Hanna terdiam menatap Henry yang juga terdiam. Kedua maniknya melebar begitu Henry melangkahkan kaki mendekatinya. Mau apa Henry? Namun pikiran negatif hilang begitu Henry menyodorkan satu es krimnya pada Hanna.
"Makan,"
Hanna terdiam tidak menerima es krim Henry. Henry yang menawarkannya pun heran. Berkostum maskot pasti panas meskipun cuaca di luar dingin. Sangat beresiko kalau Henry memakan es krim waktu malam seperti ini. Tapi begitu melihat maskot yang terus berdiri selama kurang lebih 1 jam itu membuat Henry iba dan membelikannya es krim. Awalnya Henry tak mengira jika orang di balik kostum kelinci itu adalah Hanna. Orang yang menjadi alasan ketidak moodan dirinya seharian ini. Kemana saja gadis ini? Kenapa tidak sekolah? Kenapa malah jadi maskot?
"Hanna, ku bilang makan. Jadi harus kamu makan, okay?"
Hanna hanya mengangguk dan menerima es krim dari Henry. Ia mengajak Henry duduk di kursi panjang depan tempat les itu. Ia masih mengenakan kostumnya hanya saja tanpa topeng. Bisa terbayang bagaimana penampilan gadis kecil berambut pendek, memiliki gingsul, dan tingginya sepundak Henry itu tampak lucu dengan kostum kelincinya. Tunggu, gingsul?
Henry merasa dejavu, tapi apa? kapan? dan di mana?
Hanna menatap langit malam sesekali, pemandangannya sangat indah. Hanya hidupnya saja yang jauh dari kata indah. Ia tidak menyesali hidupnya, tapi hanya merasa tidak adil. Kenapa bunda harus pergi lebih cepat? Apa bunda tidak sayang Hanna? Hanna terus berpikir seperti itu dan memohon reinkarnasi bunda cepat lahir. Ia sangat ingin bertemu bunda, barang reinkarnasinya. Hanna tersenyum miris saat memikirkan semua itu. Kapan ia akan merasakan hangatnya keluarga? Kapan kehadirannya dibutuhkan? Kapan ia akan disayangi layaknya seorang anak? Ntah lah biarkan alam semesta menyimpan keluh kesahnya dan menurukannya dalam bentuk hujan.
Henry sedari tadi fokus melihat Hanna di sampingnya sambil memakan es krimnya. Setelah melihat Hanna, hatinya menjadi lega. Ia merasa tenang begitu bertemu dengan Hanna.
"Hanna,"
Hanna menoleh pada Henry. Ia baru sadar jika jarak mereka sangat lah dekat. Ternyata dari tadi Henry menggeser duduknya secara diam-diam.
"Kenapa gak masuk sekolah?"
Hanna menunjuk dagunya dan berpikir. Bagaimana caranya ia menjelaskan ke Henry. Jika saja Hanna tidak bisu, akan lebih mudah untuknya menjelaskan sesuatu pada Henry. Untungnya ia selalu mengantongi note kecilnya dan tak lupa pena pinknya. Ia mulai menuliskan sesuatu pada notenya dengan senyuman kecil.
"Aku cari uang buat beli buku sekolah,"
Henry mengangguk dan Hanna menulis lagi. Henry tidak ingin bertanya lebih, dia tidak mau mengganggu privasi Hanna. Henry akan menunggu Hanna menjelaskannya sendiri nanti. Ia menyunggingkan senyuman begitu melihat tulisan Hanna. Tulisan yang mampu membuat kupu-kupu terbang di dalam perutnya.
"Bagaimana hari Henry tadi? Baik-baik saja kan?"
Henry terkekeh. Bisa-bisanya ia mencemaskan dirinya disaat dirinya sendiri mengkhawatirkan Hanna. Iya, ia mengkhawatirkan Hanna.
"Hariku terasa hampa kalau Hanna tidak ada. Jadi besok Hanna harus sekolah ya?"
Hanna menyilangkan tangan di depan dadanya bentuk penolakan. Ia mempoutkan bibirnya dan mulai menulis lagi.
"Aku harus cari uang buat beli buku."
