Chereads / For H to H / Chapter 5 - Jiahe

Chapter 5 - Jiahe

Henry membuka gerbang rumah rumahnya dan memasukan sepeda motornya dalam keadaan mati.

"Aku pulang.."

Mama langsung mendatangi Henry yang sudah duduk di atas sofa sambil bersandar. Sepertinya anak tunggalnya ini kelelahan.

"Henry kenapa?"

Ucap mama sambil mengelus kepala Henry. Henry pun duduk tegak sambil menatap mata mamanya.

"Maaa... Henry boleh minta sesuatu?"

"Apapun buat kamu sayang. Kamu mau apa memang?"

"Henry mau jualan bunga maa.."

Mama menatap tidak percaya ke Henry. Tumben-tumbenan Henry mau keluar selain ke sekolah dan ini jualan katanya? Kenapa anaknya ini. Padahal mereka adalah keluarga berada yang bisa memenuhi kebutuhan Henry dan menyediakan fasilitas mewah hanya untuk Henry. Lalu buat apa menjual bunga?

"Kamu perlu uang? Perlu berapa nanti mama kasih kok."

Henry menggeleng lalu membuang napas panjang.

"Henry mau bantuin temen ma, Henry kasihan ngeliatnya."

"Yaudah nanti bawa temenmu kerumah, ya? Biar kita diskusi sama-sama. Mama gak keberatan kok kalo Henry mau bantu, tapi mama harus tahu temenmu ini yang mana dulu okay?"

Henry mengangguk lesu.

"Ma.."

"Hmm?"

"Mama nanti jangan kaget ya?"

"Kaget kenapa?"

"Nanti mama tahu sendiri."

Henry mencium pipi kanan mama dan pergi ke kamarnya untuk mandi. Mama agak bingung, maksudnya kaget seperti apa?

***

Henry merenung sambil membenamkan kepalanya di balik jaket. Sudah 5 hari Hanna tidak masuk sekolah dan besok sudah masuk waktu weekend. Henry mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, rasanya ia ingin segera sampai rumah karena tidak ada mood. Saat hendak turun dari motornya dan membuka gerbang, ia bertemu dengan gadis itu. Gadis yang hilang seminggu lamanya.

Gadis itu nampak terkejut dan membeku di tempat. Ia ingin membalik arah sepeda berkeranjangnya tapi sayang Henry menahannya dengan langsung duduk di belakangnya. Henry memiringkan badannya untuk melihat wajah gadis itu. Tampak dengan jelas ia mencoba menghindari kontak mata dengan Henry. Henry yang melihat tersenyum melihat ekspresi menggemaskan Hanna.

"Hanna~~~"

Panggil Henry. ia segera memeluk pinggang Hanna layaknya boneka. Hanna memberontak merasa tidak nyaman meskipun ia menyukainya. Iya, Hanna menyukainya, tak bisa dipungkiri pipinya pun ikut bersemu merah. Hanna pun dengan berani mendorong tubuh Henry hingga terjatuh dari sepedanya. Dia malu!

"A-aduh Hanna jahat hueeeeee."

Hanna panik dan segera menyetandarkan sepedanya di tepi jalan. Ia segera mengecek keadaan Henry sambil meraba-raba tubuhnya.

"Tapi boong wle~~"

Henry menjulurkan lidahnya mengejek Hanna yang panik setengah mati. Dasar Henry, suka sekali membuat seorang Hanna terserang panik. Ia segera merogoh tasnya dan mencari note kecil yang biasa ia bawa kemana-mana untuk berkomunikasi.

Hanna panik lagi karena note kecilnya tidak ada di dalam tas, pasti tertinggal di kedai bibi! Hanna mempout bibirnya dan memainkan jarinya.

Henry yang sudah berdiri pun ikut bingung, Hanna kehilangan note kecilnya?

"Hanna, note kecil kamu hilang?"

Hanna mengangguk.

"Apa perlu ku antar?"

Hanna menggeleng. Ia membentuk pola silang lalu jempol mengacung dengan mata berbinar.

"Ohhh kamu bakal jawab iya dan tidak, gitu?"

Hanna mengangguk. Henry pun mengangguk paham.

"Oke aku bakal nanya, Kamu gak masuk sekolah karena kerja?"

Hanna mengangguk.

"Kamu tidak memboloskan?"

Hanna menggeleng.

"Tugas sekolah sudah kamu kerjakan?"

Hanna mengangguk.

"Kamu makan dengan baik?"

Hanna mengangguk.

"Kamu sehat saja kan selama bekerja?"

Hanna mengangguk.

"Hanna, apa kamu mau jadi pacarku?"

Hanna mengangguk. Dia melamun saat Henry mengatakan itu lantas langsung menggelengkan kepalanya. Hanna langsung menyilangkan tangannya, tidak boleh, Hima kekasih Henry, saudaranya sendiri...

Hanna tidak boleh menyukai Henry, nanti Hima merasakan sakit apa yang selama ini Hanna rasakan. Hanna tidak mau adiknya merasa sakit hati sama seperti dia. Hanna tidak mau.

