Chereads / Uncrowned King / Chapter 2 - Latihan

Chapter 2 - Latihan

Setelah melihat sekeliling kamarnya dan memastikan bahwa semuanya sudah rapi, Hiura segera mengambil tas miliknya dan berjalan ke luar.

Hiura yang sudah berada di luar kamarnya pada pukul enam melihat ke kanan dan ke kiri, tidak ada tanda-tanda bahwa murid-murid lainnya sudah keluar dari kamarnya. Hal itu cukup masuk akal, kelas pertama akan dimulai pukul delapan pagi, jadi pukul enam pagi masihlah terlalu awal bagi mereka.

Walaupun elevator terlihat kosong karena tidak digunakan, Hiura memilih turun menggunakan tangga. Baginya lebih baik menggerakkan tubuhnya daripada mengandalkan mesin jika jaraknya tidak terlalu jauh.

Seperti dugaannya, academy masih sangat kosong. Hiura sendiri hanya melihat beberapa murid yang sudah ada di sana, dilihat dari arah mereka berjalan, beberapa murid terlihat berjalan ke arah arena.

"Murid yang rajin," gumamnya.

Hiura terus berjalan hingga akhirnya sampai di kelasnya, dia segera duduk dan memalingkan wajahnya ke luar jendela.

Alasan Hiura segera pergi dari kamarnya karena dia tidak memiliki kegiatan yang bisa dilakukan, tapi saat dia sudah sampai di kelasnya, perasaan yang sama melandanya.

"Sungguh membosankan," keluhnya.

Tanpa Hiura sadar, dia telah menutup kedua matanya dan saat dia hampir saja tertidur, suara pintu kelas yang digeser langsung masuk ke telinganya.

Hiura segera menatap ke arah suara itu berasal, dia menemukan Iva Shuuko memasuki kelas sembari membaca sebuah buku.

Hiura tahu bahwa Iva masih belum sadar tentang keberadaanya di kelas, namun Hiura sendiri tidak mau repot-repot untuk menyapa Iva, karena itulah dia tetap memilih diam dan memalingkan kembali wajahnya ke luar jendela.

Waktu demi waktu berlalu, sekitar pukul tujuh lebih sepuluh, beberapa siswa di kelasnya telah hadir di sana. Ada juga beberapa murid dari kelas lain yang datang untuk mengunjungi temannya yang memiliki kelas yang berbeda.

"Iva," ucap seorang siswi.

Siswi bersurai aqua itu langsung mendekati Iva setelah memasuki kelas. Hal itu menarik perhatian murid-murid lainnya termasuk Hiura.

Hiura yakin bahwa siswi yang mendekati Iva bukanlah siswi dari kelasnya tersebut. Selain itu, beberapa murid langsung berbisik antar satu sama lainnya, pasalnya Iva adalah siswi yang sangat dingin, bahkan ada rumor bahwa dia tidak memiliki teman di academy tingkat satu dan dua.

Rumor tersebut secara langsung disangkal oleh kejadian yang terjadi di hadapan murid-murid di kelas tersebut.

"Camila, bisakah kamu sedikit lebih tenang?" pinta Iva.

"Kamu masih dingin seperti biasanya, jika kamu terus seperti itu, kamu tidak akan punya teman selain aku seperti biasanya."

"Tidak masalah, selama kamu mengerti diriku," balas Iva sembari menutup bukunya kemudian tersenyum pada Camila.

"Astaga, kamu sungguh tidak peduli kepada rumor buruk tentangmu ya."

Iva hanya tersenyum sebagai balasannya, setelah itu dia berdiri dan keluar bersama dengan temannya tersebut.

Sekitar sepuluh menit sebelum jam pertama dimulai, Iva kembali dan langsung duduk di kursinya. Setelah bel tanda jam pertama terdengar, semua murid di kelas segera kembali ke bangkunya masing-masing.

"Kita mulai pelajarannya sekarang," ucap seorang guru wanita sesaat setelah dia memasuki kelas.

Murid-murid segera membuka bukunya dan menulis setiap materi yang dituliskan di papan tulis. Selagi murid lainnya sibuk dengan menulis materi, Hiura sendiri terlihat tidak tertarik dan malah mencoret-coret bukunya dengan berbagai jenis senjata yang dia gambar.

Materi yang diberikan oleh gurunya terlalu sering diulang menurut Hiura, terlebih pengetahuan umum seperti itu sudah diketahui sejak lama dan sudah dipelajari di tingkat-tingkat sebelumnya.

