya adalah mereka saling menjaga dan menyayangi.
Cira sendiri belum mempunyai sahabat, dari dulu hanya abang dan sahabat abangnya yang menjadi tempat curhat sekaligus teman, jauh di lubuk hati, ia berharap bisa lebih dekat lagi dengan Nala, Nila, Runi dan Yara.