Chereads / Hujan Yang Dirindukan / Chapter 4 - Lalu apalagi?

Chapter 4 - Lalu apalagi?

Orang tua gua memang bukan orang yang tergolong kaya raya, yang memiliki harta sampai tidak habis tujuh turunan. Ayah memiliki bisnis kecil-kecilan, tapi hasil dari bisnis itu 90% dimiliki ayah. Sedangkan sisanya diberi ke mamah. Tapi hasil itu hanya cukup buat belanja saja, sedangkan uang sekolah harus gua yang mencari. Makanya gua kerja dan terkadang ikut lomba balapan motor. Tapi untuk balap motor, Ayah, Mamah, dan Dina gak suka kalau harus ikut itu.

"Permisi mas, " Ucap seseorang.

Seketika lamunan gua pun buyar.

"(Gua pun menoleh dan kaget) Eh pak, udah lama disini? " Kata gua. Ternyata Pak Guru.

"Sudah sedari tadi mas saya disini sambil memanggil nama anda, " Kata Pak Guru.

"Bagaimana mas? Ulangannya sudah selesai? " Lanjutnya.

"Dua nomor lagi pak. Sebentar ya, " Kata gua.

"Maaf waktu anda telah berakhir. Silahkan mengikuti 𝘳𝘦𝘮𝘦𝘥 berikutnya, " Kata Pak Guru seraya mengambil kertas ulangan gua.

"Yah pak, jangan do'ain saya 𝘳𝘦𝘮𝘦𝘥𝘪𝘢𝘭 atuh. Amit-amit deh pak, " Kata gua.

"Sayang sekali, anda harus 𝘳𝘦𝘮𝘦𝘥𝘪𝘢𝘭. Karena soal yang dikasih hanya 5. Sedangkan anda tidak menjawab dua, dan sisanya pun belum tentu benar semua, " Katanya.

"Astaghfirullah bapak. Anda benar, " Kata gua.

𝘒𝘙𝘐𝘕𝘎! 𝘒𝘙𝘐𝘕𝘎! Bel istirahat pun berbunyi.

𝘉𝘙𝘈𝘒! Pintu kelas didobrak oleh seseorang. Entah siapa yang mendobraknya.

"MANA TEMAN GUA YANG NAMANYA RAMA ADITYA?! " Kata orang itu. Ternyata Dina.

"Maaf saya gak punya teman seperti anda, " Kata gua sambil berjalan keluar kelas.

𝘠𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘬𝘰𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘣𝘢𝘳𝘣𝘢𝘳 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘋𝘪𝘯𝘢 𝘺𝘢?, 𝘣𝘢𝘵𝘪𝘯𝘬𝘶.

"Eh, eh, eh, kok gitu sih? lu ninggalin gua nih? yaudah 𝘣𝘺𝘦, " Kata Dina seraya pergi.

"Lah? gua lagi yang salah. Dasar aku, " Kata gua.

(1 jam berlalu)

𝘒𝘙𝘐𝘕𝘎! 𝘒𝘙𝘐𝘕𝘎! 𝘒𝘙𝘐𝘕𝘎! Bel pulang pun berbunyi.

Gua langsung menuju parkiran dan akan langsung menuju ke rumah sakit untuk menjenguk mamah. Tapi entah mengapa ketika gua sudah menaiki motor, motor ini terasa berat.

"Yuk gas, " Ucap seseorang.

"(Gua pun menengok) Beban hidup dari mana nih?" Tanya gua. Ternyata Dina.

"Ngomong kayak gak ada filter. Kalah sama aquarium, " Kata Dina sambil memukul helm gua.

"Katanya kita mau jenguk mamski, gimana sih? lupa lu? " Lanjutnya.

"Oh iya, lupa gua kalo lu mau ikut, hayu atuh gaslah, " Kata gua sambil memberi helm ke Dina.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Dina cerita banyak hal. Banyak banget yang dia omongin, yang bikin gua sampe geleng-geleng kepala. Soalnya gak kedengeran.

"akskksxkskl, nah terus tuh akakshajaklala, gitu. Menurut lu gimana? " Kata Dina.

"Iya nanti beli makan kalo lu laper, " Kata gua

"(memukul helm gua) Bukan itu Aditya. Udahlah, " Lanjut Dina. Setelah itu Dina diam.

Selama di perjalanan, gua memikirkan banyak hal. Salah satunya, biaya perawatan mamah. Darimana gua dapat uangnya? Apa gua harus ikut balapan motor lagi? Apa jadinya kalo gua ngambil tawaran itu? Pasti Dina, Mamah, dan Ayah gak suka. Terlalu banyak hal yang gua pikirkan, sampai lupa kalo gua udah mau lulus.

Sesampainya di rumah sakit, gua dan Dina langsung menuju ke ruangan mamah dirawat. Disana gua gak melihat mamah, gua coba tanya sama perawat disitu.

