Bismillah...
Kostan itu nampak sepi ketika Riza pulang dari sekolah. Ia mengucapkan salam meskipun tidak ada yang menjawabnya. Ada beberapa kamar di dalam bangunan yang gerbangnya telah ditutupnya pelan, nampak asri dengan beberapa pohon mangga dan pucuk merah tumbuh di taman yang terletak di depan kamar-kamar kostan. Kolam ikan dengan suara gemericik air menambah sejuk walaupun cuaca Yogya panas saat itu.
"Sudah pulang, Riza?" Suara Bu Yani pemilik kostan menyapa. Riza yang telah membuka kunci pintu kostan dan hendak masuk kemudian urung.
"Eh iya,bu" Riza menghampiri Bu Yani dan mencium tangannya, setelah terlebih dulu menyebrangi taman di depannya.
Bangunan rumah bu Yani membentang luas terletak persis di depan kamar kost-kostan yang dipisahkan oleh taman dan kolam ikan. Ada beberapa ruangan terbuka di sebelah kiri bangunan rumah dan dekat dengan gerbang, satu ruangan digunakan untuk para penghuni kost makan sekaligus sebagai pantry. Bu Yani menyediakan makan karena kebanyakan yang kost di situ adalah anak sekolah dan beberapa anak kuliahan, sehingga orang tua yang menitipkan anaknya tidak akan merasa khawatir anaknya telat makan.
Satu ruangan lagi untuk menerima tamu karena tamu tidak diperkenankan masuk ke dalam kamar kostan (kecuali tamunya adalah perempuan karena kostan tersebut adalah kostan khusus putri), ruangan tersebut juga merangkap ruangan menonton televisi.
Pada bagian kanan bangunan rumah yang dekat dengan gerbang terdapat 4 kamar mandi yang berjejer dan selalu bersih karena dilaksanakan piket bergiliran untuk seluruh warga kost. Disebelahnya terdapat tempat terbuka sebagai tempat cuci baju dan diapit oleh mushola.
"Nanti kalau Riza sudah ganti baju, langsung makan ya. Ibu sudah menyiapkannya di sana" Bu Yani menunjuk ruang makan.
"Iya bu, matur nuwun. Riza ganti baju dulu nggih" Yang dibalas anggukan oleh bu Yani yang kemudian pamit ke dalam rumah untuk menyelesaikan pekerjaannya yang belum sempat terselesaikan.
Riza segera menuju kamarnya untuk berganti baju rumah dan kemudian berniat untuk makan.
Setelah berganti baju Riza tidak segera keluar kamar. Ia teringat pada HP nya, dipijitnya satu nomer. Beberapa kali nada sambung berbunyi, kemudian terdengar suara seorang perempuan di seberang sana mengucap salam. Riza membalas salamnya.
"Waalaikumsalam"
"Ibuuuu… hik..hik..Riza, kangen ibu" Isaknya.
"Iya, nduk. Ibu juga kangen banget walaupun baru beberapa hari kita berpisah ya. Tapi ini kan sudah pilihan Riza untuk mengejar cita-cita untuk bisa menjadi orang sukses kelak"
Bu Leni mencoba menasehati Riza, walaupun dadanya terasa sesak. Bagaimana tidak, selama ini mereka berdua terbiasa bersama-sama semenjak ayah Riza meninggal dunia. Ia mencoba tegar agar Riza juga kuat.
"Iya, bu" Riza menyeka air matanya yang kian melebat.
"Yang sabar ya, nduk. Ini salah satu ujian jika kita ingin sukses"
Riza mengangguk, tentu saja anggukan itu tak kan terlihat oleh ibunya. Setelah beberapa menit berkeluh kesah dengan ibunya Riza mengakhiri telfonnya.
Sesaat kemudian ada yang mengetuk pintu kamarnya
"Riz, ayo makan" Suara di luar kamar mengajaknya untuk makan. Hening tak ada jawaban
"Riz...Riz..."
"Sebentar,mbak" Riza mencoba menyeka air matanya yang masih tersisa dipipi dan matanya kemudian segera memakai kerudung bergonya dan membuka pintu kamar.
"Kamu habis nangis?" Mbak Dian yang ternyata mengetuk pintu kamar Riza menanyakan matanya yang sembab.
