Chereads / Bonoki / Chapter 10 - Kalung bersinar

Chapter 10 - Kalung bersinar

Satu minggu telah berlalu, Juliet menikmati menu nasi goreng di ruang keluarga. Di sana, Ayah, Ibu dan Adiknya sedang menikmati sarapan pagi. Mira, ibunya Juliet melirik kepadanya lalu beliau teringat mengenai minat putra tertuanya masuk universitas.

"Juliet, kamu ingin masuk universitas mana?" tanya Sang Ibu.

"Universitas Kembang, Fakultas Bahasa Prancis."

"Di sekolah kamu belajar Bahasa Prancis?" tanya Ayahnya.

"Belum pernah."

"Kenapa milih Bahasa Jepang saja? Kalau lulus, siapa tau bisa mengikuti jejak kakekmu pergi ke Jepang," timbal Ibunya.

"Sudahlah Ibu, biarkan kakak menentukan pilihannya sendiri. Cepatlah jadi mahasiswa, biar gak jadi beban di rumah," maki Dinda, adik kandung Juliet.

"Dinda, kamu kok ngomong begitu sama kakak kamu?!" geramnya atas perkataan putri semata wayangnya.

Tanpa melontarkan sepatah katapun, Dinda berjalan masuk ke dalam kamarnya. Begitu juga dengan Juliet, mulai berkemas menuju lokasi Ujian SBMPTN berada di Kota Padi. Selesai berkemas, Juliet pamit lalu mengeluarkan motor Supra miliknya dari dalam garasi. Perlahan, motor yang dikendarai olehnya melaju meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan Juliet memikirkan adiknya, dia penasaran mengapa Dinda begitu membenci dirinya.

Sejak awal, hubungan mereka memanglah pasif. Jika sampai membenci, sampai sekarang Juliet masih belum mengetahuinya. Dua jam telah berlalu, akhirnya Juliet telah tiba di lokasi Ujian tepatnya Universitas Lumbung Padi. Setelah memarkirkan motornya disekitar kawasan parkir, Juliet turun dari motornya.

Dia berjalan seorang diri, mencari ruangan tepatnya ujian yang akan segera berlangsung. Lama mencari akhirnya Juliet menemukannya. Ruangan tepat Juliet, berada di lantai tiga gedung Fakultas Hukum menghadap langsung ke halaman parkir. Kemudian, dia duduk sesuai nomer sudah tertera di kartu ujian miliknya tepatnya bangku paling belakang. Mumpung waktu masih tersisa lima belas menit, Juliet memilih untuk tidur.

Kepalanya, terkubur oleh kedua tangannya di atas meja dan perlahan kedua matanya mulai terpejam. Seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya dari samping kanan. Juliet seketika bangun, dia melirik ke arah orang sudah menepuk pundaknya.

Rupanya, orang telah menepuk pundaknya adalah Qori. Lelaki itu merupakan teman semasa Sekolah Dasar. Setelan baju kemeja kotak hijau, tubuhnya ideal dan parasnya yang tampan bagaikan selebriti. Sedangkan Juliet, mengenakan kaos dibalik jaket merah dan celana biru dongker setiap berkunjung berbagai tempat. Bukannya senang, Juliet memandang Qori dengan raut wajah sangat datar.

"Gak nyangka kita satu ruangan," kata Qori.

"Iya," jawab Juliet tanpa ekspresi.

"Rencana elu mau masuk universitas mana?" tanya Qori.

"Universitas Kembang, Fakultas Bahasa Prancis."

"Sok, orang mendapatkan predikat pecundang dan anak idiot sewaktu sekolah dasar memang bisa?" hina Qori membuat Juliet tersinggung.

Mendengar hal itu, sekilas ingatan sekolah dasar melintas di dalam pikirannya. Dulu ketika Juliet menginjak bangku kelas satu sekolah dasar. Dia diminta Sang Guru untuk menyanyikan sebuah lagu. Juliet memilih lagu anak-anak berjudul "Burung Pipit". Dengan senang hati, dia pun menyanyikannya dengan senang hati dan riang gembira. Juliet berlari dan mengepakkan sayap, sebagai totalitas dan kecintaannya terhadap burung pipit ketika bernyanyi.

