Henry sudah pulang dan sekarang ia sedang mengerjakan tugas sekolahnya. Namun pikirannya tak bisa luput dari sosok Hanna. Henry seperti pernah melihat gadis itu entah di mana. Segera ia hilangkan pikiran itu saat ponselnya berdering.
Hima menelponnya.
"Hallo?"
Tak terdengar balasan diseberang sana. Henry sudah ingin mematikan telepon itu bisa saja Hima terpencet. Tapi tak jadi begitu dia mendengar gelak tawa Hima.
"Kenapa nelpon Hima?"
"Aku tadi ngantuk tapi tugas ku belum selesai, jadiku nelpon kamu supaya gak ngantuk lagi."
"Ohhh aku juga lagi ngerjain tugas nih."
"Henry,"
"Ya?"
"Mama minta kamu main ke rumah. Katanya kamu udah jarang main ke sini."
"Oke."
Setelah itu mereka melanjutkan pembicaraannya. Tidak ada yang penting hanya pembicaraan sepasang kekasih seperti biasa. Saling flirting contohnya.
Terlintas di pikiran Henry tentang sosok Hanna. Gadis itu berhasil mengacaukan pikirannya.
"Hima, kamu kenal sama Hanna?"
"Hanna siapa??"
"Hanna Eun, dia murid baru."
Lama diam, Henry pikir Hima sudah tertidur.
"Jangan deket-deket dia Hen, dia aneh."
Aneh? Apa maksudnya.
Setelah mendengar jawaban Hima, Henry menjadi bungkam sesaat dan mematikan teleponnya sepihak. Ia tiba-tiba pusing dan ingin tidur. Semoga besok rasa sakit kepalanya akan hilang.
***
"Hanna!"
Yang dipanggil pun menghentikan langkahnya dan menoleh. Gadis itu terlihat takut-takut tapi tetap diam di tempat. Henry menyapanya, di kelas, di lapangan, di lorong, di jalan, setiap mereka paspasan selalu saja Henry menyapanya.
Hanna mengambil note kecil dari dalam saku kecilnya dan menuliskan sesuatu dengan pena pink itu. Setelah selesai menulis, ia perlihatkan pada Henry.
"Ada apa?"
dia membalik kertasnya dan menulis lagi.
"Bisa kah kau tidak mengganggu ku sehari saja?"
Hanna menghela napas berat. Lalu menulis lagi, ia merasa lelah karena Henry selalu mengikutinya kemana-mana.
"Aku tidak suka menjadi pusat perhatian, jadi jauhi aku."
Hanna membungkukkan badannya 90°pada Henry dan berbalik ingin meninggalkan Henry. Namun dengan cepat Henry menahan tangan Hanna membuat langkah gadis itu tertahan.
"Aku ingin menjadi temanmu, Hanna."
Hanna menghela napas berat dan melepas genggaman tangan Henry pada pergelangan tangannya dengan halus. Ia sudah menolak dengan sopan. Jika ia berteman dengan Henry yang notabenenya adalah pangeran sekolah, maka Henry akan dibully sama seperti dirinya.
Hanna membungkukkan badannya lagi dan pergi meninggalkan Henry. Namun pria itu tetap bersikukuh pada niatnya, menjadi teman Hanna.
"Baiklah aku akan terus berusaha sampai kau menerimaku sebagai temanmu."
Kata Henry pada dirinya sendiri.
***
Hanna sedang mengendarai sepedanya dalam perjalanan pulang. Ia segera memarkirkan sepedanya. Ia masuk lewat pintu belakang. Ia tampak ragu membuka daun pintu itu, Ia tidak mau pulang sebenarnya.
Ia buka dengan perlahan dan melihat sekitarnya. Rumah ini kosong? kemana ayah dan bundanya?
Ia segera naik ke lantai atas dan mengunci pintu kamarnya. Ia langsung mengerjakan tugas Mr. Alex begitu sampai di rumah.
"HANNA!! KENAPA MAKAN MALAMNYA BELUM SIAP?!!"
Teriaknya yang membuat Hanna terkejut. Ia baru sampai rumah 5 menit yang lalu. Segera Hanna turun ke lantai bawah dan langsung disambut dengan tamparan pada pipi kirinya.
"KENAPA MAKAN MALAMNYA BELUM KAMU BUAT?! CEPAT MASAK! SAYA LAPAR!"
Itu bunda, bukan kandung tapi bunda sambung. Hanna menunduk begitu bundanya menampar pipi kirinya. Sakit, tapi sebisa mungkin Hanna tidak menangis. Ia segera menuju dapur dan mulai memasak makan malam untuk 'keluarga'nya.
