Selesai berlatih para calon taruna dibagi dua peleton, satu peleton terdiri dari sepuluh orang. Sebab besok kami akan diajari tentang jalan di tempat, jalan hormat, dan terakhir formasi. Aku sangat senang, sebab Syahda dan Yoga satu kelompok denganku. Jika terjadi sesuatu aku bisa meminta bantuan mereka. Setelah berlatih kami pun kembali ke asrama dengan berjalan kaki, lalu aku dan Syahda pun berjalan berdua. Sesekali kami memandang langit yang indah, dengan senyuman. Kemudian ia bercerita tentang kerenya seragam para pelaut. Lalu ia kembali menceritakan sosok ayahnya, yang menggunakan baju pelaut berwarna putih.
Rasanya ia ingin segera memakai baju itu, namun kenyataanya mendapatkan hal itu tidaklah mudah. Namun ia tidak menyerah lalu ia bersumpah dihadapanku, bahwa ia pasti akan mendapatkannya. Keesokan harinya kami menikmati hidangan katering, yang dibagikan oleh setiap ketua asrama. Hari ini adalah hari libur, jadi aku bisa bersantai untuk menikmatinya. Ketika aku sedang menikmati hidangan, Piras pun bertanya.
"Sudah sejauh mana hubunganmu dengan Nunki?"
"Hah emangnya kenapa?" tanyaku.
"Soalnya hubungan elu sama nunki, udah jadi perbincangan hangat luh.."
"Gue sama Nunki cuman temenan kok gak lebih" jawabku.
"Syukurlah kirain elu berdua pacaran" kata Piras.
"Gue penasaran emangnya ada apa sih sama si Nunki?" tanyaku.
"Si Nunki itu banyak yang suka bro, bahkan ada yang iseng ada yang masukin surat cinta ke tasnya" kata Dodi.
Kami pun terus membicarakan pesonanya Nunki. Sepertinya mereka punya rasa terhadap Nunki, namun saat aku tanya rupanya dugaanku salah. Mereka sudah memiliki kekasih, meski pun ingin mendua tetapi karena banyaknya saingan sepertinya itu tidak mungkin. Belum selesai kami membicarakannya, Nunki pun datang ke asrama lalu ia memanggilku. Aku baru ingat rencananya aku dan beberapa taruni, akan berlatih baris berbaris bersama-sama. Dari situlah hubunganku dengan para taruni menjadi sangat akrab. Bahkan mereka berani cerita, mengenai hubungan asmaranya kepadaku. Seketika aku merasa diriku populer.
Satu minggu telah berlalu, intensitas latihan semakin ditingkatkan. Kepalaku terasa pening dan pandanganku mulai kabur, namun aku tetap berjuang agar tidak tumbang. Tiba-tiba teman satu peletonku pingsan, spontan aku mengantarnya ke ruang kesehatan. Setelah itu aku kembali berlatih bersama. Singkat cerita siang pun tiba, selesai berlatih kami duduk di bawah pohon yang rindang. Kami duduk hanya beralaskan aspal, kulihat para senior mulai memperkenalkan diri, sambil memperkenalkan lingkungan. Kulihat dari arah belakang, taruna yang sempat pingsan kembali bergabung dengan kami, lalu ia duduk disampingku.
Kemudian kami pun berjabat tangan, lalu saling memperkenalkan diri. Dia bernama Farhan, asramanya berada di tempat paling pojok, jadi ketika ada informasi berkumandang ia tidak mendengarnya. Saat kuperhatikan sempat kukira dia asli keturunan arab, sebab matanya yang lebar, kulit putih, hidungnya yang mancung, dan rambut agak keriting membuat kesan pertama saat melihatnya. Dari depan kulihat Nunki dikerumuni banyak orang, sungguh ia benar-benar populer. Selain parasnya yang cantik ia memiliki body yang bagus. Terlihat saat dia menggunakan, baju olahraga putih hitam yang ketat yang dikenakan hari ini.
Sekilas kulihat, ada seorang taruna yang berani meremas bokongnya. Sayangnya aku tidak bisa melihat jelas siapa pelakunya, sebab disana terlihat sangat padat. Lagi pula selain tertawa Nunki seperti tidak meresponnya. Dari sinilah hubungan pertemananku dengan Farhan mulai terjanin. Setiap hari libur, kami berdua sering berkunjung ke asrama satu sama lain. Ketika berkunjung ia sering meneraktirku secangkir kopi. Lalu ia menceritakan tentang masa lalunya, dulu semasa sekolah, ia adalah seorang pemabuk. Demi menutupi aibnya, ia sering berbohong kepada orang tuannya. Bahkan ia pernah mencicipi setiap wanita tanpa pengaman. Namun sampai sekarang tak, ada satupun wanita yang hamil atau mengeluh atas kehamilannya.
Suatu hari ia berjalan melewati sebuah masjid, tak jauh dari tempat tongkrongannya dengan sebotol alkohol, dia mendengar ceramah dari toa masjid. Awalnya dia tidak peduli, namun ketika ia mendengar ceramah almarhu Ustad Jefri Al Buchori, hatinya mulai terbuka. Waktu itu tema yang sedang dibawakan adalah "Ibu". Kemudian ia menangis histeris di atas sejadah, lalu ia menyadari akan perbuatannya. Entah mengapa ia menceritakan hal itu kepadaku, padahal kita belum lama kenal. Lalu aku pun bertanya.
"Woi elu kenapa ceritakan hal ini ke gue?"
"Karena elu orang baik Jul.."
