Adit kira Bu Tia tidak akan memberikan pertanyaan karena permintaan Zafran. Pada kenyataannya hal tersebut hanya harapan semata. Hari ini adalah tersial bagi Adit, jika tahu akan berakibat seperti ini, dia tidak akan membahas masalah pekerjaan rumah yang diberikan Bu Tia.
Kedua telapak tangan Adit basah dan beberapa jarinya ada yang bergetar. Sesekali dia melirik Zafran untuk meminta pertolongan. Namun, Zafran adalah seorang lelaki yang memiliki kadar kepekaannya sangat rendah. Jangankan diberi kode, ngomong secara langsung saja terkadang tidak peka.
"Jadi, apa benar kamu yang memberi jawaban ke Zafran?" tanya Bu Tia mendekati Adit.
Kalau saja Adit memiliki kekuatan ajaib, saat sekarang juga Adit akan menggunakan kekuatan ajaibnya untuk menghilang agar tidak merasa berdebar karena ketakutan. Masih mending berdebar karena melihat seseorang yang dicintainya daripada berdebar karena keadaan darurat, yaitu darurat tidak tahu siapa yang akan membantu dirinya ketika dites langsung di depan kelas. Hanya Zafran yang berani mengkode teman dalam mengerjakan soal matematika di papan tulis.
Dalam satu kelas yang mampu menguasai mata pelajaran matematika hanya Zafran. Oleh Sebab itu, dia tidak takut ketika dirinya ketahuan oleh Bu Tia saat memberi kode kepada temannya. Soal-soal yang diberikan Bu Tia tidak sebanding ketika Zafran belajar les ketika SMP dulu. Walaupun masih SMP, Zafran sudah diberikan materi-materi SMA dan terkadang dia meminta kakak kelas les yang sudah SMA untuk mengajarinya.
Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Misalnya Zafran, dia pandai dalam bidang akademik, tetapi dia tidak pandai dalam bidang non-akademik. Dari kecil Zafran tidak pernah diajari untuk membalas kesalahan orang dengan cara kekerasan, dia selalu diajarkan untuk bisa mengalah. Sampai pada akhirnya dia sering diejek teman-temannya karena tidak ahli dalam masalah bogeman. Bukannya bencong, Zafran hanya menjalankan perintah kedua orang tuanya.
Adit menarik napas kemudian menghembuskannya secara perlahan agar terasa sedikit tenang. "Hm, iya Bu, saya yang ngasih jawaban buat Zafran."
"Berarti kamu sudah tahu hadiahnya kan?"
"Tahu, Bu."
"Kalau seperti itu, saya beri kamu waktu lima menit untuk belajar. Setelah itu, kamu langsung maju ke depan buat mengerjakan soal dan kamu Zafran, silahkan keluar dari kelas, kerjakan apa yang tadi saya perintahkan. Kalau sampai masuknya telat, Ibu akan beri hukuman tambahan buat kamu."
"Iya, Bu. Saya izin mau keluar sekarang ya," pamit Zafran.
"Ya."
Pada saat Zafran akan bangkit dari tempat duduknya, kaki Adit menyenggol kaki Zafran sehingga membuatnya meringis. Wajah Adit nampak gelisah karena takut hal buruk akan terjadi kepada dirinya setelah dites langsung oleh Diana.
Tanpa Adit berbicara pun Zafran sudah tahu maksudnya. Adit terlihat seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal oleh ibunya. Apalagi wajahnya memasang ekspresi penuh harapan.
Bukannya sedih ataupun merasa kasihan kepada Adit, justru Zafran sangat senang melihat temannya terlihat lemah karena pelajaran matematika saja. Bayangkan saja, si penebar pesona nyalinya langsung ciut ketika akan menghadapi soal matematika.
Zafran segera pergi dari kelas sebelum Bu Tia marah kepadanya. Sontak kedua mata Adit langsung melebar. Dia tidak menyangka bahwa Zafran akan setega itu kepada dirinya.
"Apakah kamu sudah siap Adit?" tanya Bu Tia membuat Adit terkejut.
Gila sih, baca buku saja belum sama sekali. Ada hal kejutan apalagi setelah ini? Adit hanya bisa pasrah. Hari ini namanya akan tercemar dihadapan wanita yang ada di sekolah, khususnya wanita yang pernah dia goda. Dia merutukki dirinya sendiri mengapa saat les matematika tidak pernah serius? apa karena dirinya selalu mengandalkan Zafran karena merasa teman dekatnya? Zafran memang pintar dan dia tidak pelit ilmu kepada orang lain. Ah, sudahlah nasi menjadi bubur, Adit tidak banyak berharap ada kebaikan setelah ini selama pembelajaran matematika berlangsung. Lebih baik dirinya menguatkan mental untuk menghadapi kejutan setelah ini.
