Mengetahui hal itu membuat Vano spontan menghela nafas kasar karena ia merasa dimanapun dirinya sedang bersama kekasihnya, sudah pasti ada seseorang yang selalu mengamatinya sehingga membuat laki-laki itu merasa kesal sendiri.
Suara dentingan sendok membuat laki-laki langsung mengalihkan pandangannya kearah depan di mana kekasihnya itu berada.
"Sini, aku suapin aja ya?" tawar Vano dengan senyum tipisnya itu. Kemudian laki-laki itu mengambil alih sendoknya dari tangan seseorang yang berada di hadapannya saat ini, "Coba buka mulutnya."
Rain yang sedari tadi diam memperhatikan seseorang yang berada di hadapannya dengan kebingungannya saat ini. Laki-laki tersebut sangat berbeda dari biasanya, begitu manis dan perhatian.
"Rain, kenapa ngelamun?" tanya Vano yang kini memperhatikannya dengan kening yang berkerut. Salah satu tangannya mengambang karena hendak menyuapkan nasi goreng kesukaan gadis itu ke dalam mulutnya, akan tetapi kekasihnya itu malah terdiam menatapnya.
Vano yang melihat gadisnya seperti ini pun langsung menyimpan kembali sendoknya ke atas piring, kemudian menyentuh kening dari Rain untuk memastikan bahwa kekasihnya itu baik-baik saja saat ini.
"Tapi kamu enggak sakit," lanjutnya lagi. "Hm ... kepala kamu pusing?"
"Vano," panggil gadis itu dengan intens. "Harusnya aku yang nanya kaya gitu sama kamu."
Kedua alis dari laki-laki itu pun terangkat dengan Vano yang menatap kekasihnya itu dengan pandangan bertanya.
"Maksud kamu?" tanyanya yang tidak mengerti ke mana arah pembicaraan dari gadisnya itu. "Aku enggak ngerti."
"Kamu kok aneh banget sekarang," ujar Rain tiba-tiba. "I-ini ... bukan kamu banget Vano."
Pernyataan tersebut membuat laki-laki itu langsung terdiam dengan bibir yang terkatup rapat. Vano sebenarnya juga tidak tahu dengan yang terjadi kepadanya saat ini membuat gadisnya itu merasa curiga.
Vano berdeham sebelum akhirnya menatap dalam gadisnya itu yang saat ini berada di hadapannya.
"Emangnya aku kenapa?" tanyanya dengan satu alis yang terangkat. "Kamu enggak percaya sama aku, hah?! Apa kamu pikir cuma sahabat kamu aja yang bisa memperlakukan kamu dengan baik?!"
Gadis itu langsung menatap kekasihnya dengan tidak percayanya itu, ia terperangah dengan pandangan protesnya kepada Vano yang telah membuat dirinya kesal.
"Van," jeda Rain dengan kedua mata yang terpejam sesaat lalu kembali memandang laki-laki itu dengan tajam. "Ini enggak ada hubungannya sama sekali sama dia, ya. Aku cuma ngerasa aneh aja sama sikap kamu yang gak biasanya kaya gini, maksudnya tuh, ini bukan kamu."
"Terus kenapa kalau emang aku kaya gini?!" tanya Vano yang kini menatapnya tidak kalan tajam. "Bukan cuma sahabat kamu aja yang bisa, aku juga bisa!"
"Kenapa sih kamu selalu bawa-bawa Rai kalau kita lagi berantem kaya gini?! Kamu enggak bosen apa? Dia enggak tahu apa-apa tapi selalu kamu bawa-bawa ke masalah kita!"
Vano berdecih, "Kata siapa dia enggak tahu apa-apa? Apa kamu pikir aku selama ini gak tahu kalau kamu suka nangis sambil peluk dia?"
Deg.
Mendengarnya saja sudah membuat Rain langsung terdiam mematung di depannya membuat Vano yang megetahui itu pun tersenyum smirk.
"Kenapa diem?" tanyanya dengan satu alis yang terangkat. "Kamu kaget kalau aku tahu?"
Kemudian laki-laki itu pun berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Rain yang kini masih terdiam membisu. "Ikut aku," ujarnya tanpa penolakan.
"K-kamu mau bawa aku ke mana?" tanya Rain dengan rasa takutnya yang kembali mendera. "Aku gak mau."
"Ikut aja dulu, nanti juga kamu tahu. Ayo cepetan, ikut sama aku."
"T-tapi Van," jedanya karena melihat tatapan tajam dari kekasihnya itu. "Ya udah, aku ikut. Tapi lepasin dong, sakit tahu!"
Vano yang mendengarnya pun langsung menghela nafas, kemudian melepaskan genggaman tangannya yang begitu erat terhadap kekasihnya itu dan berganti dengan merangkulnya dengan begitu lembut.
