°
°
°
Alex keluar dari kamar Ibunya Aditya setelah memastikan wanita itu terlelap. Ia melangkahkan kakinya memasuki sebuah ruangan yang notabenenya adalah ruang kerja Ayahnya Aditya. Ia melihat laki-laki itu duduk di kursinya dengan sebuah kacamata yang bertengger di batang hidungnya, kelihatannya laki-laki itu tertidur di sana. Alex pun semakin masuk ke dalam ruangan itu dan berdiri di depan meja Ayahnya Aditya, kedua tangannya ia letakkan di atas meja sebagai tumpuan.
"Excuse me, Mr. Jonathan." ucap Alex yang berhasil membangunkan Ayahnya Aditya.
"Ada apa?." Ayahnya Aditya melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di pinggiran meja kemudian ia menatap Alex dengan kedua tangannya yang menjadi tumpuan dagunya.
"Are you okay?."
"Iya, ada apa?."
"No, you aren't."
"Langsung saja, ada apa?."
"Oke, kenapa Mr. Jho mengirim Aditya ke…," Alex menggantung kalimatnya dan menoleh ke arah pintu.
"Kalimantan…harusnya ke luar negeri, kan?." sambung Alex yang membuat Ayahnya Aditya mengerutkan dahinya dan menaikkan sebelah alisnya.
"Apa masalahmu?." tanyanya kepada Alex dengan raut wajah yang serius.
"I haven't. But, ini sudah kesepakatan kalian berdua, right? Harusnya anda beritahukan kepada istri anda bahwa anda mengirim anak kalian ke Kalimantan bukan ke luar negeri, Mr Jho."
"It's not your bussines, Alex. Baiknya sekarang kamu keluar dari ruang kerja saya, pulang ke rumahmu, mandi dan pergilah tidur. Jangan mengusik kehidupan keluarga lain."
"Maka harusnya anda mengurus keluarga anda dengan cara yang lebih baik lagi, agar tidak ada orang lain yang mengusik kehidupan keluarga anda. Jika anda saja tidak mampu mengurus keluarga anda sendiri maka anda tidak berhak memerintah orang lain untuk tidak mengusik kehidupan keluarga anda."
"DIAM KAMU!."
Brakk!
Ayahnya Aditya menggebrak mejanya sekuat tenaga hingga dapat Alex pastikan telapak tangan laki-laki itu pasti akan terasa sangat perih.
"Kenapa saya harus diam?." tanya Alex dengan gaya santainya.
"Karena…bukan hanya saya yang tidak bisa mengurus keluarga saya, melainkan kedua orang tuamu juga tidak bisa mengurus keluarga mereka hingga akhirnya bercerai, dan setidaknya keluarga saya dan istri saya tidak melakukan perceraian…hingga Aditya tidak perlu menderita seperti kam-."
"Wait a minutes, tidak menderita? Are you crazy? Anda tidak bisa memastikan seseorang dalam keadaan baik-baik saja atau menderita hanya karena anda melihat sisi luarnya, Mr. Jho. Haha, miris! Anda saja tidak bisa menebak perasaan anak anda, darah daging anda. Jadi, tidaklah lagi mengherankan jika anda seperti ini, berlaku seenaknya haha!."
Rahang Ayahnya Aditya terlihat mengeras, nampaknya ia masih menahan emosinya untuk tidak melakukan hal yang lebih yang nantinya mungkin bisa membuatnya masuk ke dalam sebuah masalah baru yang lebih besar. Dan melihat laki-laki di hadapannya ini sudah mulai kesulitan menahan amarahnya membuat Alex puas, ia puas tujuannya datang ke rumah itu sudah terpenuhi. Ia pun langsung berbalik badan dan hendak meninggalkan laki-laki itu, namun…
"Selalu tersenyum bukan berarti selalu bahagia, anda harus ingat ini, Mr Jho." ujar Alex dari ambang pintu dan kemudian melanjutkan langkahnya hingga benar-benar keluar dari rumah itu.
°°°
Beberapa minggu kemudian….
Alena duduk di bangkunya dengan sebuah diary di tangannya, tapi tunggu…itu bukanlah diary miliknya, itu milik Arga. Ya, beberapa saat setelah ia mengubur Arga, ia menyempatkan diri untuk kembali lagi ke rumah itu dan mengambil beberapa barang milik Arga untuk di bawa pulang sebelum rumah itu dilahap oleh api. Ya…demi menghapus jejak dengan cepat Riana menyuruh anak buahnya untuk membakar rumah itu.
