Bandung, Indonesia 11.00
Setelah sampai di kota Bandung, Lenata segera meminta supir untuk meminggirkan mobilnya.
"Mana kunci mobil Pak?" Pinta Lenata.
"Tapi, Non."
"Kunci mobil mana?" Sambil menyerahkan uang supaya supirnya tersebut pulang naik taxi. Lenata ingin mengendarai sendiri mobilnya menuju kediaman Kafeel.
Sepanjang perjalanan Calista memilih diam dengan membuang muka pada jalanan coba menikmati setiap pemandangan di sepanjang jalan. Meskipun begitu tak juga bisa mengalihkannya dari kesedihan, air mata terus saja mengalir melewati pipi. Tak ingin menambah luka di hati sahabatnya, Lenata pun memilih diam, fokus pada jalanan di depannya.
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam akhirnya mereka sampai di depan rumah super mewah berpadu padan bangunan maroko klasik. Bangunan ini di lengkapi dengan lift, di bagian belakang ada taman dan air terjun buatan. Taman yang sangat indah dan luas seolah mengingatkan kita sedang berada di daerah tropis.
Calista yang tenggelam dalam kesedihan tak menyadari bahwa mobil yang membawanya pergi telah berhenti di depan pagar menjulang tinggi. Ketika melewati pagar utama, barulah ia menyadari.
Setelah 3 tahun akhirnya dapat ku pijakkan lagi kakiku di rumah yang penuh kenangan manis ini. Batin Calista sambil mengusap kasar air matanya.
"Selamat datang Non," ucap security ketika sedang membukakan pintu mobil.
"Ayo turun! Mama, Papa mu pasti sudah menunggu." Kalimat yang baru saja mengusik pendengaran membuat Calista terperenyak. Ia tak menyangka bahwa Lenata berani bersikap selancang ini.
"Maaf Calista kalau aku sudah memberitahu Om dan Tante tanpa seijinmu. Aku hanya tidak mau mereka syock melihat kedatanganmu." Menyadari perubahan ekspresi Calista, Lenata pun segera menggenggam erat sesekali meremasnya kuat coba memberinya kekuatan.
"Aku akan menginap beberapa hari di sini," ucap Lenata menenangkan. Sorot mata Calista menyirat banyak sekali pertanyaan sehingga Lenata langsung menjelaskan bahwa ia tidak menceritakan apapun perihal permasalahan yang terjadi pada rumah tangga Calista.
"Jangan biarkan Om dan Tante menunggu, ayo masuk!" Ajak Lenata. Kedatangan Calista di sambut Bi Minah, kedua orangtua dan juga kakaknya tak terlihat.
"Selamat datang kembali di rumah ini, Non. Bibi senang bisa melihat Non Calista lagi." Tanpa menjawab hanya mengulas senyum.
"Papa mana Bi?"
"Tuan ada di taman belakang, Non."
"Kalau Mama?"
"Nyonya ada di kamarnya."
"Kak Calvino?"
"Den Calvin masih di kantor, Non."
"Ya sudah kalau gitu Calista mau ketemu Papa dulu. Tolong buatkan minuman buat Lenata ya Bi."
"Baik Non," setelah itu langsung beranjak ke dapur.
"Len, aku ketemu Papa dulu yah. Kamu bisa tunggu sini atau langsung ke kamar saja."
Lenata mengangguk.
Calista segera berlalu mencari ayahnya dan betapa terkejutnya ketika mendapati ayahnya sedang menatap kosong sampai – sampai tak menyadari kehadiran putri kesayangan. Dengan gemetar jemari Calista terulur menyentuh pundak ayahnya.
"Pa … " panggil Calista dengan suara bergetar. Yang di panggil langsung menolehkan wajahnya. Mendapati putrinya berdiri di hadapannya, Bramantara langsung memeluknya erat.
Papa kenapa tidak menyambut kedatangan Calista dan malah berdiri sendirian di sini? Apa tidak kangen Calista?
Menyadari punggung putrinya makin bergetar karena isak tangis, Bramantara makin mengeratkan pelukan. Berulang kali mengecup puncak kepala putrinya penuh kerinduan.
Maafkan Papa sayang, membiarkanmu harus menelan pil pahit pernikahan. Harusnya Papa tak pernah mempercayakanmu pada lelaki brengsek itu.