"Gue bukan orang sebaik yang elu pikirkan, bisa saja gue menceritakan hal ini ke orang lain"kataku
"Jika itu darimu bagiku tidak masalah, lagipula gue yakin gak sebarang orang elu bercerita" ujarnya.
Menurutku perkataannya sungguh naif, tetapi selama ia yakin dengan perkataanya itu tidak masalah bagiiku. Anggap saja itu adalah sebuah persetujuan darinya. Selesai berbincang aku pamit untuk kembali ke asrama. Ketika hendak ingin menutup mana, Yoga membangunkanku lalu ia memberitahu bahwa Nunki sedang mencariku diluar. Kemudian aku langsung mencarinya, rupanya ia ada didepan pintu asrama lalu aku mempersilahkan ia masuk kedalam. Di dalam asrama hanya ada aku, Yoga dan Piras, lalu datanglah Nully untuk menemani Nunki agar tidak sendirian. Kulihat raut wajahnya terlihat kesal dan juga kebingungan. Karena penasaran aku pun bertanya.
"Ada apa?" tanyaku.
"Seminggu yang lalu, ada salah satu taruna yang berani meremas bokongku. Kira-kira kamu tau siapa pelakunya?"
"Gue sempat liat tangan Si pelaku, cuman gue gak sempat lihat"ujarku.
"Parah seriusan, gue ada disana waktu itu. Cuman gue gak tau ada orang yang ngelakuin itu ke elu" kata Piras.
"Tenang ki, nanti gue bantu cari pelakunya" kata Yoga.
"Semoga ketemu, kalau enggak gue udah ngerasa gak ada hargadirinya lagi" sambil berlinang air mata.
"Sudah cup cup nanti juga ketemu" kata Nully sambil memeluknya.
"Yasudah saran gue mending lapor aja sama pelatih atau senior. Sekarang kamu tenangi diri, semua masalah ini pasti terselesaikan" kataku.
Keesokan harinya saat jam sembilan malam, seluruh taruna berkumpul diperempatan jalan. Disana sudah berdiri para senior dan pelatih dengan muka garangnya. Lalu kami pun meluruskan barisan, setelah rapih kami diperintahkan untuk istirahat di tempat. Kami pun diintrograsi mengenai kejadian minggu lalu. Sayangnya tidak ada satupun yang mengakuinya. Para senior dan pelatih pun geram melihatnya, lalu kami disuruh untuk sikap taubat. Sikap taubat itu mirip seperti sujud, namun kedua tangan berada dibelakang, dan kepala menancap di aspal. Kepalaku terasa sakit sekali, aku ingin perlakuan ini segera berakhir sayangnya Sang Pelaku tetap pada pendiriannya. Pelatih pun semakin geram, lalu ia memaki kami dengan nada tinggi.
Pembuluh daraku sudah berada di kepala, kepalaku terasa pening dan rasa sakit yang tidak tertahankan. Kemudian kami disuruh merayap hingga ke ujung jalan, orang yang berada diurutan paling belakang dicambuk menggunakan selang.
"Dasar berengsek kalian, dia itu adik kamu sendiri! Apa kalian gak malu dengan gelar seorang pria!" kata senior Anton.
"Sudah ngaku saja siapa pelakunya, gak kasihan apa sama temannya!" kata senior Beni.
"Ayo buruan ngaku, kalian gak mau latihan besok!" kata senior Muner, sambil mencambuk kami dengan selang.
"Kalau sampai kabar ini terdengar oleh ayah Nunki, habis kalian! Asal kalian tahu saja, beliau adalah alumni sini tau!" Kata senior Linda, yang menggunakan hijab.
Setelah itu dilanjutkan dengan berguling-guling hingga salah satu dari kami muntah. Penyiksaan itu terus berlanjut hingga pukul dua pagi. Namun diakhir penyiksaan yang aku alami, tidak ada satu pun yang mengaku. Keesokan harinya aku berlatih dengan tubuhku yang sangat lemas, namun karena kejadian kemarin perlakuan senior menjadi sangat serius. Jujur aku menjadi sangat bersalah karena sudah menyarankan hal itu ke Nunki. Sekarang yang bisa aku lakukan, hanya bisa menikmatinya saja.
Singkat cerita malam pun tiba, sesampainya di asrama aku langsu tertidur. Rasanya badanku terasa ingin hancur, seketika aku ingin pulang ke rumah. Untuk sekarang rasanya itu merupakan hal yang mustahil. Ketika ingin menutup mata, Farhan mengetuk dari luar jendela lalu ia memanggilku keluar. Kami pun duduk bersila di depan asramaku, lalu ia membahas soal pelecehan yang dilakukan kepada Nunki. Kulihat raut wajahnya tampak sangat serius, lalu ia merapatkan jari kirinya sambil menempel ke dada, sedangkan tangan tangannya menjulur ke angkasa. Setelah itu ia mengangkat kedua tangannya lalu membaca doa yang tidak aku ketahui.
Seketika suasana menjadi hening, angin yang sebelumnya bertiup kencang, kini mulai berhembus perlahan-lahan. Kemudian ia memberitahu ciri-ciri fisik Sang Pelaku, dia memiliki postur yang tinggi, berkulit putih, hidung mancung, dan memiliki bentuk kepala seperti alien. Mendengar penjelasannya aku teringat dengan teman satu peletonku. Kalau tidak salah ia bernama Rudi, karena tidak cukup bukti aku tidak bisa menunduhnya. Farhan pun berpikiran sama denganku, namun kami tidak bisa membicarakan hal itu ke orangnya langsung. Pada akhirnya tidak ada yang bisa kami lakukan sama sekali. Namun aku berharap semoga kejadian seperti ini tidak terulang kembali.