Tidak lama setelahnya terdengar suara deruan motor dari luar Rumah yang membuat laki-laki itu dengan sangat terpaksa melepaskan pelukannya. Mau tak mau Rai pun langsung berjalan mendekati jendela untuk memastikan siapa yang baru saja memasuki pekarangan Rumah Rain.
Dari balik jendela, ia melihat seorang laki-laki dengan motor besarnya itu baru saja parkir didepan sana. Melihat hal tersebut, Rai menghela nafasnya lalu menoleh ke belakang dimana Rain sedang menatapnya seolah berkata 'siapa' kepadanya.
"Vano," jawab Rai sembari berjalan menghampiri gadis itu dan kembali berkata, "Kalau gitu aku pulang ya."
Mendengar bahwa kekasihnya baru saja datang membuat Rain merasa tidak nyaman karena Vano yang tidak pernah suka dengan kehadiran sahabatnya di sini sehingga membuat Rain tak mampu untuk melihat wajah dari laki-laki itu.
Rai yang melihatnya tersenyum, kemudian mencium puncak kepala dari sahabatnya tersebut dan berkata, "Aku pulang ya, Rain. Kalau butuh apa-apa, kamu bisa minta tolong sama Vano ya."
Suara seseorang tiba-tiba membuat kedua orang berlawanan jenis itu spontan menoleh. Disana mereka melihat Vano yang merupakan kekasih dari Rain sedang berdiam diri di ambang pint kamar sedang memperhatikannya dengan kedua mata yang memincing.
Sebenarnya gadis itu tahu bahwa saat ini Vano sedang memandang sahabatnya dengan memberikan tatapan ketidaksukaannya sehingga membuat Rain menundukkan kepalanya seketika.
"Rain, kok kamu gak ada kabarin aku?" tanya Vano yang kini mulai berjalan menghampiri Rain yang kini sedang menundukkan kepalanya itu. Rain bingung harus menjawab apa karena ia benar-benar lupa, jika dirinya mengatakan yang sebenarnya maka laki-laki itu pasti akan marah padanya.
Bahkan Rai saja sudah tidak pernah ingin berlama-lama bersitatap dengan kekasih dari sahabatnya. Entahlah, hanya saja ia merasa bahwa ini adalah untuk kebaika dari gadis itu menurut dirinya.
Rai yang sedari tadi diam menatap pintu kamar pun berkata, "Dia lagi sakit, makanya gak ngabarin lo," ujarnya.
Laki-laki itu mengerti akan kebingungan dari sahabatnya tersebut, sedangkan Vano yang mendengarnya langsung menoleh dengan tatapan sinisnya.
"Gue gak nanya ke lo," ketus Vano, sedangkan Rai yang mendengarnya hanya tersenyum sinis. Ia begitu enggan menoleh kearah laki-laki itu sesaat pun, bahkan jika dirinya harus berhadapan langsung dengannya rasanya begitu malas.
Tetapi, ini semua ia lakukan hanya demi memastikan bahwa sahabatnya itu memang benar-benar berada pada laki-laki yang tepat. Meskipun pada kenyatannya, dirinya selalu mendapati Rain yang selalu menangis.
"Terserah," ujar Rai.
Setelah itu pergi meninggalkan pasangan tersebut dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Rain yang sedari tadi melihat kepergiannya pun langsung merasa bersalah, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena jika dirinya berbicara sedikit saja, maka Vano kekasihnya ini akan langsung memarahinya.
Maka dari itu yang bisa Rain lakukan sekarang adalah diam membisu menyaksikan perang dingin diantara kedua laki-laki itu.
Vano bisa melihat itu, bagaimana kekasihnya yang berubah menjadi murung setelah melihat laki-laki itu pergi. Membuat ketidaksukannya kepada Rai semakin meningkat, hatinya benar-benar panas saat ini. Ia tidak suka laki-laki itu, meskipun dirinya tahu itu adalah sahabat kecil dari kekasihnya sendiri.
Seseorang yang berstatus sebagai kekasihnya itu pun langsung berdecih ketika melihatnya membuat gadis tersebut kini menatapnya dengan sendu.
"Kenapa?" tanya Vano dengan satu alis yang terangkat. "Kamu sedih lihat dia pergi, hah?! JAWAB!"
