Setelah jam sekolah berakhir, Ana segera bergegas menuju parkiran sekolah untuk mengambil sepedanya. Sepeda Ana berada di tengah-tengah sehingga dia sulit untuk mengambilnya. Jika dia tidak sengaja menyenggol satu sepeda maka beberapa sepeda di sampingnya akan ikut berjatuhan pula. Biasanya Ana akan menunggu parkiran sepi agar mudah mengambil sepedanya.
Kali ini Ana ingin segera menjenguk Zea di rumah sakit. Sekarang sudah pukul 2 siang, Pak Riziq telah menemani Zea kurang lebih 10 jam. Belum lagi Ana harus mengayuh sepeda sampai rumah kemudian menyiapkan beberapa pakaian ganti untuk digunakan selama menjaga Zea di rumah sakit. Kasihan Pak Rizqi sudah terlalu lama menjaga Zea di sana.
"Aduh gimana ini? kok nggak ada kelas lain yang ke parkiran ya? apa kelas aku yang pertama keluar?" batin Ana bertanya-tanya. Dia mengedarkan pandangan untuk mencari bantuan.
Mengeluarkan ataupun meminggirkan sepeda sendirian rasanya tidak mungkin bisa Ana lakukan karena terlalu banyak memakan waktu. Ketika melihat di pojok kantin, Ana melihat Doni salah satu teman kelasnya sedang makan di sana. Kebetulan parkiran sekolah bersebelahan dengan kantin.
Ana memutuskan mendekati Doni untuk meminta pertolongan. "Hai, Don! boleh aku minta tolong? nggak berhubungan dengan mikir kok, tapi pakai tenaga saja, hehehehe."
Sebagai teman yang baik, Ana cukup paham tentang sifat dan sikap temannya. Dia harus bisa menyesuaikan sifat temannya agar tidak menyinggung perasaannya. Ana duduk di depan Doni duduk.
"Minta tolong apa?" tanya Doni sambil menyantap makanan.
"Tolong ambilkan sepeda ku."
"Loh, ambil sendiri nggak bisa?"
"Bukannya nggak bisa, sepeda ku berada di tengah-tengah, hari ini aku harus menemani kakak aku di rumah sakit."
"Kenapa tidak kakak mu sendiri yang ke sana? bukannya kakak kamu itu wanita strong ya?"
Ana hanya bisa tersenyum kecut. Awalnya Ana juga mengira bahwa Zea adalah wanita yang kuat pantang rapuh. Pada kenyataannya sekarang Zea tidak berdaya. Ternyata apa yang sering orang katakan itu benar, orang lain akan menilai seseorang dari covernya terlebih dahulu tanpa menyelidiki bagaimana isinya.
Mungkin orang lain juga sama halnya seperti dirinya ketika mengenal Zea. Sebagai adik saja Ana baru mengetahui beberapa rahasia Zea, bagaimana dengan orang lain? apakah mereka juga tertipu oleh sandiwara Zea? entahlah, Ana tidak suka memikirkan urusan orang lain. Jangankan mengurus ataupun ikut campur masalah orang lain, hidupnya saja banyak mengalami masalah dalam keluarganya.
Doni sedikit tahu tentang Zea karena pernah kerja kelompok di rumah Ana. Saat itu Zea sedang pulang sekolah sambil membawa medali. Pada saat itu juga Doni sangat ngefans kepada Zea. Berbagai medsos Zea telah Doni ikuti. Menurutnya, cewek tomboi itu lebih tahan banting dari pada cewek tulen.
"Dia lagi dirawat di rumah sakit, Don. Sampai sekarang dia belum sadarkan diri."
Doni berhenti menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kabar dari Ana membuatnya sedikit merasa terkejut. "Kak Zea lagi sakit? sakit apa? aku jadi ingin jenguk."
"Aku kurang tahu, Don. Tolongin aku ya, Don."
"Ayo!" ajak Doni menarik tangan kanan Ana.
Betapa senangnya hati Ana ketika ada seseorang yang mau membantunya. Ana sangat bersyukur masih dikelilingi orang-orang baik. Mereka selalu mau menolong Ana dengan ikhlas dan tanpa diminta.
