Chereads / DEUXIEME AMOUR / Chapter 4 - Bab 04

Chapter 4 - Bab 04

Jakarta, Indonesia 10.00

Setelah menempuh perjalanan jauh akhirnya mobil yang membawanya pergi telah sampai disebuah gedung pencakar langit, milik Bramantara yang tergabung dalam Kafeel Group.

Kedatangannya bersama Calista tentu saja membuat tanda tanya para karyawan baru PT. Bramantara Kreasi Group. Mereka semua saling berbisik karena sebelumnya Calvino tak pernah membawa seorang wanita ke kantor.

"Apa itu ya calon istri Pak Calvino?"

"Mungkin, wajahnya mirip banget sama Pak Calvino bagaikan pinang di belah dua."

"Iya, bener banget. Biasanya kalau wajahnya mirip gitu katanya jodoh."

"Bener juga sih. Kata orang tua jaman dulu emang gitu."

"Yah, hilang dunk harapan gue buat jadi Nyonya Kafeel."

"Bangun woi, bangun! Mimpi lu tuh ketinggian."

"Ya sudah yuk kita lanjut kerja. Kalau si kumis tahu, kita semua bisa kena semprot."

"Si kumis … siapa?"

"Tuh si Pram."

Para karyawan segera menyudahi bergosip dan kembali ke ruang kerja masing – masing.

Calista berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Calvino. "Memangnya kita mau nyebrang apa? Gandengan mulu. Lepas ih."

"Memangnya kenapa? Apa kamu tidak lihat tadi di lantai bawah para karyawan lihatin kamu kayak mau nerkam gitu, hah?"

"Tapi ini di dalam lift dan hanya ada kita berdua kak."

"Dasar bawel. Jangan jauh – jauh, sini." Mengalungkan tangan Calista ke lengannya seolah ingin melindungi Calista dari tatapan lapar para lelaki.

Ketika pintu lift terbuka kedatangan keduanya langsung di sambut wanita cantik dengan pakaian super seksi. Mengulas senyum dengan tatapan mata genit. "Selamat pagi Pak Calvino." Akan tetapi segera mengulas senyum sinis ketika bertatapan dengan Calista yang terlihat sedang mengalungkan tangannya ke lengan kekar Calvino.

Tanpa mengindahkan tatapan dari sekretarisnya, Calvino langsung mengusap puncak kepala Calista dengan penuh rasa sayang. "Silahkan masuk Tuan Puteri."

Bibir tipis Calista mengulas senyum ketika menelisik keseluruhan dekorasi yang di dominasi warna hitam, menegaskan bahwa pemiliknya adalah seorang lelaki. Di atas kursi kebesarannya terpampang foto keluarga dengan ukuran yang sangat besar.

"Hai, apa – apaan ini." Ibu jari Calvino terulur mengusap bulir – bulir air mata. "Kakak tak mau lagi ada kesedihan Calista."

"Aku rindu masa – masa itu kak." Tatapannya terpaku pada foto keluarga.

"Kita bisa mengulangnya lagi. Kalau perlu aku akan menggantinya dengan foto terbaru kita, gimana? Lagipula ini foto masa kecil kita. Lihat, kau masih tampak unyu - unyu." Sambil memencet gemas hidung Calista.

"Ih aku bukan anak kecil lagi Calvin."

"Kau panggil aku apa? Calvin? Hei, panggil aku kakak."

"Kita ini lahir di hari yang sama." Protes Calista.

"Tapi aku yang lahir lebih dulu setelah itu baru kamu, tetap saja aku yang lebih tua." Ucapnya sembari tersenyum kemudian menepuk sofa di sebelahnya. "Kemarilah! Akan ku tunjukkan padamu beberapa dokumen perusahaan."

"Jadi kau serius dengan ucapanmu?"

"Tentu saja Calista sayang, aku butuh bantuanmu. Aku tak sanggup mengelola perusahaan ini sendirian. Kau tahu kan Papa lebih sering bepergian ke luar Negeri untuk mengurus perusahaan yang di sana."

Meskipun awalnya ragu akhirnya Calista menerima tawaran tersebut. Satu hal yang Calista yakini mungkin dengan menyibukkan diri di kantor bisa mengurangi kesedihannya.

"Pelajari dulu saja semuanya, jika ada yang tak kau mengerti bisa kau tanyakan sama kakak."

Tak perlu waktu lama untuk memahami semuanya karena sebelumnya Calista sudah terjun di perusahaan Jozh hingga perusahaan tersebut berkembang pesat.

Calvino pun di buat keheranan karenanya. "Aku tak menyangka bisa secepat ini kau memahami semuanya sayang."

"Ini mah kecil." Sambil menjentikkan jemarinya ke depan wajah Calvino. Dan tentu saja hal tersebut membuat bibir Calvino mengukir senyum puas.

