Zafran dan Adit terkejut. Tatapan tajam Bu Tia sudah menjadi ciri khas ketika akan mengejar. Ketika Bu Tia mendekati Zafran dan Adit, tubuh mereka berdua terasa kaku. Mereka berdua yakin bahwa ini adalah waktu sial untuknya.
Selain terkenal killer, Bu Tia terkenal sebagai guru bijaksana dalam menyelesaikan suatu masalah ataupun kesalahan yang dibuat oleh muridnya sendiri. Dia tidak akan membeda-bedakan mana yang pintar dan mana yang bodoh. Baginya, setiap anak itu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing pada tingkat pola pikirnya, hanya saja anak tersebut mau belajar atau tidak. Seseorang bisa pintar ketika dirinya mau belajar untuk menjadi lebih baik.
Jika seseorang ingin mendapatkan nilai bagus, maka harus belajar. Jika ingin ilmunya bermanfaat, maka berbagilah ilmu kepada orang lain dengan cara mengajarkan materi-materi yang orang lain belum bisa. Semua butuh proses bukan hanya instan saja.
"Di antara kalian berdua, siapa yang mencontek hah?" tanya Bu Tia membuat mereka berdua terkejut lagi. Suara Bu Tia memang cempreng dan akan terdengar mengerikan jika sedang memarahi muridnya.
Walaupun Bu Tia killer, dia tidak pernah memarahi muridnya sampai dengan menggunakan kekerasan. Menurutnya lebih baik menghukum anak dengan yang memberikan manfaat bagi banyak orang, misalnya dengan cara memberi hukuman membersihkan kamar mandi. Selain terhindar dari penyakit, kebersihan tempat memang membuat pengguna terasa nyaman.
"Dia, Bu," jawab mereka berdua saling menuduh.
Tidak terima dengan tuduhan Zafran, akhirnya Adit menginjak kaki Zafran karena merasa kesal. Mengakui kesalahan saja apa susahnya sih? pantas saja Zea tidak betah dengan sikap Zafran. Tidak ngotak sekali dia, dasar cupu.
"Siapa yang mencontek hah?!" tanya Bu Tia sudah di atas kesabaran.
Zafran dan Adit hanya diam menundukkan kepala takut. Mendengar suaranya saja cukup membuat jantungnya berdebar, apalagi jika melihat wajahnya. Tangan Bu Tia terulur mengambil kedua buku di atas meja. Dia melihat nama pemilik buku tersebut kemudian melihat isinya.
Sontak Zafran dan Adit saling lirik. Mereka berdua tidak saling memancarkan aura kemarahan, hanya saja mereka takut teman-temanya takut kena imbasnya, padahal kesalahan tersebut hanya dilakukan oleh dua orang. Walaupun mereka terlihat menyebalkan, mereka akan lebih mengutamakan kepentingan kelompok dari pada pribadi.
Sebagai pribadi yang bijaksana, Zafran tidak akan bersembunyi dari kesalahannya. Dia tahu jika dirinya ataupun Adit berbohong maka Bu Tia akan memberikan hukuman lebih. Kalaupun hanya dirinya dan Adit yang dihukum tidak masalah, tapi bagaimana jika teman-temannya juga ikut di hukum? cukup satu orang saja yang dia kecewakan, jangan ada orang lain yang ikut kecewa karena dirinya menjadi seorang pecundang. Zafran tidak akan membiarkan hal itu benar-benar terjadi. Akhirnya dia langsung membuka kebenaran sebelum Bu Tia tambah marah.
"Sebelumnya saya mau minta maaf, Bu. Saya salah karena saya benar-benar lupa tidak mengerjakan PR. Saya yang mencontek hasil pekerjaan Adit. Sebelumnya Adit akan mengajari saya bagaimana cara mengerjakannya, tapi saya menolaknya karena waktunya tinggal sepuluh menit. Kalau Ibu mau menghukum, hukum saja saya karena saya yang salah tidak menggunakan aturan ibu pada saat minta bantu mengerjakan tugas sama teman," jelas Zafran.
Bukan Adit saja yang terkejut, melainkan teman-teman satu kelasnya. Setegas dan sebijak itukah Zafran mengambil keputusan. Tidak biasanya Zafran mau berbuat seperti itu. Apalagi ini melibatkan banyak orang. Seakan dirinya adalah pahlawan teman-temannya walaupun dirinya lah yang berbuat kesalahan tersebut.
"Apa kamu yakin itu Zafran?" tanya Bu Tia. Bukannya mau membela, ini kali pertama dia menghadapi murid yang mau mengakui dan berani mempertanggung jawabkan atas kesalahan yang telah diperbuat.
