Setelah makan Juliet pamit kepada keluarganya untuk mengunjungi rumah temannya berada tak jauh dari sini. Juliet keluar dari rumah, dia berjalan menuju rumah temannya selama lima belas menit lamanya. Langkah kakinya terhenti di depan sebuah pagar terbuat dari tembok dan besi berkarat. Di balik pagar dia melihat sebuah buah rumah sederhana, memiliki dua warna yaitu putih pada tembok dan coklat pada atap rumah.
Seorang pemuda berkulit hitam, bertubuh kekar dan tinggi semampan keluar dari rumah. Wajahnya penuh dengan jerawat, berjalan menghampirinya sembari mengusap kedua matanya masih lengket. Pemuda itu bernama Aman, mantan ketua kelas. Kemudian dia membuka gerbang dan mempersilahkannya untuk masuk ke dalam rumah. Mereka berdua, duduk bersila di ruang tamu yang hanya beralaskan tikar.
"Elu habis kelulusan elu mau lanjut kemana?" tanya Aman.
"Gue masih bingung, ini juga lagi mikir," jawab Juliet.
"Masa? Selama ini elu ngapain aja? Sudahlah, mumpung baru lulus mending elu mikir dari sekarang. Kalau mau kerja, ayok nyari bareng gue. Entar elu hubungi gue aja, sekalian gue bonceng di motor elu," timbal Aman.
"OK bang."
Tidak berselang lama, suara ponsel Juliet mulai berdering. Sang Ibu menghubunginya agar Juliet segera kembali. Dia pun pamit kepada Aman, sebelum dia berjalan meninggalkan rumah temannya. Sesampainya di rumah Aldi sepupunya, Juliet menaiki mobil dan duduk di bangku paling belakang. Perlahan mobil mulai melaju meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, Juliet memandang langit-langit lalu aku pun merenung.
Sepanjang perjalanan, dia terdiam merenung mengenai tujuan hidupnya. Mencari kerja sangatlah sulit, apalagi bagi dirinya yang merupakan seorang introvert. Kemampuan atau skill pun dia tak punya, skor hasil ujian praktek otomotif pas-pasan. Apalagi di zaman sekarang, pengangguran semakin banyak, calo, orang dalam, dan masih banyak lagi.Pada akhirnya, dia hanya bisa berharap supaya kehidupannya lebih baik.
Sekian lama di perjalanan, akhirnya dia tiba di rumah. Rumah Juliet, berada di perkampungan tengah sawah bernama Desa Rancajaya. Letak rumahnya, berada di perempatan jalan dekat dengan taman kanak-kanak dan rumah lainnya. Hanya saja, halaman rumah Juliet cukup luas sehingga informasi pribadi dan privasi cukup terjaga. Juliet pun turun dari mobil lalu dia langsung mengganti baju dan berbaring di atas kasur.
Ketika dia sedang merenung, sekilas dia teringat sosok lelaki berambut cempak, berkulit sawo matang, bermata sipit dan tinggi semapan dengannya. Pemuda itu bernama Sunara Tebian, temanya dari kelas sebelah. Dia dikenal, sebagai Bapak Kuliah di seluruh angkatan. Juliet meraih ponselnya di balik bantal lalu menghubunginya di saat itu juga.
"Mas Juliet apa kabar!" sapa Sunara.
"Baik Teb, elu sih?"
"Baik, sekarang elu dimana?"
"Di rumah seperti biasa, rencana mau masuk Universitas mana?"
"Belum tau gue. Tapi dari pada bingung, mending lihat persyaratan PTN and PTS. Rencana, senin gue sama teman-teman gue mau ke UPI (Universitas Pendidikan Indonesia). Elu mau ikut? Sekalian coba-coba ikut simulasi," tawar Sunara.
"Boleh, elu kirimin persyaratannya sekarang biar gue langsung persiapan."
"Ok," balasnya singkat.
Telpon pun telah berakhir, Juliet langsung tertidur dengan pulasnya. Selama lima hari, dia mempersiapkan segala kebutuhan untuk pergi ke UPI. Surat-surat telah siap, buku pelajaran serta beberapa materi sempat dia pelajari. Senin pun telah tiba, Juliet dan Sunara beserta teman-temannya menaiki bus.
