"Gue ... gue mau minta bantuan sama kalian, boleh?" tanya Andara dengan ragu. Rio dan Revan saling bertatapan, sepertinya ini masalah serius sampai Andara terlihat sangat gelisah.
Rio dan Revan mengangguk bersamaan. Andara meminta keduanya untuk membantunya menjebak Elvan. Mungkin pada akhirnya Andara harus mengambil langkah ini, teror ini harus diakhiri sekarang juga sebelum Algar dan teman-temannya semakin ikut menderita.
Andara menjelaskan seluruh rencananya. Rio dan Revan mengerti dalam sekejap. Andara percaya pada keduanya, Andara yakin rencananya ini akan berhasil.
Semoga Elvan segera berhenti. Andara sangat berharap Algar segera siuman dan tidak akan terluka lagi. Elvan sudah keterlaluan, semoga Rio dan Revan tidak dalam bahaya.
♡♡♡
Andara menghabiskan sarapan yang dibuat bundanya. Hari ini Andara masih mengambil izin di sekolahnya. Andara juga berniat menjenguk Algar di rumah sakit hari ini.
"Bunda ada pekerjaan?" Bundanya mengangguk.
"Lagi banyak banget. Bunda sampe pusing." Andara menghampiri bundanya, mengusap bahu wanita itu guna membantunya lebih semangat.
"Semangat bunda!" Bundanya tersenyum kemudian memeluk Andara sangat erat.
Bundanya merasa Andara sudah berbeda dari beberapa bulan yang lalu, apakah Algar penyebab semua ini? Bunda Andara sangat bersyukur bisa melihat senyum putrinya lagi.
20 menit kemudian bundanya berpamitan untuk berangkat kerja. Andara kini sendirian lagi di rumah. Apa lelaki itu akan mendatanginya lagi?
Andara menghentikan langkahnya ketika mendengar suara ketukan pintu, tubuhnya kembali gemetar, apa Elvan benar-benar mendatanginya lagi? Kenapa lelaki itu selalu menganggu hidupnya?
Andara menghembuskan napasnya kemudian membuka handle pintu. Tebakan Andara benar, dia adalah Elvan. Andara memberanikan diri menatap lelaki itu meskipun masih ada rasa takut sedikit di dalam dirinya.
"Mau ngapain lagi lo ke sini?!" bentak Andara. Elvan tertawa renyah.
"Kasar sekali kamu, Andara." Andara menatap Elvan dengan tatapan elangnya.
"Berisik!" Elvan mengubah raut wajahnya menjadi serius. Andara tertegun.
Elvan mengulurkan tangannya, lelaki itu mencengkram leher jenjang Andara. Elvan mencekiknya. Andara berusaha menjauhkan tangan itu, tapi rasanya sangat mustahil.
"Le ... lepasin!!" pekiknya susah payah. Andara merasakan napasnya mulai tersengal-sengal.
Andara menatap jam dinding, seharusnya mereka sudah di sini sekarang.
"Elvan berhenti!!" pekik seseorang dari arah belakang. Elvan tertegun kemudian menoleh ke belakang. Sudah ada Rio dan Revan serta beberapa polisi bersamanya. Elvan melempar tubuh Andara hingga perempuan itu tersungkur di lantai.
"Dasar buronan keras kepala! Ikut kami ke kantor sekarang!" Elvan masih tidak bergeming dari tempatnya. Elvan kembali menoleh ke arah Andara yang sedang menghirup udara sebanyak-banyaknya.
"Apa ini semua rencanamu?" Andara hanya terdiam menatap Elvan.
"Jawab Andara!! Apa kamu yang merencanakan ini semua?!" Elvan melayangkan tangannya, sayangnya sebelum tangan itu mendarat di pipi Andara, para polisi langsung menghentikan pergerakan Elvan.
Andara terdiam kemudian menarik satu sudut bibirnya. Elvan terus memberontak.
"Lo pantes dapet itu, Elvan! Gue gak akan jadi orang selemah dulu, gue akan jadi pemberontak." Elvan mengepalkan tangannya.
"Bawa dia, pak!" Elvan terus memberontak, Andra hanya menatap kepergian lelaki itu beserta para polisi dengan rasa yang lega.
Elvan juga sempat mengancam sesuatu kepada Andara sebelum lelaki itu di bawa pergi.
"Ini semua belum berakhir, Andara! Akan aku hancurkan seluruh hidupmu!!" pekiknya.
