Tak lama kemudian, dua penjaga pun membukakan gerbang dari luar. Tapi Ginnan ditanyai lebih dulu sebelum dipersilahkan masuk.
"Aku ingin bicara kepadanya," kata Ginnan. "Untuk identitasku... bilang saja Ginnan pacarnya Yuki. Dia pasti langsung paham."
"Baik."
Tak ada sepuluh menit, Ginnan sudah berada di dalam rumah itu. Dan parahnya dia sampai berjinjit tanpa sadar saking jernihnya pernisan kayu lantai yang dipakai. Apalagi suasana sangat sepi, padahal ada puluhan pelayan yang berjejer rapi di dinding-dindingnya. Mereka berseragam. Membuat Ginnan menyimpulkan bahwa Aoki memang bukan sosok sembarangan.
"Dia dimana." tanya Ginnan begitu sampai di bagian paling ujung.
Seorang pria paruh baya yang terlihat menjabat sebagai koordinator pun mendekat. "Tuan muda baru saja pulang," katanya. "Jadi beliau sedang istirahat."
"Oh... Tapi aku sudah disini," desah Ginnan. "Kenapa diizinkan masuk kalau memang tak bisa bertemu dengannya."
"Maaf..."
"Apa ada orang lain lagi?" tanya Ginnan. "Mungkin ayah atau ibunya. Nanti biar disampaikan secara baik-baik."
Mendengar ucapan Ginnan, pria itu justru memberi hormat. "Maaf, Tuan..." katanya lamat-lamat. "Tapi Tuan Muda tinggal sendiri."
DEG
"Apa?"
"Seperti yang Anda dengar..."
Ginnan mengepalkan tangan tanpa sadar. "Tidak mungkin..."
"Sekali lagi maaf, Tuan. Saya mewakili seluruh pelayan disini. Kami tak ada maksud berbohong..."
Ginnan diam lagi. "Kejanggalan yang lain..." batinnya ketar-ketir. Semakin cemas, semakin besar pula rasa penasarannya.
"Kalau begitu, katakan biasanya dia bisa ditemui kapan," kata Ginnan. "Pagi, siang, sore—"
"Kau sedang apa disana," sela sebuah suara dari ujung lorong. Menoleh, Ginnan benar-benar menemukan wajah Aoki Ken ada disana. Lelaki muda itu belum berganti pakaian, dan dia tampak sangat-sangat kelelahan. "Ikut denganku kalau memang ada urusan."
Aoki berlalu ke sebuah ruangan, dan Ginnan segera mengikutinya. Para pelayan sendiri langsung mundur sebagai formalitas penghormatan. Tak terkecuali pria paruh baya yang awalnya ingin menahan Ginnan.
Langkah-langkah Aoki membawa Ginnan ke anak tangga menuju ke lantai dua. Mereka berjalan di lorong yang sangat luas dan tinggi. Sepanjang perjalanan ada lebih banyak ruang dengan desain pintu-pintu yang serupa. Bedanya, semakin masuk ke dalam, Ginnan melihat lukisan yang dipajang semakin banyak dan beragam. Style goresan per-frame-nya unik. Dan Ginnan yakin harga semua lukisan itu sangat mahal.
"Masuk," kata Aoki. Begitu sampai di pintu terujung. Dia nyaris memutar kenop pintu itu kalau Ginnan langsung mengikuti. "Kau sedang apa lagi di sana."
"Aku?"
Ginnan tersenyum salah tingkah. Sebab dia justru berdiri terpaku sekitar lima meter dari Aoki hanya karena terpaku ke satu lukisan.
Lukisan itu berjudul 'Cinta 34'. Sesuai nomornya, itu adalah lukisan ke 34 yang dipajang disana. Gambarnya tentang pasangan lesbian yang sedang bercinta. Mereka berada di puncak penetrasi namun menjadi sangat artistik karena semua diliputi warna emas. Seolah-olah perasaan mereka lebih berharga dari citraan emas itu sendiri. Cinta yang langka, dan keduanya membara dengan cara tersendiri.
