Menjadi awal untuk sebuah perjuangan. Rasa ragu hingga merasa kurang percaya diri dengan apa yang dimiliki. Memberi banyak pengorbanan walau seperti tak direspon. Membentuk kode cinta yang begitu penuh lewat tatapan mata juga ditanggapi abai. Sentuhan kulit yang tidak sengaja pun seolah memberi pengharapan untuk bisa dibalas. Cinta sepihak yang begitu membawa pengaruh berat seperti memberi tekanan mental dan fisik.
Seperti dua orang berbeda watak, Max dan Ilham. Mereka dalam posisi yang sama, perjuangan yang mereka pilih memang begitu bertolak belakang. Max yang mengejar dengan menggebu dan Ilham yang seperti tahan banting menghadapi kenyataan berat yang tanpa peduli diterjangnya.
Nathan adalah kekasih Rian. Mereka boleh mengatakan saling mencintai walau logika sering kali meragukan makna kekasih itu sendiri. Tak ada bentuk pemberian dan penerimaan dari mereka. Nathan dan Rian bahkan seperti baru menginjak level dasar dari suatu hubungan, hanya pada level ketertarikan fisik. Dan tak bisa dipungkiri saling membutuhkan masih sepersekian persen begitu rendah, jauh dari sempurna. Hubungan yang lama memang tak selalu menjamin kualitas.
" Max?"
Tubuh besar itu masih terus memenjara Nathan di pelukannya. Menghirup aroma yang sama sekali tak dibayangkan akan begitu ia rindukan. Kedua lengannya bahkan sudah berlarian meraba tempat yang begitu lama berjauhan darinya. Max bahkan bisa dengan cepat memutuskan bagian favoritnya. Pinggang ramping yang berlanjut dengan pantat yang terbentuk sempurna terlihat padat tanpa lemak.
Bahkan pikiran kotor Max sudah merencanakan untuk meremas dan menggigit dua buntalan menggemaskan itu. Meninggalkan bekas jamahannya mungkin akan terlihat jauh lebih menggoda. Dan Max mengikrar dalam hati, hari itu pasti akan datang. Nathan yang menyerahkan diri sepenuhnya tanpa paksaan.
" Ahh! Lepas Max!"
Max yang mendapat perlawanan itu hanya menyeringai puas. Suara respon penolakan itu malah semakin membuat Max ketagihan.
" Lama tak bertemu, kawanmu ini begitu rindu."
" Sial! Lepas! Lagipula siapa kawanmu?"
Max sama sekali tak berniat sedikit pun menjauh dari Nathan. Ia memang berniat balas dendam untuk waktu- waktu yang terbuang sia- sia yang harusnya disediakan untuk Nathan. Tuntutan sebagai orang dewasa yang bertanggungjawab dengan profesinya memang sedikit menghambat proses pendekatan. Tapi memang Max masihlah berpikir rasional, pemimpin perusahaan harusnya memang bijak.
" Kenapa kau terus mengikutiku?"
Nathan dibuat jengah- sejengah jengahnya, Max yang begitu batu terus saja mengekorinya kemanapun ia melangkah. Bahkan saat Nathan sedang sibuk mencari berkas di rak nya, Max masih terus menampakkan diri dengan senyuman tipis.
" Harusnya sebagai anak yang baik kau itu pulang ke rumah dan menemui orangtuamu dulu. Absen wajah, setidaknya mereka tidak berpikir kau ada apa- apa dalam perjalanan."
" Aku tadi sudah menghubungi ibu... lagipula rumahku masih tetap berdiri kokoh di perumahan jalan pahlawan."
Nathan pun sudah bersiap untuk gangguan- gangguan Max selanjutnya. Pria yang masih menenteng koper dan barang- barang lain itu bahkan tanpa rasa bersalah duduk nyaman dan sesekali tersenyum ke arahnya.
Saat ini memang mereka berdua sedang menikmati jamuan makan siang yang dipesan Max tanpa mengkonfirmasi dulu ke Nathan yang adalah pemilik ruangan. Hidangan yang begitu lezat meski dinikmati Nathan dengan sedikit was- was. Bukan karena hal lain, sedari tadi pria yang duduk di sampingnya itu terus bergerak dan menyentuh sudut bibir yang katanya sedikit kotor karena bumbu kari. Alasan yang tak logis bila ternyata Max malah mengelus permukaan pipinya juga.