Andara tertegun, sepertinya lelaki itu memang psychopath sungguhan. Walaupun begitu, setidaknya sekarang Andara lebih lega. Akhirnya Elvan tidak akan menghantuinya lagi. Andara mengusap dadanya.
Rio dan Revan menghampiri Andara. Andara tersenyum kecil pada keduanya, tanpa mereka, rencana Andara tidak mungkin semulus ini. Andara mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada mereka.
♡♡♡
"Jadi sebenernya dia itu siapa?" tanya Rio. Andara sedikit bimbang apakah harus memberitahu semuanya atau tidak.
Kini ketiganya berada di dalam mobil milik Revan. Mereka akan menuju rumah sakit untuk menjenguk Algar.
"Polisi bilang dia buronan," lanjutnya. Andara memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Rio dan Revan meskipun tidak selengkap kenyataannya.
"Dasar cowok gila! Jadi foto itu kesebar karena lo dijebak dan difitnah sama dia?" Andara mengangguk kecil.
"Astaga gue bener-bener minta maaf karena gue waktu itu punya pikiran buruk tentang lo."
"Gak masalah, gue udah biasa," balasnya.
"Baguslah sekarang dia udah ditahan." Andara mengangguk kecil, sejujurnya perempuan itu juga sangat lega.
Mobil milik Revan berhenti tepat di depan rumah sakit. Andara turun terlebih dahulu, tanpa menunggu Rio dan Revan yang sedang memarkirkan mobil, Andara langsung berlari menuju ruang rawat inap Algar.
Andara menemukan Dita di ruang tunggu ICU.
"Gimana keadaan Algar, tante?" Dita menggeleng kecil, sepertinya belum ada perubahan. Andara berusaha menahan air matanya, entah kenapa mengetahui kenyataan ini membuat hati Andara sangat sakit.
Rio dan Revan datang menyusul Andara. Keduanya mencium tangan Dita, mereka berbincang tentang Algar lumayan lama hingga Andara tahu lebih banyak tentang lelaki itu. Mulai dari warna kesukaannya, makanan kesukaannya, dan sesuatu yang lelaki itu juga suka.
Matahari mulai tenggelam dan Dita harus kembali ke rumahnya karena Lidya pasti sendirian. Andara meminta Rio dan Revan untuk mengantarkan Dita kembali ke rumahnya, sementara dirinya ingin menemani Algar untuk satu malam.
Rio dan Revan mengangguk setuju karena Andara adalah kekasih Algar, mungkin Andara ingin berbincang berdua dengan lelaki itu, Dita juga tidak keberatan dengan keputusan Andara karena perempuan itu percaya dengan Andara.
Sepeninggalan ketiganya, Andara memakai pakaian yang sudah disiapkan khusus untuk penjenguk pasien ICU. Andara membuka handle pintu ruang itu, aroma obat-obatan menyeruak memanjakan indera penciumannya. Andara tidak kuat lagi menahan tangisnya ketika melihat tubuh Algar dipenuhi oleh selang.
Andara tidak bisa membayangkan jika ia tidak bisa melihat tawa Algar lagi. Andara meneteskan air matanya.
"Algar ... bangun ...," lirihnya. Andara mengulurkan tangannya untuk menyentuh punggung tangan Algar yang terasa dingin.
"Gue masih butuh lo, Algar. Bangun ...," lanjutnya. Tangisan Andara semakin terdengar, baru pertama kali rasanya perempuan itu menangis hanya untuk seorang lelaki yang bahkan belum ia kenal terlalu lama.
Hanya suara mesin-mesin medis yang terdengar. Andara menggenggam tangan dingin itu. Wajah Algar juga terlihat sangat pucat, sangat berbeda ketika lelaki itu sedang menggoda Andara.
"Algar ... gue kangen canda tawa lo, GUE MOHON BANGUN ALGAR!!" jeritnya. Andara merasakan kakinya lemas. Perempuan itu menarik sebuah kursi agar lebih dekat dengan bangkar Algar.
Andara menumpahkan seluruh air matanya yang selama ini ia tahan. Perempuan itu menangis hingga dirinya terisak.
Andara menggenggam tangan Algar lebih erat. Hingga terdengar suara besar dari sebuah mesin medis yang berfungsi untuk mengetahui detak jantung.
Andara terlihat panik karena angka detak jantung Algar mulai menurun. Andara terus menekan bel pemanggil dokter, Andara sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa.
"ALGAR!!!"