Rain yang mendengarnya hanya diam menunduk, ia sudah tahu kejadian seperti ini pasti akan terjadi, selalu seperti ini. Sebenarnya Rain sudah sangat lelah menghadapi sikap Vano kepadanya, begitu mengekang, bahkan apa yang dirinya suka jika kekasihnya tidak suka, maka pilihan terbaiknya adalah ia yang harus mengikuti larangannya.
Vano saat ini benar-benar sangat kesal, ia langsung memukul dinding kamar kekasihnya itu dengan keras membuat Rain terkejut dan langsung turun dari tempat tidur untuk menghentikannya. Sesungguhnya gadis itu sangat tidak ingin melihat aki-laki itu yang selalu menyakiti dirinya sendiri.
"BERHENTI NO, CUKUP!" bentaknya yang kini memeluk kekasihnya itu dengan kedua air mata yang terus mengalir. "Aku mohon berhenti, jangan lakuin itu lagi."
Merasakan sebuah pelukan dari kekasihnya membuat Vano seketika langsung tersenyum senang, kemudian laki-laki itu memutar tubuhnya sehingga kini ia bisa melihat dengan jelas bagaimana dirinya mengetahui bahwa Rain sedang menangis untuknya.
"K-kamu nangis, Sayang?" tanya Vano seakan tidak percaya melihat gadisnya menangis untuknya. "Itu berarti kamu cinta aku, 'kan?"
Gadis itu yang mendengarnya pun langsung menggelengkan kepalanya membuat Vano memejamkan kedua matanya sesaat untuk meredakan emosinya dikarenakan rasa cemburu yang begitu besar terhadap laki-laki yang bernama Rai itu.
"Enggak mungkin, kamu pasti bohong. Kita udah lama pacaran, kamu masih gak cinta sama aku itu mustahil."
"Vano," panggil Rain dengan suara seraknya itu.
Tetapi laki-laki itu malah sibuk dengan rasa khawatirnya dikarenakan Rain yang juga belum bisa mencintainya membuat kekasihnya tersebut kewalahan.
"Enggak, jawab pertanyaan aku dulu, iya atau enggak?"
Kedua manik mata dari laki-laki itu menyorotnya begitu lembut akan tetapi itu tidak mampu membuat hatinya berdebar-debar.
"Vano," panggilnya lagi.
"Rain, stop. Jawab pertanyaan aku dulu, oke?"
"VANO, TANGAN KAMU BERDARAH!"
Seketika itu suasananya pun mendadak menjadi hening. Rain langsung menghela nafas karena mengatur emosinya yang hendak lepas kendali itu, kemudian menuntun Vano menuju tepi ranjang untuk segera diobati.
Vano yang sedari tadi diam memperhatika kekasihnya yang seperti itu pun langsung memeluknya begitu erat, mengecup kening Rain berkali-kali tanpa henti, lalu bibirnya membisikkan kata maaf berulang kali.
"Maaf Rain," bisiknya. "Maafin aku, maaf."
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh gadis itu saat mengetahuinya, ia hanya kembali menitikkan air matanya dan bertanya-tanya tentang perasaan yang dimiliki dirinya terhadap Vano.
"Van lepasin dulu, kamu harus diobatin itu tangannya berdarah."
Tersadar akan sesuatu membuar Rain langsung melepaskan pelukan Vano dari belakang. Laki-laki itu awalnya sempat menolak, tetapi karena gadis itu yang mengancamnya dengan sesuatu membuat Vano spontan melepaskannya.
Rain menunduk menatap kakinya lalu menggerak-gerakannya sedikit. Ia langsung menutup bibirnya dengan kedua tangan, pijatan laki-laki itu benar-benar membuat dirinya sembuh. Dalam diamnya, gadis itu kembali menitikkan air mata, sedangkan Vano yang menyadari bahwa punggung dari kekasihnya bergetar itu pun merasa khawatir.
Laki-laki itu berjalan menuju ke hadapan Rain yang kini menundukkan kepalanya, kemudian sedikit membungkuk untuk melihat kekasinya itu yang ternyata sedang menangis membuatnya langsung menghela nafasnya seketika.
"Maafin aku ya, Rain. Aku bener-bener jahat sama kamu."
Ia benar-benar mengira bahwa tangisan dari Rain penyebabnya adalah dirinya sehingga kini yang dilakukan Vano menenangkan kekasihnya itu. Berbeda dengan gadis tersebut yang saat ini sedang memikirkan seseorang.
Raganya saja yang bersama Vano, tetapi hatinya tidak berada di sini.