"Sudah, Bu," jawab Adit pasrah.
Bu Tia menuliskan soal di papan tulis. Jantung Adit berdetak lebih cepat dari biasanya. Soal tersebut mencari y, gila sih kenapa matematika sering mencari x dan y? kedua huruf tersebut selalu bikin repot karena suka menghilang dan membuat para pelajar jadi pusing. Mending kalau bisa dicari di kolong jembatan ataupun tempat lain, lah ini dia suka menyusahkan, harus dicari dengan rumus. Susah dimengerti sekali permintaannya.
"Sekarang maju, Dit!" perintah Bu Tia memberikan spidol kepada Adit.
Sumpah melihat x dan y di papan tulis membuat Adit tak mengerti lagi apa maunya mereka. Kenapa salah satu dari mereka suka ada yang menghilang? melihat soal saja Adit tidak paham apa maksudnya, apalagi disuruh mengerjakannya. Soal di depannya ini membuatnya ambigu.
Ketika Adit menghadap ke arah teman-temannya, tidak ada tanda-tanda satu pun dari mereka yang akan memberi kode jawaban. Namun, di bangku sebelah kiri nomor tiga, ada seorang yang senyum-senyum menahan tawa. Dia adalah Sintia, gadis paling menyebalkan menurut Adit.
Ketika Adit ada masalah, Sintia selalu menertawakannya. Jarang sekali Sintia mau membantu. Dia akan membantu jika ada temannya yang jatuh ataupun terkena apapun yang mengakibatkan luka serius. Itu pun harus tertawa dulu baru menolong. Memang realita itu tidak seindah ekspektasi. Makanya jangan terlalu banyak berharap kebaikan dari orang lain.
Bu Tia memandangi Adit heran. "Kenapa tidak bisa mengerjakan, Dit? bukankah kamu yang ngasih contekan?"
Adit hanya diam tidak berani menjawab. Dia hanya memandangi soal di papan tulis dengan sangat kesal. Gara-gara x dan y, dirinya lah yang terkena imbasnya.
"Kamu nggak bisa mengerjakannya?" tanya Bu Tia membuat Adit manggut-manggut.
Percuma saja ketika memberikan keterangan palsu kepada Bu Tia. Entahlah mungkin Bu Tia memiliki IQ tinggi sehingga berapa persoalan dia cukup paham bagaimana mengetahui gelagat orang lain. Lebih baik dia kena omel saja daripada harus menanggung hukuman pakai tenaga karena ketahuan berbohong, hukuman seperti Zafran saat ini misal.
"Kamu ini!" ujar Bu Tia menggelengkan kepala. "Semuanya dengarkan! sudah pernah Ibu katakan, kalian boleh memberi jawaban tugas kalian kepada orang lain dengan catatan setelah teman kalian mengerjakan soalnya dulu. Memberikan jawaban kepada teman secara cuma-cuma membuat teman kalian bodoh. Kenapa? karena dengan memberi jawaban saja membuat otak teman kalian tumpul karena jarang digunakan untuk berpikir."
Tidak ada satupun dari mereka yang memegang alat tulis. Beberapa dari mereka ada yang menunjukkan kepala, ada juga yang menatap Bu Tia. Mereka benar-benar Mendengar nasihat Bu Tia.
"Ibu tidak mau melihat kalian membuat bodoh teman-teman kalian. Jika menyuruh teman kalian mengerjakan terlebih dahulu terlalu susah, kalian masih bisa belajar bareng-bareng atau bisa tutur sebaya, paham?"
"Paham, Bu!" jawab anak kelas IPS 1.
"Sintia jawab pertanyaan ini karena sejak tadi kamu cengengesan!" perintah Bu Tia.
Tanpa banyak waktu soal tersebut langsung selesai di jawab Sintia. "Sudah selesai, Bu."
Bu Tia mengoreksi jawaban Sintia. "Ya, sudah benar, silahkan kamu boleh duduk!"
Sebelum duduk Sintia mengejek Adit terlebih dahulu dengan senyum songongnya. Jika tidak ada Bu Tia, tangan Adit langsung menjitak kepala Sintia. Wajah dia terlihat begitu menyebalkan.
"Kesalahannya kamu hari ini telah membuat teman kamu malas berpikir dan sekarang Ibu punya hukuman buat kamu Adit, hukumannya kamu harus membersihkan lapangan selama sepuluh menit. Ambil sampah-sampah yang berserakan, baik sampah organik maupun non-organik, dan cabuti rumput yang telah tumbuh panjang!"
"What?! orang ganteng idaman cewek disuruh memungut sampah?" batin Adit tidak percaya atas hukuman yang diberikan Bu Tia.