Tak terasa jarum jam sudah mengarah ke jam makan siang sehingga Calvino mengajak Calista untuk makan siang di restoran terdekat. Selama menyantap menu makan siang tak henti – hentinya menatap intens adik tercinta. Yang di tatap pun langsung melayangkan pertanyaan, kenapa?

Mengusap pipi Calista penuh sayang. "Kamu terlihat lelah sekali sayang. Lebih baik setelah makan siang ku antar ke rumah."

"Tapi kak."

"Tidak ada tapi – tapian. Lebih baik kau istirahat. Tapi di rumah kakak tidak ada pembantu, Bi Sumi sedang pulang kampung."

"Lebih baik aku ikut ke kantor. Aku tak mau sendirian di rumah kak. Rumah kakak sepi kayak kuburan."

"Ih dasar kau ini." Sambil memencet gemas hidung Calista.

Awalnya semua berjalan baik – baik saja sampai pada akhirnya harus di hadapkan pada seseorang dari masa lalu yang kembali mengguncang mentalnya. Jozh kembali datang mengusik kehidupannya, mantan suaminya tersebut ingin merajut kembali hubungan setelah seluruh aset kekayaannya berpindah atas nama Lana.

Tak terelakkan seringkali terjadi baku hantam antara Calvino dan Jozh. Tentu saja hal tersebut membuat Calista muak. Jozh yang terobsesi padanya semakin berbuat nekat hingga melakukan segala cara untuk mendapatkan cinta Calista kembali.

"Calista … " suara yang sudah tidak asing membuat Calista bergidik ngeri kemudian memutar tubuhnya perlahan.

"Jozh." Lirih Calista dengan suara bergetar. Bulu roma seketika meremang ketika mendapati tatapan tak biasa tersirat dari sorot mata Jozh. Satu hal yang Calista pikirkan dari mana lelaki ini bisa tahu posisinya saat ini. Pasti dia sudah membuntutiku, itulah yang bersarang dalam benak Calista.

Ekor mata Calista melirik ke sekeliling, jalanan menuju perumahan kakaknya ini tampak sepi. Calista pun menyesali kebodohannya, harusnya tadi langsung menghubungi Calvino untuk menjemput bukan malah menunggu petugas Derek dari bengkel.

"Mobilmu mogok, hum?" Seringaian licik terukir di bibir Jozh sambil terus melangkahkan kaki hingga tubuh Calista terjepit di antara badan mobil sehingga tak bisa lagi melarikan diri.

"Mau lari kemana, Honey?" Jarak wajah yang sangat dekat mampu mengirimkan deru nafas hangat Calista pun di buat jijik karenanya sehingga langsung mendorong bahu Jozh. "Mau apa kau?"

"Aku tidak mau apa – apa, Honey. Aku hanya mau kamu."

"Jangan mimpi kamu!"

"Sayangnya aku enggan terbangun dari mimpiku ini." Dan tanpa di sangka – sangka langsung menyeret tubuh Calista memasuki sebuah mobil. Karena terus saja memberontak akhirnya Jozh melayangkan pukulan hingga kesadaran Calista hilang.

Pening, itulah yang Calista rasakan ketika membuka mata, ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya saat ini. Menelisik ke sekeliling dan seketika memebeliak sempurna ketika merasakan kedua tangan terikat pada sandaran ranjang dengan mulut tersumpal.

Dimana ini? Calista membatin sembari coba melepaskan diri akan tetapi hal itu sia – sia saja karena ikatan di tangan sangat kuat. Dan karena pencahayaan yang temaram membuatnya kesulitan untuk mengetahui posisinya saat ini.

Ketika mendengar langkah kaki mendekat hatinya semakin di buat berdebar tak karuan hingga rasanya ingin melompat dari pemiliknya. Calista pun langsung bergidik ngeri melihat lelaki yang menjadi bagian dari masa kelamnya kini berdiri di hadapannya dengan menyungging senyum penuh kemenangan.

"Apa yang kamu pikirkan, Honey? Jangan berfikir kau bisa kabur dari sini karena aku tak akan pernah melepasmu lagi."

"Apa mau kamu, hah? Kita sudah tidak ada hubungan."

"Masih Calista sayang. Kita masih suami istri."

"Jangan gila kamu. Pengadilan sudah menerbitkan surat cerai."

"Itu kan pengadilan. Bagiku kamu tetap istri ku, Calista ku sayang." Sembari membelai lembut pipi Calista. Jijik, itulah yang Calista rasakan di sentuh oleh lelaki paling menjijikkan, Jozh Mandoze.

Kak Calvin, please selamatkan Calista kak. Jerit Calista dalam hati.