Chereads / Bonoki / Chapter 7 - Calo

Chapter 7 - Calo

Setelah makan siang, mereka berdua pergi mengunjungi sebuah kontrakan tak jauh dari kawasan industri. Rencana, mereka ingin menemui seorang kenalan. Lama di perjalanan, akhirnya mereka sampai di kontrakan. Kontrakan tersebut berada sepuluh meter dari warung kopi.

"Yakin di sini?" tanya Juliet.

"Yakin," jawab Aman.

"Memangnya kita mau ketemu siapa?"

"Mei Xuin kenalanku, dia merupakan seorang HRD PT. SIYING."

Pintu kontrakan terbuka, seorang wanita cantik keluar dari kontrakan. Dia berkulit putih, berparas cantik, bermata sipit khas orang Asia. Rambut hitam sebahu, mengenakan kacamata dan senyumannya yang manis membuat parasnya semakin berkilau.

"Kalian sudah datang rupanya, ayo masuk!" ajak gadis itu.

Mereka semua masuk ke dalam kontrakan lalu duduk di ruang tamu hanya beralaskan ubin. Wanita itu, berjalan ke dapur lalu kembali dengan membawa nampan berisi tiga gelas teh tawar.

"Silahkan di minum," kata Mei Xuin.

"Iya kak," ucap kompak mereka berdua sembari mengambil gelas.

Juliet menoleh ke depan, dia melihat barang-barang sudah terbungkus rapih di dalam kardus. Kemudian Mei Xuin, mengambil tiga lembar soal psikotes lalu membagikannya kepada mereka berdua.

"Ayo, kalian berdua cepat isi soalnya. Kalian cukup salin jawabannya ke dalam kertas," perintah Mei Xuin kepada mereka berdua.

Aman dan Juliet, mulai memindahkan kunci jawaban ke dalam kertas berisi soal. Tidak butuh waktu lama, mereka telah mengisi seluruh soal dengan mudah tanpa hambatan.

"Nyari kerja susah, beruntung kamu kenal sama saya," kata Mei Xuin kepada Aman.

"Iya benar Kak," timbalnya lalu tersenyum mengagumi kecantikannya.

"Mbak emang berapa biaya masuknya?" tanya Aman.

"Lima juta setengah, besok atau lusa kalian datang ke sini. Sekalian, kalian bawa surat keterangan sehat dari klinik setempat beserta berkas lainnya. Kalau bisa, besok atau malam ini kirimkan uangnya. Nanti saya kirimkan nomer rekening saya ke Mas Aman."

"Iya kak, pasti kami transper uangnya!" seru Aman bersemangat kepada Mei Xuin.

Gumpalan asap hitam, keluar dari tubuh Mei Xuin. Juliet melirik ke arah Aman sedang terkagum-kagum pada Mei Xuin. Melihat ekspresinya, Juliet pun mengetahui bahwa dirinya seorang bisa melihat gumpalan asap tersebut. Juliet tidak tau, asap apa itu tapi jelas dia merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Seolah instingnya memperingatkan bahwa wanita itu bukanlah sosok yang baik.

Setelah itu, mereka berdua pun pamit lalu berjalan keluar dari kontrakan. Aman dengan bersemangat berkata, bahwa dirinya akan segera mengirimkan uang pada nomer rekeningnya. Mereka berdua menaiki motor, perlahan motor itu mulai melaju meninggalkan kontrakan tempat Mei Xuin tinggal.

Di tengah perjalanan, Aman meminjam uang kepada Juliet. Sontak Juliet pun sedikit terkejut, dia berjanji akan mengembalikan setelah gajian. Namun, Juliet bersikeras menolak permintaannya. Sekian lama diperjalanan, akhirnya Juliet sampai di rumah Aman. Pemuda itu turun dari motor lalu Juliet pun pamit kepadanya. Sebelum pergi, Aman meminta agar Juliet mau mengabari soal ketertarikannya pada calo itu.

Juliet pun terdiam, dia mulai melaju perlahan menjauhi rumah Aman. Ketika diperjalanan, Juliet teringat oleh Mei Xuin. Instingnya berkata, bahwa dia harus menolak tawaran dari Mei Xuin. Di sisi lain, dia juga masih bimbang antara kuliah dan kerja. Dua jam telah berlalu, akhirnya Juliet sampai di rumahnya. Dia melihat Sang Ibu sedang duduk bersantai di ruang keluarga. Sebelum masuk ke dalam kamar, Juliet sempatkan untuk mencium tangan ibunya.

