Di ruang makan Calista tampak murung, wajahnya pucat dan juga bawah mata menghitam. Tak ada sesuap nasi pun yang masuk ke mulutnya karena sedari tadi hanya mengaduk – aduk sup krim jagung hingga acara makan selesai. Tak ayal karena sikapnya inilah langsung di cecar berbagai pertanyaan.
"Calis baik – baik saja Pa."
"Yakin kamu ga apa – apa sayang?"
Calista mengangguk.
"Tapi wajahmu pucat sekali sayang, lebih baik istirahat saja dan tak usah ikut kakak mu ke Jakarta. Papa tak memberimu ijin bekerja."
"Tapi Pa."
"Tidak ada tapi – tapian Calista, ini perintah Papa."
"Calista hanya kelelahan saja Pa, Ma. Calista harus bekerja, kasihan kak Calvin."
"Sepertinya kamu perlu suasana baru sayang." Ucap Calvino sembari mendongakkan wajah Calista kemudian memencet gemas hidungnya.
"Badanmu hangat, kamu sakit?" Sambil menyentuh kembali kening Calista.
"Ih kakak ini apa – apaan sih. Calis cuma kecapean saja kak."
"Ya sudah kalau gitu ayo kita berangkat!"
"Tapi Vin adik mu ini sedang sakit, lebih baik di rumah saja. Untuk keberangkatan ke Jakarta tunda dulu saja," nasihat Dreena.
"Tak perlu khawatir Ma, Calvin tahu apa yang terbaik untuk anak bandel ini," sambil memencet kembali hidung Calista. Tak ayal sikap jahilnya ini langsung mendapat protes keras.
Sebelum berangkat mencium pipi kedua orang tuanya kemudian setengah menyeret Calista menuju mobil kesayangan.
"Ih apa – apaan sih kak. Aku bisa bawa mobil sendiri jangan berlebihan memperlakukanku!"
"Masuk!" Perintah Calvino seraya membukakan pintu mobil.
"Aku bukan gadis kecil lag-" kalimat Calista menggantung karena Calvino langsung membungkam bibir Calista dengan jari telunjuknya kemudian menggeser tubuh Calista supaya memberinya ruang untuk duduk.
"Jalan, Pak!"
Calista tampak kesal karena masih saja di perlakukan layaknya anak kecil. Bibirnya masih saja mengerucut beberapa senti ke depan. Sementara Calvino hanya meliriknya sekilas kemudian memainkan ponselnya mengirim pesan pada Lenata.
"Mungkin kamu bisa membohongi Papa, Mama tapi tidak dengan kakak. Kita ini saudara kembar sayang sudah sepantasnya bisa saling merasakan perasaan masing - masing." Calista langsung menolehkan wajahnya menatap Calvino sekilas setelah itu membuang pandangan pada jalanan.
"Sok tahu."
"Tentu saja kakak tahu, bahkan kakak bisa merasakan apa yang sebenarnya kamu rasakan."
Tak ingin menanggapi ucapan Calvino, Calista kembali membuang pandangan ke luar jendela coba menikmati pemandangan sepanjang jalan yang di laluinya ini.
Setelah menempuh perjalanan jauh mobil yang membawa mereka pergi telah sampai di depan gedung pencakar langit bertuliskan PT. Bramantara Kafeel Group yang jadi incaran para lulusan terbaik untuk bisa bergabung menjadi bagian dari tim sukses perusahaan tersebut.
Calista segera turun mobil setelah salah satu security membukakan pintu untuknya. "Selamat pagi Ibu Calista," tanpa menjawab hanya mengulas senyum.
"Jam makan siang nanti kakak akan menjemputmu sayang." Seru Calvino dari dalam mobil. Calista mengangguk kemudian segera melenggang menuju lift yang membawanya pada ruangannya.
"Selamat pagi Ibu Calista."
"Selamat pagi."
"Maaf Bu."
Calista langsung menghampiri meja sekretarisnya. "Ada apa? Katakan!" Akan tetapi sekretarisnya tampak ragu untuk mengatakan dan hal itu semakin membuat Calista bertanya – tanya.
"Ada apa Rea? Hal penting apa yang ingin kamu sampaikan? Apa ada masalah?" Tenggorokan Rea terasa seperti tercekat ketika di hujani tatapan mematikan dari sepasang manik coklat Calista. Belum juga Rea sempat menjelaskan, Jozh sudah berdiri di belakang Calista dengan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Tatapan Jozh menajam penuh ancaman pada Rea.
Calista yang menyadari perubahan sikap Rea langsung mengikuti arah pandang sekretarisnya tersebut. Dan hal yang di lihatnya membuat Calista terperenyak.
"Jozh," lirih Calista.