Seperti tingkat kekuatan manusia yang dibagi menjadi beberapa kelas, dimulai dari tingkat terkuat, King, Queen, Bishop, Knigh , Rook, Pawn. Walau kelas Pawn menjadi yang terlemah, tapi tingkatan tersebut memiliki keistimewaan untuk melakukan promosi ke tingkat tertentu.

Walau True King mengadopsi sistem kekuatan tersebut dari sebuah permainan bernama catur, tapi kelas Pawn tidak bisa sesuka hati untuk melakukan promosi. Seorang dengan kelas Pawn harus bisa menembus batas kekuatannya dan diakui oleh dunia hingga mendapatkan promosi, selain itu seorang kelas Pawn hanya mendapatkan satu promosi ke kelas tertentu.

Selain itu, berita tentang seorang kelas Pawn yang mendapatkan sebuah promosi saja tidaklah banyak, dengan kata lain itu adalah kasus yang sangat langka. Karena syarat yang sulit tersebut terkadang membuat seorang di kelas Pawn menyerah dan menerima keadaannya begitu saja.

"Hiura?"

Hiura masih saja sibuk dengan gambar-gambarnya hingga tidak mendengar suara tersebut memanggilnya.

"Hiura??" suara tersebut kembali terdengar dengan nada yang sedikit lebih tinggi.

Hiura segera menengadahkan kepalanya dan melihat gurunya tengah berdiri di sampingnya.

"Apa kau sedang tidak enak badan?" tanya guru tersebut."

"Ti‒tidak, maafkan saya, saya hanya kurang berkonsentrasi."

"Baiklah, segeralah berganti pakaian untuk jam selanjutnya, kau akan terlambat jika tidak bergegas."

Setelah diingatkan, Hiura segera pergi meninggalkan kursinya.

"Aku harap kau akan lebih memperhatikan kelasku," ucap guru tersebut sebelum Hiura meninggalkan kelas.

Hiura menganggukkan kepalanya sebagai jawaban bahwa dia akan bersungguh-sungguh di lain waktu.

Hiura segera pergi menuju ruang ganti yang sudah ditinggalkan siswa dari kelasnya, dia mengambil baju training yang masih terlipat rapi dan segera mengganti seragamnya tersebut.

Setelah mengganti seragamnya dia berjalan menuju lapangan dan menemukan teman-temannya sudah berpasang-pasangan dengan rekan pilihannya masing-masing.

"Akhirnya kau datang juga, bukankah kau terlalu lambat hanya untuk mengganti seragammu?"

"Ha? Apa maksudmu?"

"Kelas ini akan melakukan latihan tanding. Semuanya sudah mendapatkan pasangan masing-masing dan secara kebetulan aku belum mendapatkan pasangan. Selain itu murid laki-laki dan perempuan di kelas kita tidak berjumlah genap, jadi setidaknya akan ada satu pasang latihan yang tidak sepenuhnya laki-laki atau perempuan."

"Aku mengerti, tapi bisakah kau menunggu sebentar?" tanyanya penuh harap.

"Baiklah, lakukan sesukamu," jawab Iva sembari memalingkan wajahnya dari pandangan Hiura.

Setelah mendapatkan izin, Hiura segera mendekat ke salah satu teman sekelasnya.

"Permisi … Aku Hiura Muramase, bisakah kita bertukar pasangan? Hm …."

"Gerlt Sounsuke, panggil saja Gerlt. Hanya saja aku harus menolak permintaanmu, aku terlalu takut untuk berpasangan dengannya, walau dia cantik dia juga sangat kuat. Aku khawatir bahwa aku adalah serangga di hadapannya."

"A‒aku mengerti, maaf karena sudah menggangumu,"

Walau telah ditolak, Hiura masih belum menyerah, dia masih berkeliling dan bertanya pada teman-temannya yang lain. Sayangnya jawaban dari mereka tidaklah berbeda jauh dari jawaban orang pertama, hingga akhirnya Hiura kembali dengan langkah lesu.

Di sisi lain, Iva terlihat jengkel, tangannya terlipat di depan dadanya dan matanya menatap tajam pada Hiura.

"Maaf membuatmu menunggu," ucap Hiura dengan nada pasrah.

"Sudah puas mencari jawabannya?" Tanya Iva kesal.

"Ya," balasnya.

"Sudahlah, sebelum moodku benar-benar hancur, sebaiknya kita segera mulai berlatih, teman-teman yang lain juga sudah mulai berlatih," kata Iva mengingatkan Hiura.