" Aku tak tau jika pria dewasa sepertimu akan memakan makanan dengan berantakan?"
" Kau pikir aku tak tau niatmu apa? Berpura- pura membantu ku membersihkan wajah, tapi kurasa tanganmu ini malah merayap kemana- mana."
Nathan menghempaskan sendok garpunya sedikit keras. Nafsu makannya bahkan langsung hilang meski hidangan di meja depannya itu masih terlihat menggiurkan.
" Oh... syukurlah kalau kau masih peka dengan tindakanku."
" Peka? merasa risih lebih tepatnya."
Max yang ditanggapi sewot itu malah menyungging senyum lebar. Percakapan yang seperti ini yang diinginkan, saling berdebat dan bertatapan beda arti. Keadaan seperti ini memang begitu menyenangkan untuk Max.
Max yang dulu selalu menjadi pusat perhatian. Dia yang dulu menjadi prioritas dari orang lain. Banyak wanita yang begitu mengidamkan nya. Tapi semua itu terasa memuakkan, hadirnya Nathan mampu mengembalikan hatinya yang sudah lelah mendengar bisingnya orang yang memperebutkannya. Ia bisa menjadi dirinya yang apa adanya, bukan Max yang selalu membawa sempurna.
" Kau sudah begitu lama disini."
" Oh... ini memang waktunya kau pulang, ayo!"
Nathan bahkan tak bisa berbuat apapun. Tubuhnya yang begitu letih karena seharian mengurusi pekerjaan kantor ditambah tatapan Max yang tak sekalipun mengalihkan pandangan darinya itu menjadi kesialan gandanya hari ini.
Tiga bulan tanpa Max memang begitu menyenangkan. Tapi Nathan tak pernah menyangka bahwa akhir dari tiga bulan itu akan semakin parah. Max seolah terang- terangan sedang mengejarnya. Ia memang begitu risih apalagi Max selalu menyertakan kontak fisik padanya. Nathan seolah tak berdaya untuk melawan, Max seperti menyerap semua keberaniannya dengan sikap dominan.
" Berhenti. Kenapa kau masuk mobilku?"
" Karena kita memiliki tempat tujuan yang sama. Cepat buka bagasi mobilnya!"
" Kau tak berniat ingin terus merecoki hidupku kan?"
Nathan bertanya dengan ekspresi mendesaknya. Area bassment yang sudah begitu ramai seolah tak mengurutkan Nathan untuk mendorong jauh Max.
" Aku tidak berniat... aku bahkan sudah merealisasikan itu. Bukankah aku sudah mengatakan jika aku suka deng-"
Nathan pun segera mendekat ke Max. Tangannya membungkam mulut Max yang sengaja berbicara keras. Nathan sampai harus kebingungan dengan pandangan yang meliar kesekeliling, bagaimana jika ada mendengar suara Max? Bagaimana kalau sebagian dari mereka menatap curiga? Bagaimana jika banyak anggapan negatif apalagi sampai berpikir jika dirinya pria gay?
" Jangan seenaknya bicara ya! Ak- aku bukan pria yang kau anggap bisa dikejar oleh sesama pria lain."
Nathan memperingatkan dengan suara pelan dan penuh penekanan. Meski dari ucapannya itu terdengar sangat munafik dari kenyataan yang ada. Ia masih terus membungkam Max, jarak sedekat itu membuat mereka sesekali bertemu tatap. Dan Nathan lagi- lagi bersikap bodoh, ia hanya memandang Max saat pria dengan lancang memijat dahinya yang berkerut dalam.
Nathan yang baru tersadar setelah beberapa detik itu pun segera melepas tangannya dari depan mulut Max. Ia langsung membuka pintu mobilnya dan menekan tombol buka bagasi. Ia bukan menyerah begitu saja pada Max, hanya saja suasana basment yang makin ramai dengan memandang mereka penasaran cukup membuat Nathan terdesak.
" Ak- aku baru memperingatkanmu dan kau sudah bertingkah macam- macam. Ini baru hari pertama sejak kita lama tak bertemu Max!"