"Maaf, aku kelepasan lagi." Laki-laki itu menatap sendu ketika melihat Rain yang saat ini sedang memandang pergelangan tangannya yang sedikit memar karena cekalan tangannya yang begitu kencang membuatnya menjadi merasa bersalah kepada gadisnya. "Kamu mau 'kan maafin aku?"
Rain yang saat ini diam sembari meringis menahan sakit di pergelangan tangannya itu pun langsung menghela nafas. Kemudian gadis itu mendongak dan menatap kekasihnya dengan senyum tipisnya tersebut.
"Iya, aku maafin kamu kok," ujarnya dengan tulus. "Jangan kaya gitu lagi."
"Janji, aku enggak bakal kaya gitu lagi."
"Janji ya?"
"Iya, janji Rain."
Akhirnya gadis itu pun memeluk Vano yang kini berada di sampingnya, kemudian berjalan melangkahkan kakinya pergi menjauhi Kantin dengan seseorang yang sedari tadi memperhatikannya dengan rasa khawatir yang luar biasa.
"Sialan, Vano nyari gara-gara lagi dia."
Salah satu temannya yang sedari tadi melihat Rai yang selalu memperhatikan sepasang kekasih itu pun langsung menggelengkan kepala.
"Lo kalau cinta kenapa enggak pernah jujur sih?" celetuk Denis secara tiba-tiba yang berhasil membuat Samuel yang sedang menyantap makanannya itu pun tersedak karena ulahnya. "Lha, El, lo kenapa?!"
"Minum!" ujar Samuel yang langsung diberikan oleh Rai kepada sahabatnya itu. "Sialan, lo kalau ngomong filter dikit kek, dasar enggak bisa baca suasana banget, ya, lo!"
Denis yang mendengarnya pun langsung mendengus, kemudian menatap Rai yang sedari tadi diam memperhatikan kedua sahabatnya itu dengan gelengan kepala.
"Gue udah pernah bilang 'kan kalau gue itu cuma khawatir, bukan berarti suka apalagi cinta sama dia."
"Tapi gue sih enggak percaya," sahut Denis yang kini mengulum bibirnya. "Menurut lo gimana, El?"
"Kok ke gue?!" ketus Samuel yang baru sala selesai minum. "Gue mah percaya-percaya aja sama dia. Enggak kaya lo, katanya sahabatan tapi gak lama kemudian dipacarin!"
Perkataan Samuel berhasil mengundang tawa dari Rai dan teman-temannya yang lain, berbeda dengan Denis yang kini sedang menatap kesal ke arahnya.
"Nis, menurut gue, sahabat itu gimana kita yang jalanin. Kalau kitanya ngerasa nyaman, ya, terusin, tapi kalau kenyamanan itu ngerasa udah beda, ya, itu juga bukan salah lo."
Rai mulai menjelaskan bagaimana perasaannya terhadap para sahabatnya itu, termasuk Denis yang selalu saja curiga terhadapnya.
"Gue sama Rain, lo semua juga pada tahu 'kan kalau gue sama dia itu udah sahabatan dari kecil. Jadi udah kenal luar dalamnya gimana, dan buat perasaan juga enggak ada yang pernah berubah sampai sejauh ini."
Dipertengahan Rai yang sedang berbicara, laki-laki itu, Denis menyela perkataannya sehingga membuat semua orang, termasuk Samuel merasa kesal.
"Tunggu," ujar Denis.
"Lo apa-apaan sih, Nis?! Main potong aja!"
"Eh, dengerin dulu. Tadi 'kan dia bilang udah kenal luar dalam, nih, berarti ..."
Samuel, Rai dan semua orang langsung menatapnya dengan kening yang berkerut.
"Berarti apa, sih?! Yang jelas kalau ngomong!" ujar Samuel dengan kesalnya.
"Rai," panggil Denis yang kini menatap laki-laki itu intens. "Lo udah lihat dalemannya si Rain?!"
Kedua mata Rai langsung melotot dengan satu tangan yang mendarat mulus di pipi laki-laki itu yang membuat semua orang, termasuk Samuel sekalipun tertawa dengan begitu puas.
"Jaga mulut lo, ya. Gue enggak suka ada yang bercanda bawa-bawa Rain!"
Samuel melihat Denis yang baru saja terkena tamparan pun menggelengkan kepala, kemudian berkata, "Lo, sih, udah tahu kalau dia paling sensitif kalau soal si Rain, malah bercanda kaya gitu segala."
"Ya maaf, sih, gue enggak tahu kalau Rai lagi gak bisa diajak bercanda." Denis mengusap pipinya yang saat ini sudah pasti memerah. Semua orang, termasuk Samuel pun meringis melihatnya.