Sebagai seorang pengusaha sukses yang telah memiliki banyak perusahaan yang tersebar di Indonesia dan juga luar Negeri. Tentu hal itu memudahkan Bramantara untuk menyelidiki kehidupan putrinya setelah menikah dan tinggal bersama suaminya di London. Sehingga biduk rumah tangga putrinya tak pernah lepas dari pantauannya akan tetapi selama ini ia hanya memilih diam.
Emosi Bram tak lagi terkontrol melihat kehancuran putrinya. Pernikahan yang dari awal di tentangnya ini telah menggoreskan luka terdalam di hati Calista dan juga keluarga besar Kafeel tentunya.
"Perceraianmu akan segera Papa urus."
Kalimat yang baru saja mengusik pendengaran tentu saja membuat Calista terperenyak. Segera mengurai pelukan, mendongak menatap ayahnya, sorot matanya menyilau tak percaya dengan yang baru saja ayahnya katakan.
Merangkum pipi putrinya dengan sayang. "Semua sudah Papa urus."
"Tapi Pa."
"Tidak ada protes Calista. Kali ini kamu yang harus turuti perintah Papa."
Tapi aku hamil Pa. Jerit Calista dalam hati. Tak dapat di tahan lagi air mata kembali menetes membasahi pipi mulus.
Di saat sedang bercengkrama dengan putri tercinta, Bi Minah datang menghampiri. Menyadari kehadiran Bi Minah, Bramantara segera menolehkan wajahnya, melalui sorot matanya seolah berbicara, ada apa Bi?
"Tuan dan Non Calista sudah di tunggu Nyonya di ruang makan."
Bramantara menggandeng tangan Calista membimbing putrinya menuju ruang makan. Calista bertanya – tanya di mana ibunya karena yang ada di ruang makan hanya Lenata.
"Mama ke mana Len?"
"Mencari Mama sayang?" Ucap Dreena yang berjalan menuruni tangga. Calista pun langsung berlari memeluk ibunya. Tanpa Calista tahu Dreena langsung menghapus kasar air matanya ketika pelukan terurai.
Merangkum pipi putrinya dengan sayang. "Mama sangat merindukanmu sayang," sembari mengecup lama kening putrinya.
"Calista juga kangen banget sama Mama. Calista minta maaf ya Ma karena tidak pernah berkunjung." Bukan karena tak kangen Mama tapi karena ancaman Jozh dan juga Laurent.
"Apa ini? Mama tak suka lihat putri Mama yang cantik ini matanya jadi bengkak. Nanti ga cantik lagi sayang." Hibur Dreena ketika melihat air mata jatuh membasahi pipi putrinya.
Selama menikmati proses makan siang tidak ada satu pun orang yang berani membuka suara. Memang seperti itulah tradisi keluarga Kafeel, ada waktu tersendiri untuk saling berbincang. Meskipun bergelimang harta akan tetapi Bramantara tetap menerapkan norma sopan santun di dalam keluarganya.
Setelah proses makan siang selesai Calista segera melenggang ke kamarnya dengan di temani Lenata. Meskipun Dreena masih ingin berbincang dengan putri tercinta akan tetapi Bramantara segera mengingatkan bahwa Calista perlu waktu untuk beristirahat.
"Kalau begitu aku akan menyusul ke kamar."
"Ma." Bramantara coba menghentikan. Dreena yang sama sekali tidak tahu apa – apa segera melayangkan tatapan penuh pertanyaan. Sorot mata Bramantara seolah berbicara bahwa nanti pasti akan ku jelaskan.
Sementara di dalam kamar Calista masih saja setia bercengkrama dengan kesedihan mendalam. Lenata pun memilih diam, yang di lakukannya hanya memeluk Calista, mengusap punggung dengan gerakan naik turun coba memberinya rasa damai. Dan tentu saja hal tersebut semakin membuat tangis Calista pecah.
"Ada apa Calista?"
"Papa sudah tahu semuanya Len." Lirih Calista. Ada rasa putus asa dalam nada suaranya.
"Sudah sewajarnya Om Bram tahu."
"Jadi kamu yang memberitahu Papa?" Menghujani Lenata dengan tatapan tajam.
Menghembus nafas berat. "Dengarkan aku Calista. Papa mu ini pengusaha sukses, jaringannya sangat luas. Tidak mungkin Papa mu tak menyelidiki kehidupanmu di London." Calista pun langsung terperenyak mendengarnya.
Berarti selama 3 tahun ini papa tahu semuanya, mengenai perselingkuhan Jozh dan juga anak yang di kandung Lana.
