Chereads / The Seven Wolves: The Collateral / Chapter 51 - Teasing You

Chapter 51 - Teasing You

Sudah lebih dari 20 menit James mengetuk-ngetuk ujung pensilnya pada kertas design mesin yang sedang ia rancang. Pekerjaan itu harusnya sudah selesai kemarin tapi sampai sekarang baru selesai 20 persen. Grey masuk kembali ke ruang kerja James hendak meminta salinan design mesin yang akan diproduksi. Tapi ia terpaku dan heran melihat James termenung sambil mengetukkan ujung pensilnya ke atas kertas.

"Tuan..." James masih belum sadar. Ia masih melamun.

"TUAN..." Grey memanggil lebih keras dan James baru sadar.

"Uh, ada apa, Grey?" Grey mengernyitkan kening.

"Designnya? Para teknisi memintanya!"

"Design apa?" Grey menghela napas.

"Yang sedang di tanganmu, Tuan. Apa sudah selesai?" James nampak bingung lalu menunduk dan melihat kertas yang tengah ia kerjakan tapi tak kunjung selesai.

"Oh... belum, belum selesai." James mengambil kertas itu lalu memberikannya pada Grey. Sedangkan James menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan kepala sedikit menengadah dan memejamkan mata. Grey menatap James dengan pandangan aneh sekaligus sedih. Ini belum pernah terjadi pada James sebelumnya. Dokter Alejandro benar, James Harristian telah memiliki kelemahan sekarang.

"Apa yang harus aku lakukan dengan kertas ini?" tanya Grey setengah kesal.

"Berikan saja pada Gous, suruh dia yang melanjutkan!" ujar James memberi perintah. Gousten Heibert adalah kepala teknisi dan produksi di pabrik mesin Superhart Tech. Biasanya James adalah perancang utama untuk setiap mesin yang akan diproduksi di pabrik itu. Dan Gousten menyempurnakannya. Satu-satunya teknisi yang boleh merancang dan mendesign selain James adalah Gous.

Jangan pandang remeh, James Harristian. Ia mungkin adalah mafia bawah tanah tapi ia punya gelar MIT di bidang mesin dan tekhnologi. Dan ia menggunakan disiplin ilmunya dengan baik yaitu menciptakan mesin dan senjata pembunuh.

Hal yang aneh selama Superhart Tech berdiri sekarang terjadi. James menyerahkan design sepenuhnya diselesaikan oleh Gousten Heibert karena James sedang buntu ide.

"Tapi Tuan..."

"Aku tidak punya ide, Grey!" potong James menghela napas pasrah dan kecewa.

"Tapi kenapa?"

"Entahlah. Aku tidak bisa berpikir!" Grey membuang mukanya dan mengangguk mengerti.

"Apa ini karena Nona Starley? Aku lihat dia mengusirmu dari kamar tadi pagi, Tuan!" sahut Grey dengan berani. James menegakkan kepalanya dan memandang Grey tajam.

"Tuan... mengaku sajalah, kamu menyukainya kan?"

"Hei..." tegur James sedikit keras.

"Aku tidak ingin melihatmu terluka. Sungguh, kita tidak kenal siapa Nona Delilah Starley. Dia bisa saja mencelakakanmu, Tuan!" James terdiam memandang Grey.

"Gadis itu penakut bagaimana caranya dia akan mencelakakanku?" James balik bertanya.

"Entahlah. Mungkin karena dendam. Karena dia pikir Tuan yang membunuh Ayahnya. Aku dengar kemarin dia ke basement menemui Kakaknya. Oliver bisa saja mempengaruhinya!" James menarik napas panjang dan menghembuskannya.

"Lalu apa yang harus aku lakukan, Grey?" Grey terdiam sesaat dan mendekati meja kerja James.

"Apa Tuan menyukainya?" tanya Grey dan James sempat diam cukup lama sebelum menjawab.

"Tidak."

"Jangan bohong."

"Entahlah, aku tidak tau!" Grey mengangguk pada jawaban James yang jelas menggambarkan jika ia menyukai Delilah tapi bingung dengan perasaannya.

"Aku punya sesuatu untukmu. Tunggu disini, Tuan!" Grey kemudian keluar dari ruangan James meninggalkan atasannya itu dengan kening mengernyit. Tak lama Grey kembali dan ditangannya ia membawa sebuah amplop. Begitu mendekat, ia menyodorkan amplop tersebut.

"Apa ini?"

"Surat kepemilikan toko bunga milik Nona Starley yang dijaminkan pada rentenir yang Tuan pukuli dulu saat menyelamatkan Nona Starley, Tuan masih ingat?" ujar Grey. Dengan kening masih mengernyit, James membuka dan membaca isi amplop itu.

"Darimana kamu mendapatkan ini?"

"Selama ini aku menyimpannya setelah mengambilnya saat kita menghabisi Filipe, si rentenir itu. Aku yakin surat itu akan berguna suatu saat." James memegang dagunya sambil membaca surat kepemilikan itu.

"Kamu mau aku merayu Candy dengan surat ini?"

"Jika Tuan mengembalikan itu padanya, dia akan bersikap lebih manis padamu. Dengan begitu, Tuan bisa mengorek lebih banyak informasi tentang Kakaknya. Aku yakin Oliver pasti memberi tau sesuatu tentang rencananya," jawab Grey sambil memajukan tubuhnya dengan menopang di pinggir meja menggunakan kedua tangannya.

"Apa kamu yakin dia tau sesuatu?"

"Pasti. Siapa lagi yang bisa Oliver percaya selain adiknya? Mereka bersaudara. Jika kita terus menggunakan kekerasan, kita takkan mendapatkan apapun."