"Sus, pasien di kamar ini kemana ya? " Tanya gua.

"Oh, pasien ini sedang menjalani operasi. Operasi sudah dilaksanakan dari satu jam yang lalu, " Ucap suster itu.

"Operasi? Operasi apa? Siapa yang memberi izin operasinya, Sus? " Tanya gua.

"Operasinya saya kurang tau, mas. Tapi yang memberi izin adalah suami dari pasien tersebut mas, " Kata Suster Amanda (Terlihat dari 𝘯𝘢𝘮𝘦𝘵𝘢𝘨 yang ada di bajunya).

𝘈𝘺𝘢𝘩? 𝘗𝘦𝘥𝘶𝘭𝘪 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘢𝘮𝘢𝘩, 𝘣𝘢𝘵𝘪𝘯𝘬𝘶.

"Jadi gimana dit? Mending kita makan dulu yuk, " Ajak Dina.

"Daripada nanti lu kelaperan. Operasi kan lama, " Lanjutnya.

"Yaudah deh. Kita makan dulu, " Kata gua.

Gua dan Dina langsung menuju ke kantin rumah sakit itu. Seperti biasa, Dina selalu memesan menu soto tanpa santan dan gua memesan soto dengan santan. Sebenarnya gua dan Dina ini memiliki banyak kesamaan dalam berbagai hal. Contohnya, Dina senang banget mengoleksi jam tangan, begitupun dengan gua.

Rasanya sudah hampir satu jam disini. Gua dan Dina pun langsung menuju ruang rawat lagi. Sesampainya disana, gua melihat seorang pria menggunakan kaos oblongnya dan celana jeans kusut. Ya, itu Ayah. Sepertinya Ayah sadar akan kehadiran gua dan Dina. Dia langsung bergegas bangun dari duduknya.

"Adit, kenapa gak kasih tau ayah kalau mamahmu masuk rumah sakit?, " Tanya Ayah.

"Radit gak mau merepotkan ayah. Melihat kalian berantem hampir setiap hari, itu membuat Radit berpikir kalo diantara kalian sudah tidak ada lagi kepedulian, " Kata gua.

"Lagipula, ayah gak perlu repot-repot datang kesini untuk menemani mamah. Ada Radit dan Dina yang akan menemani. Lalu mengapa ayah seenaknya menyetujui operasi mamah? Kenapa ayah ga kasih tau Radit dulu? Memangnya mamah sakit apa sampai harus melakukan operasi?, " Kata gua dengan mencecar pertanyaan ke ayah.

"Radit, asal kamu tau walaupun ayah dan mamah sering berantem, tapi ayah masih ada tanggung jawab ke kalian. Untuk operasi, ayah baru saja mendapatkan telepon dari rumah sakit. Mereka bilang mamah harus segera dioperasi. Makanya ayah segera menuju kesini dan tanpa berpikir panjang ayah langsung menyetujui pelaksanaan operasi itu, " Jelas Ayah.

"Ayah juga sudah membayar biaya rumah sakit mamah, " Lanjutnya.

𝘛𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘢𝘺𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘢𝘥𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘦𝘥𝘶𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘮𝘢𝘮𝘢𝘩. 𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘮𝘢𝘮𝘢𝘩 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘵𝘪𝘣𝘢-𝘵𝘪𝘣𝘢 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘭𝘢𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯? 𝘐𝘯𝘪 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘯𝘦𝘩, 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘨𝘶𝘢 𝘵𝘦𝘭𝘶𝘴𝘶𝘳𝘪𝘯, 𝘣𝘢𝘵𝘪𝘯 𝘨𝘶𝘢.

"Rasanya, ayah gak perlu repot-repot membayar pengobatan mamah. Radit masih bisa membayar itu kok. Radit masih punya tabungan dan ada gaji Radit dari kerja di 𝘤𝘢𝘧𝘦 kok. Lalu, emangnya mamah sakit apa?, " Kata gua.

"Radit, ayah udah sering bilang kalo ayah gak suka kamu dapat uang dari balapan ya. Tapi, oke juga kamu bisa bertahan hidup dari kerja di 𝘤𝘢𝘧𝘦. Lalu untuk penyakitnya, maaf ayah tidak bisa bilang. Karena mamah gak mau kamu khawatir, " Kata Ayah.

"Kenapa Radit gak boleh tau? Bukannya kalo Radit gak tau malah bikin Radit khawatir?, " Tanya gua dengan heran.

"Nanti kamu juga tau Radit, " Kata Ayah seraya melihat jam tangannya.

"Oke Radit, jaga mamahmu ya. Ayah ada kesibukan lain. Permisi, " Kata Ayah seraya berlalu.

"Ck. Lu liat sendiri kan Din? Suami macam apa dia sampai gak mau jaga mamah?, " Tanya gua bedecak dengan kesal.