Ketika sampai di parkiran, Doni melepaskan genggaman tangannya. Dia langsung meminggirkan satu persatu sepeda dengan telaten. Tak membutuhkan banyak waktu, sepeda Ana berhasil keluar dari parkiran. Tenaga wanita dan pria memang berbeda. Kalau masalah angkat mengangkat ataupun hal-hal yang berhubungan dengan otot, pria pasti nomor satu.
Ana tersenyum kepada Doni. Berkat Doni, dirinya bisa keluar dengan cepat. Sejak dulu Doni memang teman terbaiknya. Setiap Ana meminta tolong, Doni selalu sigap menolongnya, kecuali dalam bidang akademik. Doni tidak suka hal-hal yang terlalu berhubungan dengan pikiran karena bisa membuatnya cepat bosan dan pusing. Sejak dulu dia sering mengatakan bahwa orang yang suka mikir akan cepat tua. Entahlah dia mendapat teori seperti itu dari siapa.
"Terimakasih, Don. Aku pulang dulu ya," pamit Ana.
Baru satu kali kayuh, sepedanya diberhentikan oleh Doni. "Tunggu!"
"Ada apa, Don?"
"Aku ikut ya," pinta Doni.
Sejenak Ana berpikir, bukannya Ana tidak mau mengajak Doni. Hanya saja waktunya kurang pas. Hari ini Ana sangat buru-buru karena mengejar waktu agar cepat sampai di rumah sakit.
Jika Doni mau ikut, sama halnya Ana juga harus menunggu kedatangan Doni di rumahnya. Permasalahannya, jarak rumah Doni ke rumah Ana itu cukup jauh. Ana tidak mungkin membuang-buang waktu hanya untuk menunggu saja.
"Lain waktu saja gimana, Don? aku sudah buru-buru nih. Maaf, bukannya aku menolak, cuma ya gimana ya, Kak Zea di rumah sakit sama tetangga aku dari pagi, kasihan dia. Lagi pula di rumah sakit itu kan ada waktu jam besuknya tersendiri," tolak Ana dengan halus.
Ana sangat merasa tidak enak hati ketika raut wajah Doni berubah. Sepertinya dia merasa kecewa karena tidak diajak Ana. Namun, pada kenyataannya memang waktunya juga susah.
"Ya sudah kalau seperti itu, kamu hati-hati di jalan ya."
"Iya, Don. Aku pulang dulu, sampai ketemu besok."
"Iya, Ana."
Sekuat tenaga Ana mengayuh sepeda agar cepat sampai di rumah. Wajahnya dibanjiri oleh peluh karena cuaca pada siang ini cukup terasa panas. Setiap kayuhan sepeda selalu mengingatkannya kepada sosok Zea. Sejak tadi pagi pikiran Ana terasa kacau memikirkan masalah-masalah yang terjadi pada keluarganya. Akhir-akhir ini tiada henti masalah yang terjadi. Dalam perjalanan pun Ana kebanyakan melamun, padahal itu bisa membahayakan dirinya sendiri.
Tanpa terasa Ana sudah sampai di depan rumah. Napasnya terengah-engah karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Dia masih setia duduk di atas sepeda untuk mengontrol napasnya.
"Capek banget, huh," keluhnya sambil menyeka keringatnya.
Setelah cukup normal, Ana turun dari sadel sepeda kemudian mencagak sepedanya menggunakan standar sepeda. Dia langsung masuk ke dalam rumah dan menuju ke kamar. Ada tiga baju yang akan Ana bawa untuk baju ganti di rumah sakit, tak lupa pula peralatan mandi sekalian.
Sudah beres semua, sekarang tinggal Ana ganti baju. Dia memakai baju model temi membuatnya terlihat mungil karena tubuhnya kecil. Dia mengikat rambutnya agar tidak meresahkan ketika diperjalanan nanti karena adanya angin yang mampu membuat rambutnya berantakan.
"Sudah selesai, nggak sabar ingin ketemu Kak Zea," ujarnya ketika berada di depan kaca.
Ana membawa baju gantinya menggunakan totebag warna hitam. Tadinya mau menggunakan tas gendong, tapi tas gendongnya hanya ada satu saja. Akhirnya mau tidak mau Ana harus pakai totebag.
Setelah beres, Ana langsung keluar rumah untuk menuju ke pangakalan ojek dekat rumahnya. Dia memang tidak makan siang di rumah, dia akan makan siang di rumah sakit nanti.
Langkah kakinya terhenti ketika ada suara yang memanggil namanya. "Ana!"