"Wanita itu senang diperlakukan dengan manis, Tuan. Berikan yang mereka inginkan, mereka akan berlutut di kakimu," sambung Grey lagi. James masih terlihat berpikir dan kemudian menyunggingkan senyuman jahatnya.

"Tidak ada wanita yang tidak luluh dengan uang, bukan?" Grey mengangguk.

"Aku rasa aku tau caranya menakhlukkan Delilah Starley. Aku harus tau apa yang sedang direncanakan Kakaknya," ujar James lagi. Ia menyengir penuh misteri sekali lagi sambil melihat pada Grey yang juga menyunggingkan hal yang sama.

Sikap Delilah pada James kini dingin bagai es. Ia tak ingin melihat James dimana pun. Jadi begitu bertemu Delilah memilih menghindar dan tak mau berpapasan.

Tapi malam ini, James tak membiarkan Delilah mengusirnya lagi. Ia sudah punya segudang rencana membuat gadis itu membuka mulutnya. James tau persis ia tak bisa memukul atau menyakiti Delilah, maka ia menggunakan yang bisa ia lakukan yaitu menyebarkan pesonanya. Masalahnya adalah James bukan perayu atau penggoda. Ia bahkan tak bisa mengatakan hal-hal gombal untuk menyenangkan hati si wanita pujaan hati.

Maka sewaktu tiba di mansion, James berhenti di tangga utama sebelum naik ke atas menemui Delilah. Ia sedang menyusun kalimat yang tepat untuk merayu.

"Ah... aku benci puisi. Bagaimana caranya membacakan puisi?" gumam James kebingungan di tengah tangga. Ia hendak kembali ke bawah tapi kemudian tidak jadi dan naik lagi ke atas lalu kemudian berhenti lagi. James mengetukkan tumit sepatunya di lantai tangga yang terbuat dari kayu itu sembari berpikir.

"Kenapa aku jadi pengecut? Dia hanya gadis kecil!" gerutu James pada dirinya sendiri.

Dengan langkah kesal dan berani, ia naik kembali ke atas menuju kamar utama. Ia sudah bersiap akan menyemprot Delilah jika gadis itu mengusirnya lagi, James kemudian malah harus menutup mulutnya. Tak ada siapapun di kamar.

James mencari ke seluruh kamar dan tak menemukan 'permen'nya itu.

"Kemana dia?" gumam James mulai panik.

"Candy!" James memanggil dan keluar dari kamar mencari ke kamar tamu tempat biasanya Delilah tidur, tapi tak ada.

"Mana Delilah!" tanya James setengah menghardik pada salah satu pengawal.

"T-tadi Nona Starley ada di kamar, Tuan." James mengernyitkan kening dengan emosi mulai naik. Gadis itu kabur lagi!"

"CANDY!" teriak James kesal dan mulai menanyai semua orang di mansion dan panik mencari Delilah. Rasa marah mulai menghampirinya lagi karena mengira Delilah bisa lolos kali ini.

"Cari dia sampai dapat!" teriak James memberi perintah. Seluruh pengawal kemudian menyebar mencari Delilah yang tak terlihat dimanapun.

Dengan kesal dan marah, James mesti menenangkan diri agar berpikir lebih jernih. Ia pun masuk ke dalam kamar kecil yang memiliki kolam renang dan taman kecil tempatnya biasa merenung.

Betapa kagetnya dia saat melihat ternyata Delilah sedang berada di sana duduk sambil menatap kolam renang dengan air mancur kecil dan taman yang menenangkan di sekelilingnya. Bagaimana dia bisa menemukan tempat James bersembunyi?

"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya James begitu masuk melewati ranjang dan masuk ke taman di dalam kamar itu. Delilah sontak menoleh dan terkejut. Ia sempat memundurkan tubuhnya lalu menyeka airmata dan menunduk. James tertegun sejenak, tapi ia kemudian mendekat dan duduk di bangku santai yang sama dengan Delilah.

Delilah masih bersikap defensif dengan terus mundur tapi James tak mendekatkan posisi duduknya.

"Kenapa kamu menangis?" tanya James dengan nada lembut. Delilah sedikit terisak dan menunduk.

"Siapa yang membuatmu menangis? Aku akan membunuhnya," ujar James lagi.

"Aku ingin pulang," jawab Delilah dengan suara kecil.

"Ini rumahmu. Mau pulang kemana lagi!"

"Ini bukan rumahku!"

"Candy!" Delilah terdiam dan menunduk lagi. James ikut diam dan menghela napas. Ia duduk lebih santai dengan meletakkan kedua sikunya di atas paha.

"Katakan yang kamu inginkan, Candy. Aku akan memenuhi." Delilah mengernyitkan keningnya. Ada apa ini?

"Kenapa?"

"Karena aku ingin berbuat baik padamu." Delilah jadi makin curiga. James menoleh pada Delilah dan memandangnya. Ia lalu mengeluarkan sebuah amplop dari balik jas dan memperlihatkannya pada Delilah.

"Ini adalah surat kepemilikan toko bunga yang kamu jadikan jaminan utangmu pada rentenir. Aku sudah menebusnya dan akan kukembalikan!" Mata dan mulut Delilah sama-sama terbuka. Ia belum bicara dan memandang amplop itu. James lalu memberikannya begitu saja pada Delilah. Delilah merasa semua itu aneh... tidak, pasti ada yang salah.

"Apa syaratnya?" tanya Delilah tanpa basa basi.

"Tidak ada. Aku hanya minta kamu temani aku saja besok," jawab James masih menyodorkan amplop itu, namun tangan Delilah belum menyentuhnya. Ia masih curiga.

"Temani kemana?"

"Makam Ayahku, Fabrizio Belgenza."