Chereads / BOUND BY PROMISE / Chapter 38 - KEPEDULIAN SAMUEL DAN DENIS

Chapter 38 - KEPEDULIAN SAMUEL DAN DENIS

"Terikat?" gumamnya dengan pandangan kosong.

Sebuah tepukan pada pundaknya secara tiba-tiba membuat seseorang tersadar dari lamunannya, yang tidak lain dan bukan adalah Rai. Laki-laki itu baru saja selesai berbincang dengan seseorang yang di telepon, dan kini ia sedang melamunkan setiap perkataan yang dilontarkan oleh Ayahnya sendiri kepada dirinya.

"Duarrr!" Samuel terkekeh ketika melihat sahabatnya yang terkejut, tetapi itu tidak berangsur lama setelah mengetahui bahwa sepertinya laki-laki itu sedang tak baik-baik saja. "Rai, lo kenapa?"

Dilihatnya saat ini Rai yang baru saja melamun memikirkan sesuatu sehingga membuat Samuel menjadi merasa bersalah kepadanya.

"Sorry, gue ... nggak bermaksud buat lo kayak gini," ungkapnya yang seketika langsung menundukkan kepala. "Nggak apa-apa, kok, kalau lo marah sama gue, seriusan nggak apa-apa."

Rai yang melihatnya langsung menaikkan satu alisnya sebelum akhirnya satu tangan dari laki-laki tersebut mulai merangkul seseorang yang berada di hadapannya saat ini. Sedangkan Samuel yang semula menundukkan kepala, kini ia kembali mendongakkan kepala memandang sahabatnya yang sedang tersenyum ke depan.

"Lo ... nggak marah sama gue?" tanya Samuel dengan kedua alis yang terangkat.

"Enggak, ngapain gue marah sama lo, gue nggak apa-apa, kok."

Mendengar itu membuat Samuel langsung menurunkan lengan sahabatnya yang semula merangkul sehingga kini Rai melihat sendiri bagaimana seseorang yang berada di hadapannya tersebut.

"Seharusnya lo nggak kaya gini, Rai." Ia menatap seseorang yang berada di hadapannya saat ini dengan tatapan kesalnya itu, "Kenapa disaat lo lagi nggak baik-baik aja, tapi lo selalu nunjukkin kalau lo itu sebaliknya, kenapa sih, Rai?"

Kedua alis Rai terangkat melihat tingkah sahabatnya yang begitu berbeda dari biasanya sehingga membuat laki-laki tersebut menggaruk pelipisnya. Sedangkan Samuel yang melihatnya pun langsung memalingkan wajahnya ke arah lain sembari berdecak sebelum akhirnya memandang seseorang yang berada di hadapannya saat ini.

"Gue itu peduli sama lo, Rai. Setiap kali gue merhatiin lo kaya lagi banyak masalah, tapi gue nggak bisa ngelakuin apa-apa selain diam," ungkapnya yang kini tersenyum kecut. "Karena apa? Itu karena gue takut kalau lo nggak suka sama apa yang gue lakuin, sama hal nya kaya sekarang ini."

Mendengar itu membuat Rai langsung menghela nafas sebelum akhirnya melipat kedua tangannya di dada. "Intinya lo pengen gue terbuka 'kan sama lo?"

"Nah, bener Rai, dia pengen lo kaya gitu," sahut seseorang yang baru saja datang berjalan dengan kekehannya yang khas. "Gitu 'kan, El?"

Samuel yang melihatnya pun langsung memutar kedua bola matanya malas ketika mengetahui kedatangan Denis yang seperti sedang mengejek kepadanya.

"Gue nggak tau sama sekali, sebenarnya lo berdua itu kenapa, tapi apa yang Samuel omongin barusan itu bener, Rai. Lo nggak seharusnya menutupi beban lo semua sendirian, adanya kita untuk apa, sih? Seberapa pentingnya gue sama Samuel di hidup lo, kalau lo aja masih nggak terbuka sama kita berdua."

"Ya ... sorry, gue cuma nggak mau terlalu ngebebani kalian berdua. Gue ---" Belum sempat Rai melanjutkan perkataannya, Samuel berkata, "Halah, udah, deh, Rai. Gue nggak suka lo yang kaya gini, tertutup banget tau nggak?"

Rai menganggukkan kepala. "Iya, lo bener, El. Gue akuin itu," ujarnya menyetujui ucapan yang baru saja dilontarkan oleh sahabatnya tersebut.

