"Pokoknya gue gak mau!" Tolak Nara keras. Dia mendudukkan dirinya ke sofa putih panjang sambil memijat pelipisnya pelan.
"Ayolah Nar cuma lo yang bisa gue percaya." Bujuk seorang wanita cantik berkaca mata. Rambut panjang nya diikat tinggi membuat beberapa helai anak rambutnya berjatuhan.
Nara mendengus, bukan karena permintaan nya melainkan kata-kata Anna yang sering kali ia dengar. "Sampe bosen gue denger omongan lo Ann."
Anna mendekat lalu ikut merebahkan tubuhnya di sofa. Dengan cepat ia memeluk kuat Nara dari samping membuat Nara seketika mendelik.
"Pliss kali ini aja, gue kasih bonus dua kali lipat deh ya."
Anna menatap Nara dengan jurus puppy eyes andalannya. Berharap kali ini sahabatnya mau menuruti permintaan nya.
"Enggak!" Tetap pada pendiriannya Nara tidak ingin luluh lagi. Ia masih berusaha melepaskan pelukan maut dari Anna.
"Tiga kali lipat deh gimana?" Rayunya.
"Big No!" Memang dasar Anna cantik-cantik jago karate tenaganya tidak sebanding dengan nya yang hanya seorang penulis. Ups
"Fine, empat kali lipat plus tambahan uang jajan sebulan gimana?"
Menelan ludah susah payah Nara mulai mempertimbangkan. Permintaan Anna memang tidak menyulitkan nya hanya datang ke pesta topeng. Masalahnya hanya satu pesta itu mewajibkan membawa pasangan dan dia tidak punya teman lelaki bahkan pacar saja tidak punya.
Tetapi Nara juga tidak bisa berpaling dari tawaran menggiurkan itu. Empat kali lipat uang bonus kerja ditambah uang jajan selama sebulan. Uang itu bisa untuk membeli laptop keluaran terbaru incarannya yang kebetulan juga laptopnya sedang rusak.
Baiklah penolakan permintaan Anna terakhir kali yang ia janjikan kemarin-kemarin akan ia tunda. Anak itu pasti selalu punya cara agar Nara mau menurutinya.
Mengatur nafas Nara menoleh menatap Anna. "Oke gue mau!" Putusnya.
"Aaaaa sankyu sahabatku." Jerit Anna histeris dan semakin memeluk erat Nara yang sepertinya sudah mulai kehabisan nafas. Oke ini lebay!
"Lo mau gue mati?" Bentaknya memukul-mukul lengan Anna dengan kencang.
Refleks Anna melepaskan rangkulan mautnya kemudian meringis menunjukkan dua jarinya tanda peace.
"Sorry, gue terlalu excited hehe."
Memutar bola mata malas Nara bangkit dari tempat duduknya, berjalan menuju pintu keluar. Berbalik Nara bertanya, "Gue harus bawa apa?"
"Cukup bawa diri lo aja sama pasangan lo. Lagian gak ada yang bakal tau kalo lo gantiin gue disana."
"Sip!" Nara mengacungkan jempolnya.
Nara keluar dari ruangan Anna. Bukan sekali dua kali sahabatnya meminta tolong padanya tapi sudah sering. Katakan tidak ikhlas tapi hey orang meminta tolong cukup sekali dua kali lebih dari itu namanya tidak tau diri.
Dan untungnya saja Anna mengerti jadi jika permintaannya dituruti maka Nara akan mendapat imbalan. Anggap saja ini pekerjaan tambahan untuk memberi makan rekening nya agar semakin gemuk.
Nara seorang penulis cukup profesional, karya nya sudah banyak dibukukan. Bahkan kebutuhan pokoknya bergantung pada tulisan nya. Berasal dari keluarga yang berkecukupan membuat Nara lebih memfokuskan tujuan nya untuk cita-cita yang selama ini diimpikan nya.
Dia sendiri tinggal jauh dari kedua orangtuanya. Orangtuanya tinggal di Bandung sedangkan Nara memilih ibukota Jakarta sebagai saksi bisu kesuksesan nya nanti. Amin.
Nara tinggal di sebuah apartemen tidak jauh dari butik milik Anna. Alasannya memilih apartemen karena ia hanya tinggal sendiri dan menurutnya apartemen sangat cocok daripada rumah yang dibelikan kedua orangtuanya.