Sunara terlihat asik, berbincang dengan teman-temannya. Sedangkan Juliet, terdiam sembari menikmati indahnya suasana Kota Kembang. Kesunyian ditengah keramaian sering dia rasakan. Dia merasa, bahwa dirinya hidup di dunia ini hanyalah menumpang. Sejak dulu, selain orang tuannya tidak ada satu pun yang peduli. Sekalipun peduli itu pun hanyalah kepentingan belaka.
Di tengah perjalanan, mereka melihat beberapa bangunan tua. Juliet sempat mengabadikannya ke dalam kamera ponselnya. Kemudian, Juliet berfoto selfi seorang diri tanpa ada seseorang yang menemani. Dia melihat Sunara, beserta teman-temannya sedang berfoto bersama dengan penuh canda dan tawa. Tidak ada satu pun dari mereka, melirik ke arahnya.
"Aku ada, tapi sebenarnya tiada. Hanya karakter sampingan di dalam cerita mereka," gumamnya sembari melihat keasikan Sunara dan teman-temannya.
Bus pun berhenti, mereka semua turun satu persatu lalu mengunjungi Cibodas Maribaya. Pepohonan pinus membentang luas, udara sejuk mulai mereka rasakan. Juliet sangat senang, bisa menikmati suasana pepohonan dan pegunungan yang indah. Pemuda itu mengambil berbagai gambar menarik di sana. Diam-diam, Juliet memandang Sunara beserta teman-temannya dengan rasa iri.
Pada akhirnya, minimnya bahan pembicaraan membuatnya lebih memilih untuk menikmati suasana alam seorang diri. Setelah itu, mereka semua mengunjungi berbagai tempat hingga sore hari.
Puas mengunjungi berbagai tempat, mereka semua mengunjungi sebuah vila milik kenalan milik Tono, teman Sunara. Vila itu memliki empat kamar dan taman yang Indah. Beruntung sekali Sunara, memiliki teman seperti Tono. Selain kaya dia pun royal terhadap temanya. Terlihat ketika Tono membayar ongkos Juliet secara sukarela. Beberapa teman Sunara, bersenang-senang di sekitar kawasan vila.
Sedangkan Juliet, berdiri seorang diri di lantai dua vila. Suasana di Vila sangat sejuk, dari lantai dua terlihat kampus UPI jauh mata memandang. Langkah kaki mulai terdengar, Tono Sang Pemilik Vila berjalan mendekati Juliet berdiri seorang diri.
"Gimana mantap bro?" tanya Tono.
"Jelas," timbalnya sangat senang.
"Kenalin gue Tono Wisesa," ujar lelaki bertubuh tinggi dan berkulit cerah memperkenalkan diri.
"Juliet Fadilah," balas Juliet sambil berjabat tangan.
"Baru kesini bro?"
"Enggak ini yang kedua kalinya kemari. Kira-kira tahun 2013 pas ada lomba PMR di UPI," jawabnya seiring teringat masa lalu.
"Oh, begitu," sembari menikmati pemandangan dari atas vila.
Mereka berdua berbincang-bincang mengenai suasana tempat ini. Vila ini rupanya milik pamanya. Rencana, vila ini akan di jadikan tempat kos. Mengenai harganya, satu sekitar Rp.600.000. Cukup murah untuk di kawasan elit disini. Sayangnya hanya di khususkan untuk mahasiswi.
Jalan menuju akses ke kampus sedikit menurun dan berlikuk. Petugas satpam yang disiplin berpatroli, menambah kesan aman. Di samping vila, terdapat sebuah rumah mewah yang di hiasi oleh pohon cemara. Rumah itu milik seorang pengusaha asal Amerika. Katanya, setiap minggu ia pulang dari Amerika, ia sering memberi cindramata. Lalu ia bertanya.
"Ngomong-ngomong, masuk UPI mau ngambil jurusan apa?" tanya Tono.
"Rencananya, mau ngambil jurusan bahasa Indonesia. Atau enggak Komunikasi."
"Udah liat informasi soal daya tampung disana?"
"Belum."
"Jurusan itu banyak peminat bro, saran gue ganti yang lain atau pilih kampus alternatif," sarannya kepada Juliet.
"Hmm...," berpikir sambil memegang dagu dengan dua jari.
Suara telpon nyaring terdengar, Juliet berjalan mundur lalu mengangkat telpon. Rupanya, orang yang menghubunginya adalah Aman.
"Mas Jul, gimana soal lamaran kerja jadi? Atau elu mau kuliah?" tanya Aman.
"Jadi."
"Bagus ada lowongan tuh di PT. Tugu , sama di PT. Densus."
"Terakhir kapan?"