"Oh, sebelum itu, bisakah kau menunggu sebentar?"

Walau Iva sedikit bingung, dia mengangguk pelan hingga membuat Hiura pergi mendekat ke arah guru mereka.

Hiura berbicara dengan guru pria dengan otot besar yang tidak bisa disembunyikannya dari balik training-nya tersebut.

Setelah itu Hiura mengambil sebuah pedang dan berjalan kembali mendekati Iva.

"Baik, aku sudah siap," ucap Hiura.

"Tanto ya … maaf saja, walau kau tidak menggunakan soul weapon-mu, aku akan tetap melawanmu dengan soul weapon-ku."

"Aku mengerti, tidak ada alasan mengasihani lawan dihadapanmu," balas Hiura.

"Bevine."

Celah dimensi yang cukup besar muncul dan melayang di hadapan Iva, Iva langsung memasukan tangannya dan menarik sebuah senjata dari ruangan tersebut. Setelah senjata di tarik, celah dimensi menghilang dan menyisakan sebuah pedang berwarna sky blue dengan panjang empat puluh tujuh sentimeter.

"Aku mulai," ucap Iva lembut.

"…."

Sesaat setelah mengucapkan hal itu, Iva melesat ke arah Hiura dan mencoba menebasnya. Hiura tidak terkejut sama sekali, dia dengan tenang bergeser ke kiri. Setelah berhasil menghindari serangan cepat Iva, Hiura menengok ke arah kanan dan membuat Iva secara reflek menengok ke arah yang sama dengan Hiura.

Klang!

"Sungguh strategi yang licik," ejek Iva.

"Aku hanya melempar umpan dan kau memakan umpan tersebut."

Iva terpancing oleh ucapannya dan mulai mengerahkan lebih banyak tenaga pada tangannya, ajaibnya Hiura mampu menghindari serangan Iva dengan mudah, seolah-olah gerakan Iva sudah diprediksi oleh Hiura.

Di sisi lainnnya, banyak teman-teman sekelas mereka yang sudah berhenti berlatih, ada yang menyerah karena kelelahan dan ada yang berhasil mengalahkan lawan tandingnya tersebut. Mereka yang sudah berhenti mulai memperhatikan latihan Iva dan Hiura secara seksama.

"Iva pasti menahan dirinya saat ini," tutur seorang siswa berambut cokelat terang.

"Sudah pasti, tidak mungkin murid terlemah bisa bertahan selama itu melawan murid terbaik di angkatan kita," jawab yang lainnya.

"Tidak diragukan lagi, tapi Iva pasti akan mengalahkan Hiura sebentar lagi.

Iva segera melompat ke belakang dan menarik napas panjang, Iva lekas menyeka keringat yang membanjiri di sekitar wajahnya dan kembali mengangkat senjatanya.

Iva bisa mendengar setiap kata-kata yang keluar dari mulut teman-teman sekelasnya, baginya ucapan teman-temannya itu tidaklah benar, Iva sendiri sudah menggunakan hampir seluruh kekuatannya dan masih belum mampu mengalahkan Hiura. Dia menyadari ada sesuatu yang aneh dari lawannya tersebut, sedangkan teman-temanya tidak dan hanya berkomentar merendahkan Hiura.

Seolah tidak mau memberikan terlalu banyak waktu istirahat untuk Iva, Hiura segera melesat dan menyerang Iva. Kali ini keadaan menjadi berbalik, posisi Iva yang sedari tadi terus menyerang Hiura, kini telah diputar dan menjadi posisi bertahan.

Gerakan Hiura menjadi semakin cepat setiap waktunya hingga membuat Iva kewalahan untuk mengikuti kecepatannya. Hal itu sedikit membuat kagum teman-temannya.

"Ternyata si lemah itu lumayan juga."

"Kau benar tetapi itu juga karena belas kasih Iva, jika Iva serius dari awal, dia akan kalah dengan sangat cepat,"

Iva menjadi kesal kepada ucapan teman-temannya yang seolah tahu segala keadaan dirinya saat itu. Disaat yang sama, dirinya juga merasa putus asa karena ketidak mampuanya mengalahkan Hiura dengan cepat, padahal dia sudah sombong sesaat sebelum latihan dimulai.

Hiura yang melihat raut wajah Iva langsung mengerti dengan perasaaanya, Hiura kemudian menatap Iva penuh rasa kasihan. Iva yan melihat tatapan Hiura menjadi semakin kesal, kemudian dia memutuskan untuk melesat dan menyerang Hiura, sesat sebelum tubuh mereka menjadi sangat dekat, Iva bisa melihat seringai Hiura.