Ketika Nara berjalan melewati sebuah kafe ia tak sengaja melihat seorang pria tampan yang sudah sangat ia kenal. Buru-buru Nara berbalik kemudian berlari sekuat mungkin menghindari pria tadi.
Nafasnya tersengal, Nara memegang dadanya sambil melirik kebelakang memastikan apakah ia dikejar atau tidak. Belum sempat Nara menengok tiba-tiba ia merasakan kerah bajunya ditarik. Jantung nya berpacu cepat.
"Mau kemana lo?" Sebuah suara berat memenuhi pendengaran nya. Nara mengutuk dalam hati lalu melihat sekelilingnya. Ia masih berada disekitar kafe tadi, jadi daritadi Nara hanya berlari beberapa meter dari tempat kejadian? Ah ingatkan Nara bahwa dia memang tidak pandai berlari.
Mengatur nafas sesaat Nara berbalik menatap pria itu. Tatapannya pada pria itu tak pernah berubah. Selalu positif dan juga negatif. Aneh memang.
"Ehh hai Nata!" Sapa nya canggung.
"Ngapain lari mau kabur dari gue?" Desaknya
"Enggak kok hehe." Nara memilin ujung rambutnya, kebiasaannya ketika gugup.
Hal itu tak luput dari perhatian Nata. Memutar mata bosan Nata meraih tangan Nara lalu menyeretnya menuju kafe miliknya.
Nara hanya bisa pasrah diseret seperti anak kucing. Nata membawanya ketempat tadi dia duduk. Seharusnya Nara mengantisipasi hal ini tadi tetapi karena pekerjaan Anna membuat nya jadi tidak fokus.
Kafe ini milik Nata dan berseberangan dengan apartemen Nara. Jadi setiap kali Nara pulang ke apartemen nya ia akan menyamar agar Nata tidak menemukannya. Alasannya tidak mau bertemu Nata benar-benar hanya karena tidak ingin rindu setelah bertemu.
Nata menatap Nara intens. Mendapati Nata menatap nya lapar, Nara mengalihkan pandangan kemanapun asal tidak ke dalam mata tajam itu. Ke kanan ke kiri ke bawah atau ke atas, kadang-kadang Nara juga pura-pura melihat menu di buku menu.
Tingkahnya sangat menggemaskan di mata Nata. Sesekali ia menyeringai kecil ketika Nara membaca buku menu dengan terbalik. Bolehkah Nata menerkam Nara saat ini?
Nata berdehem mengembalikan perhatian Nara padanya. "Kenapa?" tanyanya.
Pupil Nara membesar menatap mata Nata. "Rindu!" Cicitnya.
Nata tidak bisa tidak tersenyum geli. Mulutnya bilang rindu tetapi disuruh mendekat Nara tidak mau. "Sini deket!"
Nara menggeleng. "Gak mau!"
"Katanya rindu?"
"Nanti tambah rindu."
"Kan bagus."
"Enggak bagus, nanti kepikiran terus." Bantahnya.
Kemudian Nata tertawa setelahnya. Hubungan mereka dikatakan teman bukan lebih dari teman juga bukan. Lebih ke Teman Tapi Mesra.
Pernah waktu itu Nata menyatakan perasaannya pada Nara tetapi ditolak dengan alasan takut terjadi sesuatu yang buruk di masa depan. Nata mengenal Nara lebih dari apapun. Dan Nata mengetahui kalau Nara memang memiliki ketakutan pada masa depan.
Mereka sama-sama mencintai tetapi terhalang oleh sikap paranoid Nara.
Bagaimana jika mereka bertengkar lalu putus?
Bagaimana jika ada yang tidak suka dengan hubungan mereka lalu mengadu domba mereka?
Bagaimana jika dimasa depan salah satu diantara mereka pergi?
Dan masih banyak 'bagaimana jika' yang ada dipikiran Nara. Jadi menurut Nara keputusan terbaik adalah menjadi teman saja walaupun terkadang Nara merengek manja layaknya kekasih Nata. Nata tidak keberatan asal Nara tidak mengecewakan nya. Satu-satunya yang Nata yakini adalah mereka sama-sama mencintai dan itu sudah lebih dari cukup.
Aneh memang, Nata juga mengetahui alasan kenapa Nara enggan bertemu dengannya. Entah alasan klise atau apa Nata juga tidak mengerti.
'Gue gak mau nanti gak bisa tidur karna kepikiran lo terus ih'
Dan itu selalu jadi kalimat favorit Nata ketika ia menggoda Nara. Bahagia itu sesederhana itu!