Riza menjawab dengan sedikit senyum karena hatinya masih merasa nelangsa berpisah dengan ibu untuk pertama kalinya.
"Nggak apa-apa, wajar Riz. Mba Dian mengelus punggungnya pelan dan menggenggam tangannya.
"Mba juga dulu nangis terus di kamar pas pertama jauh dari orang tua, apa lagi kalau sepi. Makanya langsung mba samper biar kamu nggak sedih terus" Riza merasa sedikit terhibur dengan kalimat Mbak Dian.
Mba Dian menempati kamar kost di sebelah kamar Riza. Dirinya adalah mahasiswa tingkat 3 di Universitas Negeri terkenal di Yogya. Orangnya baik, bu Leni juga sempat menitipkan Riza padanya selain pada bu Yani.
"Ayo makan" Mbak Dian menggandeng tangan Riza menuju ruang makan.
Mbak Dian merasakan apa yang dirasakan Riza sekarang, ia meminta Riza untuk menganggap mbak Dian sebagai kakaknya dan tidak usah merasa sungkan jika ingin bercerita atau membutuhkan sesuatu.
Nafsu makan Riza menguap karena masih mengingat ibunya. Ia masih ingat, jika dirinya mulai malas makan bu Leni akan dengan sigap menyuapinya meskipun usianya sudah bukan anak kecil lagi.
Riza hanya mengambil makan sekedarnya agar perutnya tidak sakit. Mereka makan dalam diam, kemudian membersihkan bekas makannya setelah selasai.
"Mau nonton tivi?" Tawar mbak Dian lagi. Lagi-lagi Riza mengangguk mengiyakan tawaran mbak Dian. Barangkali setelah nonton televisi dirinya menjadi terhibur.
Mereka duduk di sofa yang menghadap langsung ke televisi, menonton ajang pencarian bakat Suara Indonesia.
****
Hari mendekati maghrib ketika satu persatu penghuni kost mulai berdatangan dan kostan mulai ramai. Setelah melaksanakan sholat maghrib bu Yani mengajak anak-anak kost untuk makan malam.
"Yuk, nonton tivi dulu jangan langsung masuk kamar" ajak mbak Ratih, tetangga kost nya yang satu ini juga mahasiswa tetapi tempat kuliahnya berbeda dengan mbak Dian dan masih semester lima.
Teman-teman satu kostnya yang kini juga menjadi teman Riza juga mengiyakan ajakan mba Ratih untuk menonton televisi sekedar bercengkrama dengan penghuni kost lainnya dan menambah keakraban.
Teman-temannya rata-rata usianya lebih dewasa dari Riza. Ada 3 orang yang ternyata merupakan kakak kelasnya di SMA tempat dimana ia bersekolah. mereka adalah Heni, Laila, dan Husna. Ketiganya duduk di kelas XII yang merupakan kelas akhir.
"Dek, kalau butuh apa-apa atau mau nanya-nanya jangan sungkan-sungkan ya. Sekarang keluarga kamu di sini ya kami dan bu Yani itu sebagai orang tua kita" Mba Ratih membuka percakapan di ruang televisi.
Riza mengangguk "Iya, mba". Mulai malam itu Riza merasakan kehangatan keluarga meskipun ibunya jauh di sana, ia berusaha untuk kuat dan tidak mengingat-ngingat rasa rindunya.
Pukul 21.00, anak-anak kost memutuskan untuk kembali ke kamarnya masing-masing.
Riza pergi menggosok giginya dan berwudhu sebelum masuk ke kamar.
Ia memposisikan tubuhnya berbaring untuk tidur dan membaca doa sebelumnya terlebih dahulu kemudian memejamkan matanya dan bermimpi ...
Mimpi melihat almarhum ayahnya yang tesenyum padanya dikejauhan. Sedangkan ibunya disebelahnya membelainya lembut kepalanya, menentramkan hatinya yang sedang gundah.
"Jangan bersedih,nduk. Insyaallah semua akan berakhir indah jika kita sabar dan mampu untuk melewatinya dan itu pasti"
Kalimat itu selalu terngiang-ngiang di dalam ingatan Riza hingga ia bangun di keesokan harinya.
"Ibuuuu"
****
Assalamualaikum
Hai readers, maaf kalau masih ada typo dan acak-acakan di sana sini. trimakasih sudah mendukung author untuk terus semangat update ya... terimakasih