Bught!

Suara keras itu terdengar saat tubuh mereka berdua saling bertabrakan, mereka berdua tetap berdiri untuk beberapa detik, setelah itu Hiura tiba-tiba terjatuh dengan ekspresi kesakitan.

"Sudah kuduga, Iva pasti menang,"

"Aku piker dia sudah lelah dengan latihan konyol itu dan dia memutuskan untuk memberikan sedikit rasa sakit sebagai pembelajaran untuk Hiura."

Berbagai macam komentar langsung masuk ke dalam telinganya, Iva segera menghilangkan soul weapon-nya kemudian mengepalkan tangannya dengan sisa tenanganya.

"Lebih baik kalian menutup mulutmu masing-masing, kalian bahkan tidak lebih baik dari dia, kalian hanya hebat saat mengomentari orang lain. Menyedihkan!" ucapnya penuh kekesalan.

"Kau …." Iva tidak mampu melanjutkan perkataanya saat dia kembali menatap Hiura yang masih meringis di tanah.

Setelah itu Iva berjalan mendekati kerumunan murid-murid lainnya, kerumunan tersebut secara otomatis terbagi menjadi dua sisi dan memberikan jalan untuk Iva.

Guru mereka segera meminta dua orang siswa mengambil tandu dan membawa Hiura ke ruang kesehatan.

Sesampainya mereka di ruang kesehatan, Hiura langsung dibaringkan di sebuah ranjang kosong. Hiura segera berterima kasih kepada teman-temannya yang membantu.

Setelah mendengar suara pintu yang ditutup, Hiura mengembuskan napas lega.

"Tadi sangat melelahkan, kuharap aku tidak perlu melakukannya lagi di masa depan. Aku rasa aku akan tidur sebentar selagi ada di sini."

Hiura kemudian menutup matanya, kesadarannya kemudian mulai menghilang secara perlahan.

Setelah tidur sekitar tiga puluh menit, Hiura merasakan ada sosok yang tengah memperhatikan dirinya yang sedang tertidur, hal itu jelas membuatnya sedikit terganggu dan membuatnya membuka mata untuk memastikan sesuatu.

"Apa kau sudah puas dengan tidur siangmu?"

Suara itu langsung menyabut dirinya sesaat setelah membuka mata. Pandangan Hiura sendiri yang masih sedikit kabur merasa yakin bahwa sosok tersebut adalah sosok perempuan jika diperhatikan dari suaranya. Setelah indra penglihatannya pulih, dia melihat sosok Iva yang berdiri dengan wajah kesalnya.

"Iva ya? Ada masalah apa?"

"Aku menunggu sebuah penjelasan darimu," tuntutnya sembari mendekat kea rah Hiura.

"Penjelasan? Aku rasa tida ada yang perlu dijelaskan. Hasilnya latihan sudah cukup jelas untuk membuktikan bahwa aku kalah," jawabnya sembari membuat tubuhnya duduk di atas kasur.

"Pembohong! Kau memukul perutmu sendiri dengan pegangan tanto-mu itu! Aku juga tahu bahwa kau berpura-pura lemah dan memilih menyeringai diriku sesaat sebelum kau mengalah saat latihan tersebut."

"Ya, kau benar. Asal kau tahu saja, aku melakukan ini untuk kebaikan kita berdua, murid paling cemerlang harus bisa menjatuhkan murid terendah," balasnya tak acuh.

"Terendah? Kau menyebut dirimu terendah? Bahkan kelas Bishop juga kesulitan untuk melawanku! Sedangkan dirimu mampu menahanku tanpa terlihat kesusahan."

"Kau terlalu mengagungkan diriku, aku hanya lebih baik dari orang lain dalam hal membaca gerakan," kelitnya.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Hiura, walau dia merasa sakit, tubuhnya enggan bergerak untuk menunjukan sebuah reaksi.

"Kau terlalu sombong! Kau adalah yang terburuk," caci Iva dengan air mata yang mulai menetes ke pipinya.

Iva segera berbalik dan meninggalkan ruangan tersebut, setelah sosok Iva tidak terlihat lagi oleh Hiura, dia memegang pipinya dan menatap keluar jendela.

"Terburuk, ya? Kurasa kau benar, aku adalah yang terburuk," gumamnya sembari melepaskan napas berat.