"Sabar-sabar lu kan tau sifat dan sikap Ayah lu kayak gimana. Jadi, lu harus banyak ikhlas dan sabar ya, " Kata Dina seraya senyum dan mengelus pundakku.

Dina ini menjadi salah satu alasan gua tetap semangat disaat keadaan yang seharusnya menjadi pusat semangat malah menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Sifat Dina memang tidak berubah dari semenjak kami bertemu. Senyumnya yang merekah ditambah dengan gigi gingsul dan lesung pipi yang membuat dia semakin manis. Senyumku rasanya mengembang disaat aku mengingat hari itu.

------------------------------------------------------------------

𝘉𝘜𝘎𝘏! 𝘉𝘜𝘎𝘏! 𝘉𝘜𝘎𝘏!

"AYO! AYO! RADIT! RADIT! RADIT!, " Sorak teman-teman gua membuat suasana disini menjadi penuh dengan amarah.

Pukulan demi pukulan mulai melayang ke wajahnya. Begitu pula sebaliknya. Hari itu suasana di belakang sekolah sangat ramai akibat kegaduhan ini. Gua yang tersulut emosi akibat perkataan dia membuat gua melayangkan pukulan ke badannya. Rupanya dia membalas pukulan demi pukulan yang gua hantamkan ke dia.

"STOP! STOP! STOP! KALIAN INI BIKIN MALU SEKOLAH SAJA! BERHENTI SAYA BILANG!, " Tiba-tiba saja ada yang berteriak kepada kami. Ternyata Pak Jordan, Sang Kepala Sekolah di sekolah ini. Keadaan langsung hening dan gua pun berhenti menghajar 𝘴𝘪 𝘤𝘶𝘯𝘨𝘶𝘬 ini.

"KALIAN! IKUT SAYA KE KANTOR! SEKARANG! , " Lanjutnya.

Kami mengikutinya dari belakang menuju ke kantor andalannya. Gua berfikir disini bukanlah salah gua. 𝘈𝘩 𝘴𝘪𝘢𝘭, 𝘭𝘶𝘬𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘩 𝘫𝘶𝘨𝘢, 𝘣𝘢𝘵𝘪𝘯 𝘨𝘶𝘢.

"Duduk, " Katanya seraya duduk dengan tatapan matanya yang tajam menatap kami berdua.

"Kalian berdua selalu saja bikin ulah. Rasanya catatan berantem kalian sudah bisa mendapatkan Rekor Muri. Kamu, Rama Aditya. Kamu siswa pindahan kan? Baru kelas 1 SMA saja sudah berlagak sok jagoan disini. Kamu baru beberapa bulan disini tapi sudah mendapatkan coretan merah. Saya tidak bisa menjamin atas nilai dan kenaikan kalian. Saya harap kalian bisa berubah, " Jelasnya panjang lebar.

"Maaf pak, saya tidak terima dengan perkataan dia kali ini. Mengolok-olok atas meninggalnya adik saya, " Kata gua.

"Hadehhh pak, dianya aja yang lebay. Lagian benar kan perkataan saya. Kalau meninggalnya adik dia itu karena ulah dia sendiri. Lalu salah saya dimana?, " Kata Ferdi.

"JAGA YA OMONGAN LU! ADIK GUA MENINGGAL EMANG SALAH GUA! TAPI LU GAK BERHAK MENGOLOK-OLOK KEMATIAN ADIK GUA! LU TUH BUKAN SIAPA-SIAPA, " Bentak gua seraya berdiri.

"Lihatlah pak, hahaha.. Betapa arogannya dia dan betapa gampangnya dia tersulut emosi. Toh perkataan saya benar kenapa harus marah? Cih, " Katanya dengan santai.

"Kalian berdua sama saja. Yang satu mulutnya nyinyir dan yang satu tidak bisa mengontrol emosinya. Saya peringatkan sekali lagi ke kalian. Kalau sampai saya mendengar dan melihat kalian ribut lagi, tidak segan-segan saya melayangkan Surat 𝘋𝘳𝘰𝘱-𝘖𝘶𝘵 untuk kalian. Silahkan kalian keluar dari ruangan saya, " Kata Sang Kepala Sekolah.

Gua pun keluar ruangan dan dibarengi oleh bunyinya bel pulang. Gua menuju kelas untuk mengambil tas dan menuju ke parkiran motor lalu langsung melajukan motor gua mengarah ke rumah. Selama diperjalanan gua memikirkan kesalahan gua di waktu itu. Dimana rasa egois yang tinggi menghasilkan rasa penyesalan yang teramat menyakitkan dan berbekas sampai saat ini.

𝘋𝘪𝘵𝘢, 𝘮𝘢𝘢𝘧𝘪𝘯 𝘢𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢, 𝘣𝘢𝘵𝘪𝘯 𝘨𝘶𝘢.