Rasanya perih, pipi kirinya memerah. Ia menahan sakit dengan terus memelototi masakannya. Air mata mulai membendung dan segera dilap dengan ujung pakaian yang ia kenakan.
Setelah selesai, ia segera kembali ke kamarnya. Ia sebenarnya sangat lapar, tapi jika ia mengambil jatahnya terlebih dahulu, ayah akan mencambuk punggungnya dengan sabuk kulit. Ia tidak mau dituduh pencuri lagi.
Jam menunjuk angka 2 pagi, perutnya meronta ingin meminta makan barang sesuap nasi. Ia buka pintu kamarnya dengan hati-hati supaya tidak terdengar dan berjalan dengan pelan.
Ia membuka kulkas dan masih ada setoples kimchi dengan nasi yang sudah dingin di atas meja. Ia mulai makan, dengan sangat hati-hati. Ia takut kena marah.
Tiba-tiba saja,
"SIAPA YANG SURUH KAMU MAKAN KIMCHI ITU ANAK BODOH! ITU BUAT BEKAL SAUDARAMU! JANGAN SERAKAH!"
Bundanya kembali memukul, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Hanna memegangi pipi kanannya yang memerah. Sakit, rintihnya dalam hati. Namun percuma jika ia berteriak sekalipun tidak akan terdengar. Ia tahan air mata yang ingin mengalir seenaknya. Ia tidak boleh lemah karena hanya terkena tamparan. Hanna tidak boleh lemah. Jika lemah, siapa yang akan merawatnya? Atau bahkan mengubur mayatnya? Ia yakin jika suatu hari saat ia meninggal, mayatnya akan dihanyutkan di sungai begitu saja.
"KELUAR SANA DASAR ANAK GATAU DIRI!"
Hanna didorong keluar rumah dengan kasar. Sebuah jambakan ia dapat, seakan kulit kepalanya ikut terlepas. Ia ingin memberontak tapi ia takut dengan bunda.
Ia dibiarkan tidur diluar ditemani tikus dan kecoa. Hanna takut dengan serangga karena kecoa sangat berbahaya. Banyak kuman. Ia tak mau jatuh sakit karena tidur bersama kecoa. Tapi tidak ada pilihan lain selain tidur di sini. Di depan pintu, berharap bunda membukanya kembali.
Ia terus berusaha untuk tidak menangis, jika menangis bundanya yang disana akan ikut menangis. Ia tidak mau melihat bundanya menangis di alam sana. Hanna takut Tuhan marah karena membuat salah satu penghuni surganya menangis. Hanna tidak mau.
***
Henry kali ini tidak bersama Hima, kata kekasihnya itu lagi mempersiapkan lomba basket. Hima itu wakil ketua jadi wajar saja ia sibuk. Sedangkan Henry adalah ketua dari klub drama.
Perhatiannya teralih saat melihat Hanna duduk bersedekap sambil mendengarkan lagu dengan earphone putih miliknya di bawah pohon besar. Henry menghampirinya dan membuat Hanna terlonjak kaget.
Henry mengatupkan kedua tangannya dan mengucap maaf.
"Maaf aku mengagetkanmu."
Hanna tersenyum lalu menggelengkan kepalanya.
"Lagu apa yang kau dengar?"
Hanna melepas earphonenya dan menunjuk mp3 playernya. Henry mengangguk semangat. Tanpa pikir panjang Hanna langsung memakaikannya pada Henry dan menyalakan lagunya.
Henry mengerutkan dahinya. Ini bukannya lagu 80 an? kenapa Hanna tahu?
When You Say Nothing At All - Ronan Keating.
Tanpa disadari Henry menyunggingkan senyuman pada Hanna dan membuat Hanna segera berdiri meninggalkan Henry.
"Hanna! mp3 player mu!"
Hanna mengibas-ngibaskan tangannya mengisyaratkan 'nanti saja'. Entahlah, tapi Henry mengerti apa maksud Hanna barusan. Ia masih mendengarkan lagu itu sampai habis dan bangkit dari duduknya. Ia mengantongi benda milik Hanna lalu berjalan kearah kelas. Ia bertemu Hima, tapi gadis itu tidak sendiri. Sedang apa Hima dengan Dino? Ah mungkin soal lomba. Henry ini manusia paling optimis dan tak mengenal pikiran negatif. Kata mama, manusia tidak boleh menerka-nerka hal yang belum tentu terjadi. Begitu sadar dengan kehadiran Henry, Hima mendekatinya dan memeluk lengan kanan Henry.
"Maaf tadi gabisa makan sama kamu,"
Henry hanya tersenyum.
"Aku sibuk ngatur lomba."
"it's okey. Semangat ya!"
Padahal Henry tidak tahu saja soal Hima yang bermain belakang dengan...