Denis yang melihatnya pun menghela nafas sebelum akhirnya menepuk pundak dari seseorang yang berada di sampingnya saat ini. "Emangnya apa, sih, yang lagi lo pikirin, Rai?"

Seketika suasana pun menjadi hening di antara mereka bertiga, karena Rai yang langsung kembali memandang kosong lurus ke depan dengan sesekali raut wajahnya yang terlihat kebingungan dan frustasi.

Mengetahui hal tersebut membuat Samuel dan Denis saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya kedua laki-laki itu pun mengangguk lalu menghela nafas kembali memandang sahabatnya yang berada di hadapannya saat ini.

"Rai, coba jujur aja sama kita, siapa tau kita bisa bantu meringankan beban lo, ya nggak, El?"

Samuel mengangguk setuju, "Betul, kita bakal bantu lo, Rai. Jadi lo nggak usah khawatir, kita pasti akan selalu ada untuk lo."

"Ini yang paling gue takutin," ungkap Rai yang kini memandang kedua sahabatnya secara bergantian. "Karena gue nggak mau kalian berdua terlalu jauh terlibat sama masalah yang gue hadapi. Kalian ... bener-bener seseorang yang selalu ada di saat gue suka dan duka."

"Dari situ aja harusnya lo tau, Rai. Gimana berartinya lo buat kita berdua, lo itu udah bukan sebatas teman atau pun sahabat sekolah lagi, tapi kita itu udah kaya keluarga." Samuel memandang sahabatnya dengan penuh arti.

"Bener, Rai. El bener, tapi yang nggak gue ngerti adalah, ketika lo selalu pura-pura kuat padahal lo sendiri sebenernya rapuh dan butuh kita berdua, kenapa Rai?"

Kedua mata Rai terpejam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Tadi bokap gue telepon, dia mau datang ke sini, dia pengen lihat kondisi Rain katanya."

Mendengar itu membuat Samuel dan Denis kembali saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya memandang seseorang di hadapannya tersebut.

"Terus, lo izinin bokap lo datang ke sini?" tanya Denis. "Rai, memangnya lo udah siap kalau misalkan nanti lo dicerca banyak pertanyaan dari orang tua Rain, itu pun kalau datang, sih."

"Mereka juga datang, kok," ujar Rai dengan senyum tipisnya.

Tentu saja, apa yang baru saja dikatakan oleh Rai membuat kedua laki-laki itu membelalakan kedua matanya secara bersamaan.

"Lo ... serius, Rai?!" ujar Samuel. "Ya Tuhan, terus kita harus jawab apa kalau nanti misalnya Om Amar sama Tante Mitha nanyain?!"

Rai yang mendengarnya pun langsung menghela nafas sebelum akhirnya berkata, "Kalian berdua nggak harus urus masalah ini lagi, biar gue aja nanti yang jawab semua pertanyaan yang mereka kasih. Yang terpenting, keadaan Rain baik-baik aja, nggak ada luka lecet atau apapun itu, jadi mereka nggak boleh tau kejadian yang sebenarnya."

"Tapi, sebenarnya bukan itu yang gue pikirin," lanjutnya yang membuat Samuel dan Denis yang semula menunduk pun, kini menjadi kembali memandang seseorang yang berada di hadapannya saat ini. "Dan, gue nggak tau apa yang sebenarnya lagi Tuhan rencanakan untuk gue."

"Apa ini karena ..." Denis menggantungkan ucapannya melihat Rai yang kini memandangnya begitu dalam sebelum akhirnya laki-laki itu pun mengangguk. "Lo bener, itu yang lagi gue pikirin sekarang."

Samuel yang mendengarnya pun langsung berdecak membuat kedua laki-laki tersebut memusatkan perhatiannya ke arahnya.

"Lo kenapa, El?" tanya Denis dengan kedua alis yang terangkat. Begitu pula dengan Rai yang kini menatap bingung sahabatnya tersebut.

"Kalian berdua ngomong dari tadi, gue sama sekali nggak paham sama isi kepala lo, Rai! Terus, lo juga, Nis, kenapa pake gantung segala, sih, 'kan jadinya gue penasaran."

Rai dan Denis yang langsung tertawa terbahak-bahak melihat kekesalan Samuel terhadapnya. Sebelum akhirnya salah satu di antara mereka pun berkata, "Tenang, El. Lo nggak sendirian, kok, masih banyak orang yang akan penasaran sama apa yang tadi gue omongin sama Rai."

Mendengar itu membuat Samuel langsung mendengus, sebelum akhirnya tersenyum masam dengan kedua tangan yang melipat di dada.