"Selamat pagi Honey," sambil merentangkan kedua tangan memberi isyarat pada Calista supaya segera berhambur ke pelukan namun hal yang di terima Jozh justru sebaliknya karena ia langsung di amankan oleh security. Tubuhnya di seret paksa keluar gedung.
"Jika kamu masih berani – berani menginjakkan kaki di gedung ini maka kami akan melemparmu ke pihak yang berwajib." Bentak security sambil mendorong tubuh Jozh sehingga tersungkur ke lantai.
"Kalian tidak tahu siapa saya, hah? Saya ini Jozh Mandoze istri CEO kalian."
"Kami tidak peduli. Pergi!" Jozh mendengus kesal karena di perlakukan dengan tidak hormat oleh Calista. Dalam hati ia berjanji bahwa akan mendapatkan cinta Calista kembali sehingga bisa hidup bergelimang harta tidak lagi lontang lantung di jalanan.
Hari ini fokus Calista terpecah karena kehadiran Jozh yang membuat keributan di kantornya. Ia coba berfikir keras bagaiaman cara menyingkirkan Jozh dari hidupnya. Tak ingin terus tenggelam dalam permasalahannya saat ini Calista segera menyibukkan diri dengan pekerjaan sampai – sampai melupakan janjinya pada sang kakak.
Oh My God jam berapa ini, pasti kak Calvin sudah lama menungguku. Calista membatin sambil melebarkan langkah menuju lift yang membawanya ke lobby. Senyumnya seketika mengembang ketika mendapati Calvino sedang duduk di sofa panjang.
"Kenapa tidak langsung ke atas saja kak?"
"Aku lebih senang disini. Bisa cuci mata sambil lihat – lihat para model cantik lalu lalang sayang. Yang barusan lewat itu tadi cantik banget yah," sembari mengangkat sebelah alisnya.
"Awas saja ya kak, kalau sampai kak Calvin ganggu model ku. Dia model brand ambassador produk terbaru yang sebentar lagi akan aku luncurkan."
"Ganggu dikit kan ga apa – apa kan Calista sayang."
"Dasar genit, jangan coba - coba tebar pesona di kantor ku!"
"Kalau adik kesayangan kakak ini overprotektif lalu kapan kakak mu ini bisa cepat dapat pendamping hidup sayang?" Sambil melingkarkan tangannya ke leher Calista, membimbingnya menuju mobil kesayangan.
Saat ini mereka sudah berada di restaurant yang tak jauh dari kantor. Calvino sengaja memilih tempat tersebut karena tak ingin membuat Calista lelah. Kedatangan keduanya langsung menyita perhatian para pengunjung lain. Memiliki wajah mirip dan juga sikap yang terlihat mesra membuat keduanya sering kali di kira sebagai sepasang kekasih.
"Kenapa sih semua orang melihat ke arah kita?"
"Sudah lah abaikan saja. Kamu hutang penjelasan sama kakak."
"Penjelasan apa?" Calista tampak bingung.
"Ceritakan sama kakak. Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu?"
"Sudahlah kak, bukankah aku sudah mengatakan padamu bahwa saat itu tanganku terkilir. Lagi pula kejadian itu juga sudah lama untuk apa kau masih mengingatnya?"
"Bibirmu ini bisa saja berbohong tapi tatapan matamu mengungkap kejadian sebenarnya Calista." Aku tahu ada yang coba kamu sembunyikan. Sejak kejadian malam itu kau lebih sering terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Jika kamu tetap memilih bungkam maka aku akan cari tahu sendiri, Calista.
Mendapati tatapan tak biasa membuat bulu roma Calista meremang. Seketika air mata menggenang di pelupuk namun coba ia tahan supaya tak sampai tumpah.
"Katakan kejadian sebenarnya atau terpaksa harus ku cari tahu sendiri dan ku hancurkan siapa pun yang sudah mengganggumu, Calis!" Ancam Calvino.
Takut, itulah yang Calista rasakan sehingga memilih berkata jujur terlebih tak ingin sampai kakak tercinta terlibat dalam masalah besar.
"Malam itu Jozh menculikku," lirih Calista sehingga Calvino tak dapat mendengar dengan jelas.
"Apa? Katakan sekali lagi!"
"Jozh mencu-lik-ku." Seketika raut wajah Calvino memerah menahan amarah. Tanpa sadar menggebrak meja membuat Calista terperenyak. Tak hanya Calista para pengunjung lain pun juga di buat terkejut sehingga saling melempar pandang dan berbisik.
"Lelaki keparat!" Geram Calvino kemudian melayangkan tatapan tajam pada adik tercinta. "Ku pastikan akan segera ku habisi dia!" Ucapnya penuh janji.