Ia menundukkan kepalanya. Hanna sedih karena ia tidak menerima sepeser pun uang dari ayahnya. Padahal uang saku saudaranya banyak, kenapa ia tidak dikasih? Oh iya, kan di keluarganya tidak ada yang ingin Hanna lahir. Lahir sebagai anak haram. Jika mengingat semua itu, Hanna tidak bisa menyalahkan Tuhan yang menyuruhnya tetap hidup meskipun terlahir tak sempurna. Setidaknya ia sudah bersyukur masih bisa bernapas sampai detik ini.
Henry mengusak kepala Hanna gemas hingga rambut Hanna berantakan. Henry tersenyum sambil memamerkan titik cacat di pipi kanannya.
"Oke aku bakal bantuin."
Hanna menatap Henry tak percaya. Ia mengangkat kedua bahu dan juga bahu. Henry sempat tak mengerti tapi dari raut wajahnya Henry bisa menerka apa yang Hanna bilang.
"Gimana caranya?"
Hanna mengangguk dan melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap Henry dari atas sampai bawah. Henry pun merasa salting ditatap Hanna seperti itu. Henry pun tampak berpikir pekerjaan apa yang tidak terlalu membuang tenaga. Ah dia teringat kalau mama punya kebun bunga mawar dan lily di belakang rumah. Mungkin sesampainya di rumah nanti Henry akan berdiskusi dengan mamanya.
"Gimana kalau jual bunga? Mama punya kebun bunga di rumah."
Hanna cepat-cepat menulis di atas notenya dan memperlihatkan pada Henry. Matanya berbinar begitu mendengar Henry ingin membantunya.
"Apa kamu serius?! Apa mamamu tidak marah?"
Bahasa yang digunakan Hanna sangat lah baku. Tapi tak apa, toh Henry ngerti-ngerti saja. Henry mengambil tangan kanan Hanna dan menggenggamnya. Tampaknya Henry betul-betul ingin membuat seorang Hanna jatuh cinta. Lihat lah perlakuannya yang membuat laju detak jantung gadis itu tidak normal. Bahkan pipi Hanna bersemu merah saat Henry menggenggan tangannya. Henry tersenyum geli melihat ekspresi Hanna. Gadis ini sangat lugu, pikirnya.
Hanna pun tersadar jika ia sudah lebih dari 15 menit istirahat dan menggunakan kembali topeng maskotnya. Ia kembali membagikan brosur les pada pejalan kaki yang lalu lalang. Sebelumnya ia sudah menuliskan sesuatu pada notenya dan memberikan sesuatu pada Henry.
"Henry, aku harus kembali bekerja. Kamu pulang saja nanti dimarahin mama kan? Jangan terlalu malam dan lewat jalan yang terang supaya kamu aman."
Henry tersenyum membaca tulisan Hanna barusan dan menyimpan gantungan kunci yang Hanna beri. Ia lipat sobekan kertas itu dan menyimpannya di dalam tas. Ia pun bangkit lalu berteriak,
"Hanna! Semangat kerjanya!"
Hanna yang merasa terpanggil langsung menoleh kearah Henry yang melambaikan tangannya padanya. Senyuman Hanna terukir namun tertutup topeng yang ia kenakan. Andaikan Henry lihat, mungkin anak itu akan kejang-kejang di tempat.
***
Besoknya Hanna masih belum masuk sekolah, bukannya semalam sudah diperingatkan Henry? Kenapa gadis itu sangat keras kepala? Henry tak habis pikir kenapa ia sangat tergila-gila dengan sosok Hanna. Sampai-sampai Henry tak menghiraukan kehadiran Hima di hadapannya yang sudah duduk menopang dagu dengan ekspresi kesal. Sudah setengah jam Henry melamun mengabaikannya, Hima mendecih pelan dan bangkit dari duduknya.
"Kenapa sih?! Gara-gara cewek bisu itu kamu jadi gini! Dia siapa kamu?! Pacarmu di sini itu aku! Bukan si bisu!"
Kata Hima penuh penekanan. Ia sangat kesal sampai urat di pelipisnya muncul. Ia sangat marah kenapa Henry sangat mempedulikan Hanna si bisu itu dari pada dia? Henry yang awalnya melamun langsung memandang heran.
"Hima, dia punya nama. Namanya bukan bisu, tapi Hanna."
Kata Henry lembut, dia tidak mungkin balik membentak Hima.
"Sekalipun bisu ya tetap bisu!"
"Tapi namanya Hanna, bukan si bisu Himaaaa..."
"Terserah! Lebih baik kita putus kalo kamu masih peduli sama si bisu itu!"