Tangis Calista meledak membayangkan penderitaan papanya selama 3 tahun ini yang menyaksikan kedidupan pernikahannya. Lenata pun coba menenangkan, kembali di rengkuhnya tubuh Calista ke dalam pelukan. Mengusap punggungnya berulang kali coba menyalurkan rasa damai.
Ketika mendengar suara pintu di ketuk, segera menghapus kasar air matanya karena tak ingin kesedihannya ini di ketahui oleh siapa pun.
"Siapa Len?" Belum juga menjawab, Calvino sudah menerobos masuk, menghujani Calista dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Lenata, bisakah keluar sebentar, saya ingin berbicara berdua saja dengan Calista." Pinta Calvino tanpa mengalihkan pandangan dari Calista.
Setelah kepergian Lenata langsung mengunci pintunya, kemudian bergegas menarik tubuh Calista ke dalam pelukan. Menumpahkan segala kerinduan. Dengan tangan gemetar merangkum wajah Calista, menatap intens wajah cantik yang selama 3 tahun ini tak pernah lagi bisa di lihatnya semenjak kepindahannya ke London. Baik Calvino maupun keluarganya di larang berkunjung tanpa seijin Jozh.
"Aku merindukanmu setengah mati kenapa tidak pernah mau berkunjung? Dasar gadis bodoh." Menjitak kepala Calista. "Apa kau tak pernah rindu aku dan juga keluarga ini, hum?" Tak kuasa menjawab, Calista terus saja terisak dalam pelukan Calvino.
Setelah lama saling berpelukan kini Calvino mengurai pelukan lalu mencium kening Calista dengan penuh rasa sayang. "Papa sudah urus semuanya, kamu aman sekarang." Kemudian menggenggam jemari Calista. "Kakak minta maaf sudah mempercayakanmu pada pria brengsek itu. Kakak janji mulai sekarang kakak yang akan menjagamu dari pria manapun. Tak akan kakak biarkan pria manapun mendekatimu lagi Calista."
"Kakak engga salah kenapa harus minta maaf. Dan untuk masalahku, biarkan aku yang menyelesaikannya sendiri."
"Jangan bilang kalau kau masih cinta pria brengsek itu!"
"Bukan itu, tapi-" Aku hamil kak.
"Cukup Calista! Sudah di sakiti masih saja menangisi pria brengsek itu. Lihat dirimu! Apa selemah ini putri Kafeel, hah?"
Entah kenapa seketika bibirnya terasa kelu untuk berucap dan air mata bodoh ini masih saja menetes tanpa bisa di hentikan. Rahang Calvino seketika mengeras, sorot mata berubah gelap dan kedua tangan mengepal. Frustasi, itulah yang di rasakan Calvino mendapati kenyataan bahwa Calista masih saja mencintai pria yang sudah menghancurkan hidupnya.
"Angkat wajahmu dan hapus air mata kamu Calista!" Akan tetapi tubuh Calista makin bergetar karena isak tangis. Calvino pun semakin di buat muak sehingga langsung beranjak dari ranjang. Ketika tangannya terulur menekan handle pintu, lebih dulu melayangkan tatapan pada Calista. Penampilan Calista yang kacau membuat Calvino geram sehingga tanpa sadar meninjukan tangannya ke dinding.
"Kita akan bicara lagi nanti." Sambil membanting pintu di belakangnya.
Calvino memang berwatak keras dan kasar namun dia tidak pernah main - main dengan wanita, mengingat saudara kembarnya juga seorang wanita. Tentu saja ia tak ingin kembarannya di sakiti lelaki lain. Satu hal yang sangat di sesalkan kenapa sampai menyerahkan Calista ke pelukan Jozh. Membiarkan Calista menderita berada di tengah keluarga yang sama sekali tidak menginginkan kehadirannya.
Melihat putra kesayangan menuruni tangga, Dreena bergegas menghampiri. "Mana Calista?"
"Di kamar."
"Kenapa tidak sekalian kamu ajak turun?" Tanpa menjawab langsung melenggang menuju ruang makan. Mendudukkan bokongnya di sebelah Lenata.
Ketika Dreena hendak menyusul Calista ke kamar langsung di hentikan oleh Bramantara. Lalu menyuruh Bi Minah untuk memanggil Calista ke ruang makan.
"Maaf, Tuan, Non Calista sedang tidur."
Kening Dreena langsung berkerut, seolah bertanya – tanya masak iya masih sore sudah tidur. Berbeda dengan Bramantara, Calvino dan juga Lenata yang sama sekali tak terkejut. Di sini hanya Dreena satu – satunya orang yang belum tahu tentang kejadian sebenarnya.