Selesai berganti pakaian, Juliet mengambil nasi goreng hangat dari dalam wajan. Dia berjalan menemui ibunya sedang menonton televisi sambil membawa piring. Setelah itu, Juliet duduk tepat di samping Ibunya.

"Juliet bagaimana lamaran kerjanya?

"Tidak sesuai harapan," jawabnya bersedih.

"Sabar Juliet, hidup itu memang tidak selalu berjalan mulus."

"Iyah."

"Kamu berencana untuk kerja, gak mau kuliah?"

"Gak tau bingung."

"Jangan begitu, sebentar lagi penerimaan mahasiswa baru. Saran Ibu mending kuliah saja. Kamu memang tidak mau menyandang gelar Sarjana?"

"Mau."

"Ya sudah kamu pikirkan baik-baik. Ibu dan Ayah akan carikan Universitas Swasta untukmu sebagai cadangan," ujar Sang Ibu.

Dari caranya berbicara, Sang Ibu ingin sekali anak tertua-nya menjadi seorang Sarjana. Rasa bimbangnya membuat Juliet merasa tidak enak kepada kedua orang tuannya. Selesai makan malam, dia berjalan masuk ke dalam kamar. Juliet menghubungi Aman di saat itu juga.

"Jadi gimana Juliet, elu jadi transper uang ke Mei Xuin?" tanya Aman.

"Sorry, kayaknya gue mau kuliah. Mungkin gue kerja setelah lulus," jawabnya kepada Aman dengan penuh keyakinan.

"Ok, kalau begitu. Semoga elu betah masuk Universitas. Kalau gue, tetap transper uang ke Mei Xuin. Soalnya, kapan lagi gue bisa masuk kerja di Pabrik Bonafit."

"Iya man, semoga elu juga betah di tempat kerja. Kalau gajian jangan lupa traktir gue," timbalnya kepada Aman.

"Tenang, soal itu gampang!"

Perbincangan pun telah berakhir, Juliet meletakkan ponselnya kembali di samping bantal. Dia berbaring di atas kasur, perlahan Juliet mulai memejamkan mata lalu dian tertidur. Satu minggu telah berlalu, selesai sarapan Juliet menonton acara berita di televisi. Betapa terkejutnya Juliet, melihat foto Mei Xuin dalam berita utama. Wanita itu merupakan seorang buronan yang telah menipu banyak orang hingga mencapai milyaran rupiah.

Juliet teringat oleh temannya Aman, saat ini dia tidak ingin menghubunginya. Tapi satu hal yang harus dia ingat adalah tekat api yang dia miliki. Tidak berselang pintu kamar terbuka, Dinda adiknya Juliet keluar dari kamar. Gadis itu berjalan sempoyongan dengan raut wajah mengantuk.

"Dinda, kakak belikan gantungan kunci di atas meja dekat televisi. Kamu pilih dan ambil gantungan kunci kesukaanmu," ujarnya menunjuk ada tiga gantungan kunci tergeletak di atas meja depan televisi.

Sepatah kata pun tidak keluar dari mulutnya. Dinda pun berjalan masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa selembar handuk, tanpa memperdulikannya.

Satu jam telah berlalu, Dinda pun keluar dari kamar mandi dengan mengenakan selembar handuk. Gadis itu berjalan masuk menuju kamarnya lalu bersiap-siap untuk sekolah. Setelah berkemas dan mengenakan seragam SMA, Dinda keluar dari kamar. Juliet dan adiknya keluar rumah, dia mulai mengantarkan adiknya pergi ke sekolah. Sepanjang perjalanan, tidak ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan.

Sejak dulu hingga sekarang, hubungan mereka sangat pasif. Dinda yang selalu bermain ke luar, sedangkan kakaknya selalu mengurung diri di rumah. Mereka berdua benar-benar dua bilah mata koin yang berbeda. Sesampainya di depan sekolah, Dinda turun begitu saja. Dia berjalan seorang diri, menuju gerbang sekolah lalu tidak berselang lama datanglah seorang temannya.

"Ciee diantar siapa? Kakakmu?" tanya temannya.

"Dia bukan kakakku. Hanya tukang ojek langganan keluargaku," jawab Dinda kepada temannya.

Hati Juliet, seketika terasa sakit seperti tertusuk oleh jarum panas. Berkali-kali dia mengusap dadanya lalu perlahan dia mulai melaju meninggalkan sekolah. Angin sejuk mulai berhembus, Juliet melaju seorang diri dengan sepedah motor miliknya menuju rumah.