"Ga, lo udah tenangkan di sana?." tanya Alena di dalam hatinya.
Ia pun menggerakkan jari-jari panjang nan lentiknya membolak-balik halaman buku diary itu hingga akhirnya jari-jarinya berhenti ketika…ia melihat sebuah tulisan tangan dengan gaya bersambung membentuk namanya dengan warna yang sangat manis.
"Alenaku…?." ucapnya membaca tulisan itu.
"Keknya gue mencium aroma-aroma kangen nih…" ujar seorang laki-laki dari ambang pintu. Laki-laki itu menyenderkan bahu kirinya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.
Alena yang sudah hapal dengan suara itupun hanya diam, tidak bergerak ataupun mengatakan sesuatu. Ia bahkan juga bertanya pada hatinya saat ini, apakah dia memang merindukan sosok Arga, sosok yang selalu hangat kepadanya?
"Udahlah, namanya juga udah mati. Mau lo kangenin kek gimanapun, dia ga bakal hidup lagi. Yang udah pergi mah jangan diinget-inget lagi, nyakitin diri sendiri!." sambung laki-laki itu dan kemudian masuk ke dalam kelas.
Laki-laki itu menarik kursi di sebelah Alena-kursi yang dulunya menjadi tempat duduk Arga-. Laki-laki itu sedikit mengesampingkan tubuhnya dan menatap wajah Alena yang datar tapi tersenyum, yaa 'senyuman penuhnya' tetap di wajahnya.
"Baiklah lo pergi, gue males berdebat sama lo, Lex." kata Alena yang membuat laki-laki di sebelahnya kini menyunggingkan sudut bibirnya.
"Gr amat lo, siapa juga yang ngajakin debat. Gue cuma kasih tau doang quotes yang gue baca di IG malam tadi. Lagian waktu dia hidup lo kelihatan biasa aja, sekarang kok sok mera-."
"Stop, Lex. Diem. Gue udah bilang, malas debat sama lo. Kalau lo masih mau debat, sono. Debat ama papan tulis." potong Alena sembari sedikit memiringkan kepalanya ke arah Alex.
"Lah kok ngamuk? Gue niat baik woi, mau temenin lo sebentar. Noh, yang lain udah pada takut ama lo yang hobi melamun ga jelas!. Ck! Cantik-cantik calon penghuni RSJ. Bye!."
Tanpa mendengarkan apapun lagi, Alex langsung saja keluar dari kelasnya dengan tas sekolahnya yang sebelumnya sudah ia ambil saat masuk ke kelas tadi. Dan di sisi lain, Alena juga membetulkan apa yang Alex katakan. Semasa hidupnya Arga, Alena tidak pernah menunjukkan lampu hijau kepada laki-laki itu. Hanyalah lampu kuning dan juga tanda warning dari dirinya untuk Arga.
"Gue emang terlalu jahat sih untuk bersanding dengan manusia seperti Arga. Dia baik, sabar, polos, tulus dan banyak lagi…sedangkan gue? Di otak gue bahkan udah tersimpan ratusan 'file' dari Eomma." ujar Alena sembari menyentuh kepalanya.
Setelah itu ia kembali memandangi buku diary milik Arga, ia juga meraih penanya yang berwarna biru dan juga merah, kemudian ia mulai menorehkan ujung pena dengan sedikit liukan dari tangannya.
Kemudian, setelah selesai ia langsung mengangkatnya sedikit tinggi, mencoba menyandingkan namanya dan juga Arga. Namun, setelah ini…ia masih belum merasa puas. Ia pun berdiri, kedua tangannya menggenggam erat ujung kursi kemudian memutar kepalanya pelan mengitari kelas itu hingga tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Merasa ada yang tak baik pada tubuhnya Alena langsung berinisiatif untuk duduk, tapi malah…
BRUK!!!
Tubuh Alena menjadi lemas dan tanpa sengaja tubuhnya luruh ke lantai dan kepalanya terbentur di kaki kursi.
"Gue kenapa sih, huftt!."
°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Assalamualaikum.
Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam.
Happy reading
Instagram : @meisy_sari
@halustoryid
Maafkan bila terdapat typo🙏🏻
Tinggalkan saran kalian❤