"Tidak kak, ku mohon jangan lakukan hal itu." Aku tak mau kakak sampai kenapa – napa. Aku tak mau reputasi kakak hancur.
"Lihat betapa bodohnya kau ini Calista. Sudah di sakiti tapi masih saja membelanya. Sadar Calista, sadar!" Bentak Calvino. Menyadari tak sedikit dari para pengunjung menatap ke arahnya, ia pun segera memelankan suaranya. Muak, itulah yang Calvino rasakan karena adik tercinta masih saja membela lelaki keparat itu.
"Ayo! Jam makan siang sudah habis dan saatnya kembali bekerja," nada suara dan juga tatapannya dingin membuat Calista di rundung kesedihan, bahkan tanpa menunggu lebih dulu langsung melenggang begitu saja menuju mobil kesayangan meninggalkan Calista yang masih tertegun.
Sepanjang perjalanan tak ada yang saling membuka suara hingga mobil yang membawa mereka pergi telah sampai di depan gedung menjulang tinggi bertuliskan PT. Bramantara Kafeel Group. Tanpa mengatakan apapun langsung melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, sementara Calista hanya menatap nanar kepergian kakaknya.
Disaat sedang sibuk bekerja ponselnya berdering dan ternyata Calvino yang berkirim pesan bahwa malam ini akan menjemput pukul 07 malam. Tanpa membalas pesan justru mengabaikannya begitu saja.
Terlalu sibuk bekerja sampai – sampai tak menyadari bahwa arah jarum jam sudah mengarah ke angka 09.30 malam. Calista pun segera bersiap untuk pulang dan alangkah terkejutnya ketika melewati lobby, Calvino terlihat sedang menyenderkan kepala pada sandaran sofa dengan mata terpejam.
Menghembuskan nafas berat kemudian mendekati kakak tercinta. Mengamati wajah tampan kakaknya yang terlihat sangat lelah.
"Sudah selesai?" Tanya Calvino tanpa membuka mata.
Aku kira kakak ketiduran.
"Sudah, maaf membuat kakak menunggu lama," lirih Calista.
Calvino langsung membuka mata sehingga tatapan keduanya saling bertemu. Menghujani sang adik dengan tatapan tajam. "Apa kau tidak tahu jam berapa sekarang, hah?" Tanya Calvino dengan nada tinggi.
Menyadari rasa tak nyaman menyelimuti wajah cantik Calista, Calvino pun langsung menghujani sang adik dengan tatapan hangat sembari mengusap rambut Calista dengan penuh rasa sayang. "Kenapa jam segini baru pulang? Apa kamu kuwalahan dengan tugas yang kakak berikan?"
Calista menggelang.
Tak ingin mencecar adik tercinta dengan berbagai pertanyaan segera mengajaknya untuk pulang. Di tengah perjalanan membelokkan mobilnya menuju sebuah restaurant yang langsung mendapat protes dari Calista.
"Kakak lapar sayang dan Bi Minah juga masih di kampung," ucapnya sembari membimbing Calista masuk ke dalam restaurant. Setelah selesai menyantap menu makan malam langsung mengemudikan mobil menuju rumah. Sesampainya di rumah langsung mengusap puncak kepala Calista penuh rasa sayang. "Istirahat lah! Besok pagi kita ke Surabaya."
Kalimat yang baru saja menggelitik pendengaran membuat Calista memutar tubuhnya, menghujani kakak tercinta dengan sorot mata penuh pertanyaan.
"Ke rumah Om Beni sayang."
"Acara apa?"
"Liburan saja. Apa kau tak suka?"
Tanpa menjawab hanya mengedikkan bahunya acuh sembari melangkahkan kaki menuju lantai atas. Entah kenapa firasat Calista mengatakan bahwa kedatangannya besok ke Surabaya bukan hanya sekedar liburan. Calista tahu ada sesuatu yang coba kakaknya sembunyikan.
Dalam perjalanan besok pagi menuju kota Surabaya keduanya memutuskan untuk mengendarai mobil Ferrari. Bukan karena tak mampu membayar tiket pesawat akan tetapi karena ingin bersantai.
"Lebih baik pakai supir saja kak, aku tak mau kakak sampai kelelahan."
"Okay. Oh iya jangan lupa telepon Mama, Papa sayang. Kasih tahu kalau hari ini kita berkunjung ke rumah Om Beni."
"Hm."
Sepanjang perjalanan tak ada yang saling membuka suara. Seolah tahu yang saat ini di pikirkan oleh adik tercinta segera membawa kepala Calista bersandar di pundaknya.
"Tidurlah perjalanan masih sangat panjang sayang." Setelah memastikan Calista sudah terlelap segera memberi perintah pada supir untuk menambah kecepatan.