Dan Nathan langsung mengomeli Max yang baru saja menutup pintu mobil. Max pun masih dengan dirinya yang diliputi rasa rindu untuk Nathan yang dari tadi mengerucutkan bibirnya bertambah semakin gemas.
Mobil melaju lamban di tengah kemacetan yang rutin terjadi. Dua puluh menit mereka saling terdiam. Nathan tak tau harus melajukan mobilnya kemana. Ketiga tujuan utama yang diketahuinya memiliki arah sama, baik rumahnya, milik Max, atau gedung apartement yang harusnya jadi tujuannya sekarang.
Ditengah situasi yang sama tegang, Rian menatap Ilham dengan penuh kekecewaan. Dentingan bel yang biasa ada di jam pulang Nathan membuatnya sempat berpikir jika itu adalah kekasihnya.
Seharusnya Rian tak berhak merasa marah dan kecewa. Mereka bukan dua orang yang sedang menjalin hubungan. Ilham tak selingkuh karena memang ia sedang tak dimiliki siapa pun.
" Maafkan aku Ri..."
Dan hati yang perih lebih menguasai. Rian malah meneteskan air mata dengan tersedu- sedu di dekapan Ilham. Harusnya tak begini, bagaimana Rian bisa bertingkah sebagai orang yang teraniaya karena diselingkuhi. Ia merasa begitu egois saat menginginkan Ilham dan Nathan ada disampingnya dalam waktu bersamaan.
" Aii... Kenapa aku sangat kecewa karena kata- katamu kemarin? Aku bahkan tak melihat kau berbuat macam- macam dengan yang lain, tapi kenapa bayangan itu seolah tergambar jelas? Kenapa aku kecewa saat kau mengatakan tidur dengan seorang wanita? Kau pria bebas Aii... harusnya aku tak seperti ini!"
Mereka saling bertatapan dengan tangan yang saling mendekap. Sofa hitam yang banyak memberi memori kemesraan secara tiba- tiba berputar di ingatan. Rian masih dengan wajah yang diliputi kesedihan dengan jejak air mata memenuhinya. Sedangkan Ilham malah merasakan bahagia disudut kecil hatinya. Jika sebagian sedih karena Rian yang sedih karenanya, maka sudut bahagia karena mendapati kenyataan jika Rian memang sedikit memiliki rasa padanya.
" Aku ingin minta maaf, tapi mulutku ini juga tidak bisa menahan untuk berbicara terimakasih. Kau kecewa karena kau merasa cemburu... Kau harusnya cepat sadar dengan perasaanmu kepadaku."
Rian segera melepaskan tangannya yang memeluk Ilham. Menghapus jejak air mata dengan punggung tangannya. Ia masih meraba tentang maksud Ilham. Rian memang cemburu, tapi harusnya memang itu tak terjadi!
" Apakah aku begitu egois Aiii.... Aku sadar jika diantara kau dan kekasihku tak ada yang ingin kulepas."
Rian berbicara mencurahkan hatinya. Tatapan yang memandang Ilham dengan penuh kebingungan memang menggambarkan isi terdalamnya. Hatinya bahkan begitu ragu jika cinta bisa hadir dalam bersamaan dan porsi yang sama. Bukankah itu seperti pengkhianatan?
" Jangan pernah berpikir buruk tentang dirimu sendiri. Aku yang salah, jika kau mencari objek untuk dijadikan rasa kesalmu... harusnya memang aku."
" Aii... aku tak ingin ini terjadi padaku! Rasa cinta harusnya sempurna untuk satu orang. Apakah buruk jika pada kenyataannya aku ingin memilikimu dan kekasihku?"
Mendengar kata- kata yang sedikit memunculkan harapan itu, Ilham pun segera mendekap kembali tubuh kecil Rian. Ia sama sekali tak peduli dengan posisi urutan Ilham dihati Rian. Dengan hanya mendengar dengan jelas pernyataan tak yakin Rian sudah membuatnya diatas awan.
" Tak ada yang buruk darimu, karena pada kenyataannya kau masih mampu membuatku gila."
Ilham pun bergerak maju. Kedua lengannya mendorong belakang leher Rian untuk lebih memperdalam cumbuannya.
Dan Rian pun masih menikmati itu, tanpa memikirkan Nathan yang bisa saja masuk tiba- tiba. Rian seakan hilang kesadaran, cumbuan Ilham menghipnotisnya.