"Jadi bicara atau tidak?"
"Ya, tentu," kata Ginnan. Tapi tak beranjak dari sana. "Tapi apa aku boleh bertanya? Kau dapat lukisan-lukisan ini dari mana? Pelelangan?"
Aoki menghela nafas panjang. "Semua yang terpajang lukisanku"
DEG
"Apa?"
"Tidak perlu percaya," kata Aoki. "Anggap saja omong kosong. Tapi di dalam aku memiliki lebih banyak koleksi."
Ginnan terpaku di tempat seperti patung hiasan seketika.
"Ikut saja jika masih ingin melihat-lihat," kata Aoki. "Bagiku galeri adalah tempat ternyaman di rumah ini."
Mau tak mau, Ginnan pun segera ikut lagi. "Oh... baiklah..."
Di dalam bagi Aoki tempat itu adalah yang ternyaman. Sayang Ginnan merasakan perbedaan. Tempat itu agak berantakan karena pemiliknya memang seorang seniman.
Tunggu. Bukankah Yuki bilang Aoki bukan tipe yang suka memamerkan karya-karyanya? Lalu sekarang? Lelaki muda itu bahkan memiliki banyak penghargaan yang dipajang dalam sebuah rak besar dengan nama maestro samaran.
Vincent La Guillera.
Kebanyakan penghargaan itu diperoleh dari luar negeri sampai Ginnan terpaku pada lukisan-lukisan yang belum jadi sekalipun. Di dalam sana ada beberapa yang masih berserakan. Cat-cat mengering di dalam palet dan kanvas kosong berbagai ukuran disandarkan di dinding.
"Duduk dimana saja senyamanmu," kata Aoki. "Dan katakan inti kau mau kesini."
Lelaki muda itu menyilangkan tangan di depan sebuah kanvas seukuran dua kali lipat papan tulis. Benda itu berdiri megah. Kain putih menutupi gambar di baliknya dan membuat Ginnan penasaran.
"Aku..." gumam Ginnan. Dia justru bingung mau apa sampai sini. Dia hanya duduk di kursi kecil, menghadap Aoki, dan tak tahan untuk mengedarkan pandangan ke sekitar lagi. "Semua ini benar-benar karyamu..." katanya tak menyangka. "Padahal Yuki bilang style gambarmu adalah realis."
"Dia tidak sepenuhnya salah," kata Aoki. "Realis adalah style yang baru-baru ini kuasah..."
"Apa?"
"Aku lebih suka surrealis, futuristis, dan hiperrealis..."
"Aaa..."
Ginnan mengangguk-angguk sok paham. Kali ini dia menatap satu lukisan yang memperlihatkan interaksi bocah 6 tahun yang mencium pipi ibunya. "Jadi, semua judul karyamu adalah Cinta," katanya. "Cinta saudara, cinta keluarga, cinta musuh, cinta alam, cinta berhasrat, cinta sesama jenis—ehem... pokoknya semua luar biasa."
"Aku tak butuh sanjunganmu," kata Aoki. "Katakan saja tujuanmu kesini. Aku tidak punya banyak waktu."
"Tidak bisa," kata Ginnan. "Kau terlalu janggal untuk tidak menarik buatku. Jadi, bisa kita mengobrol lebih banyak? Toh Yuki bilang kau pernah ingin berkenalan denganku."
Aoki mendengus. "Setelah mengobrol lalu apa?" katanya retoris. "Rasa ingin tahumu terpuaskan, setelah itu pergi begitu saja?"
Diakui tak diakui, kenyataannya memang seperti itu. Jadi Ginnan diam.
"Kau tahu? Sifatmu yang seperti itu akan mengganggu ketenangan orang lain," kata Aoki frontal. "Kita bahkan baru bertemu dua hari, tapi kau berani datang ke rumahku dengan alasan tidak jelas."