Sebelum, wajahnya mencapai tingkat ketampanan yang sekarang. Juliet memiliki gigi agak tonggos, tubuh kurus kering dan bertubuh kerdil. Ketika Juliet berlari sembari mengempakkan sayapnya, seluruh teman kelas menertawakannya. Selain itu, dia menjawab pertanyaan mengenai lambang negara dengan jawaban burung bangau. Ketika dirinya menginjak kelas dua, Juliet dikenal sebagai Chuuninbyo yaitu sindrom mengkhayal pada seseorang seolah memiliki kekuatan dan lain sebagainya.

Berbicara sendiri, melambaikan tangan dan bertingkah aneh membuatnya mendapat predikat anak idiot. Kabar tersebut terdengar oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya, langsung memarahi orang tua murid telah menghina anaknya dan berkata bahwa Juliet adalah anak yang normal.

Semenjak saat itu, ketika dirinya menginjak bangku kelas tiga hingga kelulusan membuatnya menjadi anak pendiam. Mengingat hal itu membuat Juliet muak, dia pun memilih untuk tidak melayaninya dan lebih memilih untuk tidur. Tidak berselang lama, kedua pengawas ujian masuk ke dalam ruangan. Kedua pengawas, membagikan lembaran soal dan jawaban. Setelah itu, ujian SBMPTN dimulai selama dua jam lamanya.

Selesai ujian, Juliet berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan keluar seorang diri menuju parkiran. Namun saat memasuki kawasan parkiran, tidak disangka dia bertemu dengan dua orang yang dia benci semasa sekolah dasar yaitu Pandu dan Faras. Pandu memiliki postur tubuh tinggi kekar, berkulit sawo matang, rambut cempak dan bermata sipit. Sedangkan Faras, memiliki tinggi sepadan dengan Juliet, berkulit cerah dan bertubuh agak kekar.

"Faras, gak nyangka kita ketemu anak idiot di sini," hina Pandu.

"Jadi ingat semasa sekolah dasar, waktu itu elu nantangin Juliet berkelahi karena tangannya lengket," timbal Faras.

Dulu, sewaktu Juliet menginjak bangku kelas enam mereka berdua sekelas. Pandu dan Juliet, diminta oleh Sang Guru untuk menyalin lembaran soal ujian harian yang akan mereka ikuti. Canda dan gurau mereka lalui, ketika mengayunkan sepeda kembali ke sekolah. Tidak sengaja, kaki kirinya terkena oleh sehingga tangan kiri langsung mengelapnya.

Akibatnya, tangan kiri Juliet terasa lengket lalu menggerakkannya sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Pandu menganggap, bahwa Juliet meledeknya dengan menggerakkan tangan kiri seolah itu mulutnya. Juliet berusaha menjelaskan kesalahpahaman, namun Pandu sama sekali tidak percaya. Pandu yang dikenal sebagai siswa populer, membuat Juliet semakin terpojok.

"Ha.ha.ha! Elu benar, tangan lengket itu cuman alasan aja ras biargue memukul wajahnya. Eh! Idiot ini malah milih adu pinalti," hina Pandu kepada Juliet.

"Sudahlah Pandu, kasian Juliet nanti nangis ngadu sama kakek atau ibunya," sambung Faras.

Amarah sudah diujung tanduk, Juliet memandang mereka berdua dengan sorot matanya yang tajam. Tanpa sadar, kedua tangannya mengepal dan siap untuk memukul. Beberapa peserta ujian mulai memasuki area parkir kampus. Juliet mengelus dada seiring mempertahankan akal sehatnya.

"Kalau dilihat-lihat, mulut kalian ketika berbicara terlihat seperti pantat ayam," kata Juliet membuat mereka sedang menertawakannya terdiam.

"Apa kamu bilang?!" tanya Pandu.

"Elu gak tuli kan? Gue bilang, mulut elu dan elu mirip pantat ayam. Bau dan berisik layaknya buang kotoran," hina Juliet membuat mereka berdua terbakar emosi.

"Anak idiot sialan, ngajak berkelahi?!" tanya Pandu dengan penuh emosi.

"Males, nanti anak populer sialan kayak elu nangis dan ngadu ke mamah," hina Juliet membuat Pandu semakin emosi.

"Bukannya elu yang ngadu ke mama? Pasti idiot, ngomong kayak begitu karena takut sama kita," sambung Faras.