Meskipun jauh di dalam hatinya, Hanna sangat menyukai Henry. Tapi baginya itu mustahil. Sangat mustahil. Mengingat keadaannya yang tuna wicara membuat Hanna tersenyum miris. Kenapa dia terlahir bisu? Kenapa tidak bundanya saja yang hidup dan biarkan Hanna tidak bernapas sampai detik ini? Jika ia tak lahir mungkin ayah tidak akan menyiksa Hanna karena Hanna sangat mirip dengan bundanya. Ditambah istri kedua ayahnya yang tak ada rasa kasihan sedikit pun pada Hanna. bunda sambung yang melahirkan adik tiri yang senantiasa membully Hanna saat Henry tak di sisinya. Tapi Hanna tetap menyayangi keluarganya, meskipun Hanna diperlakukan layaknya binatang.

"Haha aku lupa jika punya Hima hehee."

Henry menggaruk tengkuk kepalanya yang tak gatal dan menarik sepeda Hanna untuk masuk ke dalam gerbang. Hanna kaget, apa Henry mau menyuri sepedanya? Tapi kenapa ke halaman rumah seseorang?

"Hanna, kita masuk dulu ke dalam rumahku ya? Ku buatkan coklat panas ya? Mau ya ya ya ya??"

Hanna menghembuskan napasnya panjang lalu mengangguk mengiyakan perkataan Henry yang terbilang memaksa itu. Hanna agak merasa kurang pantas masuk ke rumah Henry yang ukurannya terbilang sangat besar. Rumah Hanna juga besar sebenarnya tapi auranya berbeda, rumah Henry terasa sangat hangat dan nyaman.

"Henry pulang~~"

Kata Henry waktu memasuki rumahnya. Mama langsung mendatangi Henry dan merasa asing dengan orang di belakang Henry.

"Henry dia siapa??"

Henry baru ingat jika ada Hanna di belakangnya. Henry langsung memegang kedua bahu Hanna dan memosisikan Hanna di depan mamanya.

"Mama, ini Hanna. Teman yang kata Henry kemarin."

Hanna tersenyum manis untuk menyapa mama Henry dan mengajak bersalaman. Mama langsung menerima tangan Hanna yang teksturnya sangat kasar. Mama mengernyit bingung tapi ia tak nyaman menanyakan hal ini pada Hanna. Mama tersenyum lembut merasa jika Hanna gadis yang sangat rapuh.

Mama langsung memeluk Hanna. Ini pertama kalinya Hanna dipeluk seseorang yang perannya adalah seorang ibu. Deru nafas yang menenangkan. Belaian tangan yang sangat lembut. Kehangatan yang Hanna inginkan selama ini sudah terkabul. Setidaknya ia merasakan bagaimana hangatnya sebuah pelukan ibu. Mama melonggarkan pelukannya dan menatap Hanna. Lalu tersenyum hangat sambil mengelus kepala Hanna.

"Ayo duduk dulu mama bikinin minuman bentar ya?"

Hanna menggeleng cepat. Dia tidak mau merepoti mama Henry, apalagi di sini ia bingung kenapa Henry mengajaknya masuk?

"Udahh gapapa, mama seneng Henry bawa temen. Biasanya Henry sendirian terus. Udah kalian duduk dulu mama bikinin coklat panas dulu."

Kenapa harus coklat panas? Karena itu minuman favorit Henry.

"Yuk Hanna."

Mau tidak mau Hanna mengangguk dan mengikuti Henry di belakang. Henry yang melihat itu merasa gemas karena setiap gerak gerik yang dilakukan Hanna sangat lucu di mata Henry. Ditambah rambut pendeknya itu. Menambah kesan imut. Hanna duduk di samping Henry sambil menatap lantai. Ia malu berada di dalam rumah Henry dan disambut hangat oleh mamanya. Apa setiap Hima kesini, Hima diperlakukan seperti itu? Mungkin saja iya.

Entah kenapa mengingat nama Hima membuat hati Hanna sakit. Tapi ia menyayangi saudara perempuannya itu. Tak peduli seberapa kejam Hima pada Hanna. Hanna tetap sayang padanya.

Mama pun membawakan 2 mug berisi coklat panas lalu mengambil duduk di seberang mereka berdua. Menatap lamat-lamat ke arah Hanna yang masih setia menundukan kepala. Apa yang sebenarnya gadis ini lakukan? Mama pun berdehem memecah hening. Henry pun juga ikut terdiam. Kenapa 2 bocah di hadapannya ini?

"Hanna, kenapa gak diminum?"

Oh iya, kalian belum tahu nama mama Henry. Nama asli mama adalah Jiahe Xu, istri dari Xu Minghao yang tak lain adalah papa Henry. Papa Henry sering keluar kota dan pulang 2 kali sebulan paling banyak, itu pun hanya 3 hari. Usaha keluarga Henry memang besar, bahkan sangat besar. Mungkin mereka bisa membeli 1 pulau, 1 pesawat jet, dan 1 kapal pesiar. Iya, sekaya itu. Berbeda dengan Hanna, bukan keluarganya tapi hanya Hanna yang anggapannya dia hidup sebatang kara. Ayah Hanna juga seorang milyarder, tapi tak sepeser uang dari warisan bundanya turun ke Hanna, melainkan Hima. Tidak adil bukan? Tapi bagaimana caranya jika Hanna saja bisu dan sulit untuk menjelaskan sesuatu tanpa note kecilnya. Ini saja dia kesusahan berinteraksi dengan keluarga Henry, bayangkan saja ia harus menuntut ketidak adilan hidupnya tanpa sebuah suara?