"Bukan tidak jelas," sangkal Ginnan. "Aku benar-benar ingin meminta maaf soal kelakuan pacarku. Kau tahu? Aku juga tidak bermaksud mengganggumu. Hanya saja, kalau sikapmu masih seacuh itu... apa aku pantas tak peduli? Justru keterlaluan kalau sampai kulakukan."
Aoki pun bertepuk tangan meski terlihat tidak minat. "Hmph... jadi kau berlaku sebagai pacar idaman, hm?" katanya. "Betapa mengesankan..."
"Apa itu aneh?"
"Lupakan," kata Aoki. "Sekarang begini saja. Tujuanmu minta maaf lebih serius, kan? Kalau begitu sudah kumaafkan. Jadi kau bisa pulang sekarang juga."
"Apa?"
"Aku masih punya banyak pekerjaan," kata Aoki. Lantas menunjukkan Ginnan pintu keluarnya seperti gaya butler hotel. "Keluar..."
Bukannya keluar, Ginnan justru menatap sosok Aoki dari atas ke bawah. Dilihat-lihat, lelaki muda itu ternyata cukup tampan. Tubuhnya mungkin kurus, tapi dadanya yang bidang dan fitur wajahnya yang tegas membuat Ginnan merasa ciut seketika.
"Kau bohong soal segalanya," kata Ginnan. "Sebenarnya kau pelukis hebat kan. Perilakumu juga tidak seramah di depan Yuki dan yang lain.."
Aoki diam. Membuat Ginnan semakin berani mengungkapkan isi pikirannya. Dia berdiri dan perlahan menghampiri lelaki muda itu. "Sebenarnya aku tak peduli kau punya kepribadian ganda atau bagaimana, tapi jujur ini menggangguku. Kau tahu kenapa? Perlakuanmu ke aku beda, padahal aku tak ingat punya kesalahan apa-apa kepadamu. Jadi, bisa jelaskan?"
Di ruangan itu, mereka berdiri berhadapan.
"Hmph..."
Aoki menyeringai, Ginnan semakin tak mengerti. Tapi bagaimana pun juga, dia sudah bertekad mendengar jawaban Aoki kali ini. Jadi apapun yang dilakukan lelaki itu, dia akan meladeni. Mulai ditatap dari mata ke mata... Ginnan mengikuti tiap pergerakan bola matanya. Dia bahkan menahan diri untuk tak bernafas beberapa saat hingga Aoki mendengus dan berbalik memunggunginya. Tertawa menghina.
"Hahaha... menggelikan..."
Seketika Ginnan panas. "Apanya yang menggelikan?"
Tak peduli, Aoki menutup mulut balik punggung itu. Suara tawanya jadi berubah sangat-sangat menjengkelkan.
"Ekspresimu, memang apalagi?" kata Aoki tanpa menoleh.
"Memang kenapa dengan ekspresiku?"
"Harusnya kau bawa cermin..."
Tak tahan lagi, Ginnan pun berdecak sebal. "Boleh aku menggamparmu?"
"Apa? Menggamparku?"
Kali ini Aoki baru berbalik.
"Ya," jawab Ginnan tegas. "Jangan kira ini rumahmu, dengan puluhan pelayanmu di luar sana, aku tak berani melakukannya?"
"Memang kau bisa bela diri?"
"Kau menghinaku?"
"Ya."
Gantian Aoki yang menjawab tegas kali ini. Lelaki muda itu bahkan maju perlahan sampai Ginnan mundur-mudur tanpa sadar.
Seketika, Ginnan pun tergagap. "A-Asal kau tahu, ya... aku memang tidak bisa bela diri. Tapi kalau untuk mengurus bocah sepertimu saja, aku masih bisa menangani."
"Benarkah?"
Wajah Aoki mendekat. Ginnan pun menjauh sampai dia tak sadar sudah diintimidasi ke arah mana.
"Jadi bagimu aku bocah?"
BRAKH!
.
.
.
NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.