"Takut? Pantangan gue takut sama pantat ayam kayak kalian. Kalau mau kita berkelahi sekarang, carikan tempat yang sepi buat gue menghajar kalian sampai babak belur."

"Boleh, ayo ikut gue kalau berani anak idiot!" tantang Pandu.

Mereka semua, menaiki kendaraan motor masing-masing lalu melaju meninggalkan lingkungan kampus. Kemudian mereka mengunjungi sebuah lahan rumah kosong pinggir jalan pantai utara. Baku hantam tidak terhindarkan, Juliet dengan penuh emosi saling beradu pukulan dengan mereka bedua. Begitu juga dengan Pandu dan Faras bekerja sama menghajar Juliet hingga babak belur.

Tiga jam telah berlalu, pertarungan tidak seimbang dan postur tubuh mereka membuat Juliet terkapar. Wajah mereka babak belur, darah mulai menetes membasahi tanah.

"Cuih!" Pandu meludah mengenai kening Juliet. "Mampus anak idiot!" hinanya sambil berjalan tertatih-tatih menuju motornya bersama Faras.

Juliet perlahan bangkit, dia berjalan menuju ke arah motornya sambil menahan sakit. Air matanya mulai mengalir, dia pun menangis histeris karena kekalahan sekaligus sakit hati karena ucapan mereka. Kemudian dia pun menaiki motor dan melaju kembali ke rumahnya. Tidak terasa, matahari mulai terbenam dan langit perlahan mulai mendung. Suara gemuruh mulai terdengar, kilatan cahaya mulai terlihat di angkasa.

Sebelum memasuki Desa, dia melintasi Desa tetangga yaitu Desa Kenari. Seluruh listrik di Desa Kenari padam. Kemudian dia mulai melintasi pemakaman umum. Suasana menjadi mencengkram, ketika motor Juliet terasa berat seperti ada yang membonceng di belakang. Dia melirik ke arah belakang melalui kaca spion, namun tidak ada siapa pun. Sepanjang perjalanan, dia merintih kesakitan akibat pukulan yang dia terima oleh kedua lawannya.

Sesampainya di rumah, Juliet menuntun motornya masuk ke dalam garasi berada beberapa meter samping rumahnya. Juliet merasa, ada seseorang mengikutinya dari belakang. Mungkin saja, sosok itu adalah ayahnya begitulah yang dipikirkan Juliet. Aroma busuk dan amis darah terhendus dari belakang.

"Maaf Ayah, tolong kunci pintu garasi. Juliet sangat lelah hari ini," ujarnya meminta kepada sosok yang dia sangka Ayahnya.

"Iya, nanti Ayah kunci pintu garasi," timbalnya dengan suara asing baginya.

Merasa ada yang tidak beres, perlahan Juliet menengok ke belakang dan tidak disangka sosok itu adalah pocong. Wajahnya yang buruk rupa, busuk, penuh darah, dan dagingnya yang mengklupas membuat Juliet sangat ketakutan. Seluruh tubuh Juliet gemetar, dia ingin sekali lari namun entah mengapa tubuhnya tidak bisa digerakkan. Kedua matannya tak berkedip, ketika memandang sosok hantu berbentuk bantal guling, berkain kafan putih penuh dengan noda darah dihadapannya.

Kalung kujang yang Juliet kenakan, perlahan mengeluarkan cahaya. Cahaya emas begitu terangnya, membuat sosok pocong itu terbakar. Seketika wujud pocong itu berubah menjadi abu. Tanpa menyia-nyiakan kesempatam, dia pun berlari keluar dari garasi.

"Pocong!" teriak Juliet dengan sangat ketakutan.

Kedua orang tua beserta beberapa tetangga, keluar dari rumah. Mereka berlarian menghampiri Juliet sedang terdiam sangat ketakutan dengan raut wajahnya yang babak belur. Juliet menceritakan semuanya, mengenai kemunculan sosok pocong di dalam garasi kecuali raut wajahnya yang babak belur.

Dia beralasan tidak masuk akal, bahwa dirinya terjatuh dari motor. Setidaknya alasan itu sedikit membungkam pertanyaan kedua orang tuannya. Setelah itu, dia berjalan masuk ke dalam kamar untuk menenangkan diri. Sedangkan para tetangga, kembali ke rumah masing-masing sembari menceritakan kisah pocong dialami oleh Juliet. Kisah pocong itu menyebar cepat hingga ke seluruh desa.