"Loh kok gitu? Emang salah jadi teman Hanna? Aku bahkan cuma punya kamu, Dino, sama Hanna. Lah kamu? Seantero sekolah kan teman mu, kenapa aku ga boleh temenan sama Hanna? Aku bahkan gak ada ngelarang kamu kayak yang lain."
"Aku cuma mau kamu jangan peduli lagi sama si bisu! Emang susah ya?! Kamu bisa temenan sama siapa aja!"
"Tapi kemarin kamu nglarang aku temenan sama Yuna, padahal aku sama Yuna satu kelompok. Kemarin juga si Sera kamu jambak karena Sera jadi pendamping peran utama di drama ku. Apa itu yang kamu bilang bisa temenan sama siapa aja? Kamu bahkan sering nongkrong sama temen cowok kamu kan? Sedangkan Aku? Gak kamu bolehin kemana-mana. Apa itu masih kurang adil di pikiran kamu?
"Apa salahnya berteman dengan Hanna? Dia juga manusia kan? Kalo kodok ya gabakal aku jadiin temen."
Final Henry yang membuat Hima terdiam.
"Ya! Terserah!"
Hima membalikkan badannya memunggungi Henry.
"Yaudah aku minta maaf, oke?" kata Henry mengalah.
"..."
Henry membalikkan badan Hima sehingga posisi mereka berhadapan. Henry tangkup kedua pipi Hima dan menatap lurus ke matanya.
"Udah jangan marah lagi, nanti cantiknya hilang."
Ucap Henry sambil mengelus pipi Hima.
*krinnggg krinnggg
Bel pun berbunyi menandakan kelas akan dimulai.
"Nah udah bel, kamu balik ke kelas sana."
Hima cuma mengangguk lalu bangkit dari duduknya. Ia merasa kesal kenapa kekasihnya sangat mengutamakan Hanna dari pada dia. Biasanya Henry akan patuh saja dengan semua perkataan Hima. Hima tidak bisa tinggal diam, dia akan memberi Hanna pelajaran.
Rencana kotor tersusun dalam pikiran Hima, ia tersenyum miring.
"Liat aja nanti lo bisu!" batin Hima sambil berjalan menuju kelasnya.
***
Hanna hari ini tidak bekerja dan diam di rumah. Dia seharian mengerjakan tugas sekolahnya yang belum sempat ia kerjakan semalam.
*brak!
Tiba-tiba ada yang membuka pintu kamarnya tanpa permisi. Hanna yang awalnya tenang langsung terlonjak kaget dengan tangan gemetar.
"SINI LO BISU!"
Rambut Hanna ditarik tiba-tiba. Ia meringis sakit karena jambakan Hima tidak main-main. Ia diseret keluar kamar dengan kasarnya dan membuka pintu kamar mandi. Hima langsung menyelupkan kepala Hanna ke dalam bathtub yang berisi air dingin.
"hmm!! mmhh hmmm!! hm!"
Hanna memberontak karena Hima tetap menekan kepalanya ke dalam air tanpa memberi celah untuk Hanna bernapas barang sedetik. Hanna merasa pusing dan rasanya sakit sekali waktu air masuk ke dalam telinganya. Telinganya berdengung. Hanna memberontak tapi Hima tiada ampun mencelup dan menarik kepala Hanna.
"Denger ya bisu, lo jangan bikin hidup gue tambah runyam gegara adanya lo! Lo hidup aja udah bikin gue enek! Lebih baik lo mati!"
Hima kembali mencelupkan kepala Hanna ke dalam bathtub sambil tersenyum puas dan meninggalkannya begitu saja.
Merasa penderitaannya sudah selesai, Hana mengangkat kepalanya dan meraup oksigen dengan rakus. Kulitnya keriput dan tubuhnya menggigil karena dingin. Ia mencoba membuka pintu, namun ternyata pintu itu terkunci dari luar.
Hanna duduk membelakangi pintu sambil memeluk lututnya. Ia kedinginan. Bajunya basah. Handuknya ada di kamar. Napasnya memburu begitu dingin kembali datang seperti menusuk seluruh kulit tubuhnya. Terpaksa malam ini Hanna harus tidur di kamar mandi sebelum ia memakan makan malam. Hanna lapar, tapi harus ia tahan hingga esok pagi.
Semoga saja besok pintunya terbuka.