Bagi Hanna, suara itu sangat penting. Karena tulisan bisa dimanipulasi. Tapi suara itu tidak memihak Hanna atas perintah Tuhan. Tuhan meminta Hanna untuk menjadi seseorang yang penyabar. Tuhan pasti membalas kebaikan Hanna dan juga membalas segala keburukan yang terjadi pada Hanna. Tuhan itu adil, yang tidak adil itu pihak dalam yang memihak ayahnya. Pihak yang menyatakan bahwa warisan Belinda Eun jatuh kepada Hima. Jika kalian tanya apa marga keluarga Hanna itu adalah Walton. Salah satu keluarga terkaya di Amerika. Belinda Eun sendiri adalah blasteran Korea dengan Spanyol dan menikah dengan Edwick Walton yang tak lain adalah ayah Hanna. Hanna tidak memakai marga ayahnya karena ayahnya tidak ingin menganggap Hanna sebagai anak kandungnya. Jadi Hanna memakai marga bundanya yang keberadaannya sudah tenang di alam sana. Setidaknya ia masih diberi tempat tinggal oleh ayahnya itu meski harus menjadi pembantu di rumahnya sendiri.

"Ma, Henry mau mandi dulu ya?"

Jiahe paham, Henry ingin ia dengan Hanna berdidkusi 4 mata saja. Hanna yang terserang hawa canggung hanya bisa terdiam.

"Hanna, kata Henry kamu mau jual bunga?"

Hanna mengangguk mengiyakan perkataan Jiahe barusan.

"Mama mau bantuin kamu, tapi kamu rawat ya kebunnya?"

Hanna mengangguk.

Jiahe mulai menyadari jika Hanna dari tadi hanya mengangguk. Ia penasaran kenapa gadis ini tidak berbicara barang sepatah kata.

"Hanna?"

Hanna mendongak menatap Jiahe.

"Kamu gapapa?"

Hanna mengangguk lagi.

"Kenapa kamu cuma mengangguk?"

Hanna bingung, bagaimana caranya menjelaskan pada Jiahe. Hanna pun membuat pola

"Aku bisu."

Kira-kira seperti itu. Jiahe yang dulunya adalah guru pendamping khusus anak yang berkebutuhan pun paham apa maksud Hanna barusan. Ia belajar bahasa isyarat 1 tahun lamanya. Sekarang ia tahu kenapa Hanna hanya merespon perkataannya dengan anggukan atau gelengan.

Akhirnya Jiahe mengajak Hanna ke taman belakang. Di sana banyak terdapat kebun bunga dengan berbagai jenis. Dari mawar hingga lavender ditanam di sini. Semua dikerjakan oleh Jiahe, meskipun mereka keluarga kaya tapi bagi Jiahe ia sanggup membersihkan dan merawat rumah besarnya sendiri tanpa bantuan pembantu atau tukang kebun. Jiahe pun memperkenalkan bunganya satu persatu pada Hanna dan mengajarkan bagaimana merawatnya. Jiahe tidak perlu diskusi untuk membantu usaha Hanna ini. Ia berharap dengan menjual bunganya ini bisa membantu kekurangan Hanna. Meskipun tidak seberapa Hanna merasa senang karena Jiahe orang yang sangat ramah. Beruntunglah Henry memiliki ibu seperti Jiahe.

Hanna kembali diam dan menatap bunga aster putih di hadapannya.

"Bunganya cantik, sama seperti Hanna."

Hanna yang mendengar perkataan Jiahe barusan mengembangkan senyuman lebar hingga matanya membentuk bulan sabit. Dapat Jiahe lihat jika wajah Hanna memancarkan aura kesedihan tapi ia tutup dengan senyum cerahnya. Seakan panggilan alam, Jiahe membuka tangannya dan meminta Hanna untuk mendekat. Ia memeluk Hanna dan membelai belakang kepala gadis itu. Hanna merasakan hangat untuk kedua kalinya. Ia sangat ingin mempunyai ibu seperti Jiahe. Tapi mungkin itu mustahil.

Jihae tersenyum miris saat merasa bajunya basah, Hanna menangis di dada Jiahe. Ia membiarkan gadis itu menangis dalam dekapannya. Membuang semua penatnya. Menetralkan jiwa terpuruknya.

"Hanna, jika kamu mau, kamu bisa memanggilku mama."

Perkataan Jiahe barusan membuat Hanna terdiam. Lalu ia mengangguk dalam pelukan Jiahe. Jiahe sendiri merasa gemas sambil mengelus belalang kepala Hanna.

Semoga dengan ini bisa mengurangi rasa rindu Hanna terhadap bundanya.