"Penutupan Rabu depan bro, kalau bisa kita daftar sebelum penutupan. Elu tau sendiri peminat sama kuotanya gimana. Bisa kan?"
Juliet mulai dilema, antara ikut seleksi kerja atau tidak. Apalagi kedua pabrik itu memang terkenal di seluruh nusantara. Selain produknya yang berkualitas, kesejahteraan pegawai tidak perlu di pertanyakan. Untuk memasuki salah satunya, harus melalui tes yang sangat panjang. Di mulai dari pisikotes, tes fisik, dan terakhir interviw. Diantara tiga tes tersebut, tes fisik adalah paling sulit. Menurut informasi sempat dia terima, hanya 40% yang lolos.
"Gue gak yakin bro, seleksi-nya ketat bro. Elu tau sendiri kemampuan gue gimana," ujarnya tidak percaya diri.
"Dengerin kata-kata gue, lebih baik berjuang dari pada tidak sama sekali. Lagi pula, rezeki gak ada yang tau. Coba dulu aja bro!" timbalnya berusaha meyakinkan Juliet.
"Elu bener, nanti gue siapin berkas-berkasnya."
Pembicaraan pun telah berakhir, Juliet kembali menikmati suasana di atas Vila seorang diri. Sedangkan Tono, sudah turun ke lantai bawah sejak dia telpon dengan temannya. Hari semakin gelap, mereka semua masuk ke dalam. Juliet teringat oleh perkataan Aman supaya dirinya mencoba terlebih dahulu. Mengingat hal itu, Juliet semakin dilema akan pilihannya.
Di dalam vila, mereka semua duduk di ruang tamu lalu menikmati roti bakar buatan Tono. Variasi selai bercampur dengan gandum, membuat makan malam terasa nikmat. Dua jam telah berlalu, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Mereka semua, berjalan menuju kawasan UPI (Universitas Pendidikan Indonesia). Bintang di langit, bersinar terang di kegelapan malam. Mereka semua, mulai memasuki taman berada sekitar kawasan UPI.
Juliet melihat, mahasiswa berkacamata dan mengenakan kaos dan jaket kulit sibuk memainkan laptopnya. Mahasiswa itu terlihat sangat kebingungan sembari menggigit jarinya. Saking fokusnya, kehadiran Juliet duduk di sampingnya tidak ia sadari. Kemudian dia menutup laptopnya, lalu tersenyum ramah kepada Juliet.
"Hallo."
"Hallo kak."
"Sedang survey ya?"
"Iya kak."
"Rencananya, mau ngambil jurusan apa?"
"Fakultas bahasa Indonesia kalau engga komunikasi."
"Wah dua jurusan itu banyak saingannya loh. Semangat yah!" ujarnya memberi semangat.
"Iya kak, terima kasih. Maaf mengganggu," timbalnya merasa tidak enak.
"Santai dek, ini juga udah selesai kok. Lagian sepi juga gak ada teman ngobrol."
Mereka berdua mulai berkenalan, mahasiswa tingkat akhir itu bernama Rendi. Dia adalah mahasiswa akhir dari fakultas informatika. Sekarang dia sibuk menyusun skripsi, pantas saja sejak tadi ia terlihat sangat kelelahan. Katanya dari jam delapan pagi, dia sudah berada di kampus. Selama di kampus ia berada di dalam perpustakaan untuk mencari bahan penelitiannya.
Sunara berserta temanya datang mendekati Rendi. Mereka pun mulai berbincang, seputar kampus UPI. Sementara Juliet, terdiam memperhatikan mereka semua. Satu jam telah berlalu, Kak Rendi pun pamit kepada mereka semua.
"Besok ada simulasi SBMPTN, kalian ikutan yah. Gratis kok langsung daftar di fakultas informatika."
"Langsung daftar gitu?" tanya Sunara.
"Iya datang langsung aja. Kalau begitu saya pamit dulu, Semangat ya dek!" Mengangkat tangan kanannya sambil mengepal.
Akhirnya mereka pun berpisah dengan Rendi. Tak terasa hari semakin gelap, mereka memutuskan untuk kembali ke vila. Mereka semua, berjalan keluar dari kawasan Universitas lalu berjalan menelusuri jalan aspal yang menanjak. Juliet sangat kelelahan, sedangkan mereka berjalan dalam kondisi prima. Sesampainya di vila, kami pun kembali ke kamar masing-masing. Kamar laki-laki berada di bawah, sedangkan wanita berada di atas.