Selain tertegun karena pengakuan Zafran, Bu Tia masih agak tidak percaya bahwa Zafran adalah pelaku dari semua perbuatan ini. Bu Tia sangat mengenal bagaimana sifat Zafran dalam kegiatan belajar mengajar pada mapel matematika. Selain cerdas, Zafran merupakan salah satu siswa yang aktif juga.
"Saya yakin, Bu. Saya yang telah melakukan kesalahan karena melanggar aturan. Kalau Ibu mau menghukum, hukum saya, Bu. Saya mohon jangan biarkan teman-teman saya kena imbasnya karena hari ini ibu tidak akan mengajar kelas. Saya mohon Ibu tetap mengajar kelas ini di pagi ini," pinta Zafran.
Mau tidak percaya bagaimana pun kalau salah tetap salah. Sebagai guru, Bu Tia harus bersikap adil tanpa pandang bulu mata. Walaupun Zafran murid kebanggaannya, jika salah ya memang tetap salah. Kesalahan itu tidak boleh ditutup-tutupi justru harus diakui dan diakhiri dengan permintaan maaf. Bu Tia akui bahwa Zafran terlihat gantelman. Jarang ada lelaki yang mau mengakui dengan tegas, sedangkan pada kenyataannya jika ada siswa yang tidak mengerjakan PR maka dia tidak akan mengakui kesalahannya dan justru malah mencari banyak alasan. Bu Tia sangat bangga atas keberanian Zafran.
"Kalau seperti itu, kamu harus menerima hukuman," kata Bu Tia sambil menatap Zafran tajam.
"Saya yakin dan siap menerima hukuman. Jadi, Sekarang hukumannya apa?"
Ternyata benar, Zafran mau menerima hukuman itu sendirian tanpa melibatkan orang lain. Bu Tia menghela napas, ada sedikit rasa kecewa dan ada sedikit rasa bangga di hatinya. Kecewa karena murid kebanggaannya tidak lagi disiplin dan telah melanggar aturannya. Namun, dia bangga karena Zafran mau mengakui kesalahannya dan mau menanggung resikonya sendirian.
Sebenarnya Bu Tia tidak ingin menghukum Zafran sebagai hadiah atas rasa bangganya kepada Zafran. Sayangnya hal tersebut tidak bisa dia lakukan, mau bagaimana pun Zafran tetap salah. Bu Tia tidak ingin dirinya dicap sebagai guru pilihan kasih.
"Baik, hukuman kamu membersihkan kamar mandi pria. Harus sampai bersih, pada jam kedua ibu harap kamu sudah selesai dan mengikuti pelajaran matematika. Ibu tidak mau mendengarkan alasan-alasan lagi," perintah Bu Tia.
Kurang lebih 10 tahun Bu Tia mengajar dan dia sudah hafal berbagai macam sifat murid. Terkadang ada yang diberi hukuman justru malah senang karena tidak ikut pelajaran dan merasa dirinya hebat. Hal yang paling sering terjadi ketika mereka tidak mengerjakan tugas dan berbagai alasan mereka berikan.
"Siap, Bu. Boleh saya keluar sekarang?" tanya Zafran.
"Sebentar, Ibu mau berbicara dulu."
"Oh, baik Bu."
Kedua mata Bu Tia menyapu lingkungan kelas dari pojok kanan dan sampai pojok kiri. Jika pandangan mata Bu Tia seperti itu maka pertanda ada hal buruk yang akan terjadi. Termasuk Adit, sekarang dia masih saja deg-degan dan gelisah. Raut wajahnya sangat tegang dan keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.
Bu Tia berjalan menuju meja guru. Adit sedikit merasa lega dan akhirnya dia bisa bernapas bebas. Hari ini rasanya seperti hari uji nyali untuk Adit.
Setelah meletakkan buku-buku untuk bahan mengajar, Bu Tia melangkah kaki menuju ke arah tempat duduk murid yang berada di tengah. Posisi seperti ini membuat Adit merasa tidak nyaman. Firasat buruk terus menghantui pikirannya.
"Sudah pernah ibu katakan, jangan pernah memberi contekan kepada orang lain. Ajari mereka, bukan conteki mereka. Seperti biasa, Ibu akan memberikan hukuman kepada orang yang hanya memberi jawaban kepada orang lain, yaitu mengetes langsung anak tersebut dengan cara mengerjakan soal yang ibu berikan langsung di papan tulis," ujar Bu Tia.
"Mampus!" maki Adit di dalam hati.