°
°
°
Acara makan malam itu akhirnya selesai, semua orang yang merupakan wakil tiap perusahaannya masing-masing langsung pulang ke rumah mereka setelah berpamitan dengan keluarga besar Arga, terkecuali keluarga Haru.
Haru menahan istri dan juga putrinya untuk tetap tinggal selama beberapa saat dengan alasan dirinya hendak berbincang-bincang dengan Ayahnya Arga. Kedua laki-laki itu pun berjalan memasuki ruang kerja di rumah itu kemudian menutup pintunya dengan rapat.
Di sisi lain, Arga dan Alena, keduanya diam. Lebih tepatnya Alena-lah yang diam, karena sedari tadi Arga terus saja mencoba untuk melakukan interaksi namun balasan dari Alena hanyalah tatapannya yang datar.
"Ekspresinya...itu ekspresi dia saat baru kenal sama gue." Arga berujar di dalam hatinya sambil mengusap wajahnya beberapa kali.
"Permintaan maafnya tadi buat apa?." Arga menyenderkan punggungnya ke senderan sofa, ia menoleh sedikit ke arah Alena yang masih duduk dengan keadaan tegap.
"Len...." tegur Arga pelan namun masih dapat didengar oleh Alena, tapi gadis itu masih memilih untuk membungkam mulutnya.
"Len...." tegur Arga lagi dan kali ini ia sedikit menaikkan suaranya.
Tak kunjung mendapatkan sahutan dari gadis di sebelahnya, Arga pun berinisiatif menyenggol lengan gadis itu dan sebagai hasilnya ia malah mendapatkan sorot mata tak menyenangkan dari Alena.
"Don't touch me." ucap Alena penuh penekanan.
"Le...Len?. Lo kenapa? Lo marah sama gue? Gue salah apa?." Arga lantas menarik sepasang kakinya kemudian duduk bersila menghadap gadis itu, siap mendengarkan apa saja yang hendak gadis itu katakan padanya.
"It's not your fault. Dan lo ga punya salah sama gue, gue yang bakal punya salah sama lo." jawab Alena yang kemudian beranjak dari tempatnya menuju halaman depan.
°°°
Raut wajah Alena terlihat kian memucat, entah apa yang salah dengan dirinya, ia merasa mulai khawatir dengan rencana yang Eomma-nya buat. Ia sendiri tidak menyadari jika dirinya sudah menentang rencana itu, tapi ia tidak bisa bergerak berlainan arah, ia tidak bisa berkata apa-apa kepada Riana.
Melalui sambungan telepon yang sudah tersambung sejak 2 menit lalu, Riana kembali menjelaskan alur rencananya secara detail. Ia berkata jika semuanya akan dimulai ketika...Haru dan Cecil keluar dari rumah itu. Bagaimana dengan Alena? Kenapa hanya Haru dan Cecil saja yang harus keluar dari rumah itu? Ya karena drama Alena selanjutnya lah yang akan menjadi kunci utama.
Setelah merasa dirinya telah mengunci semua rencana itu di dalam benaknya, Alena meminta izin kepada Riana untuk mematikan sambungan teleponnya. Setelah ia mematikan sambungan telepon itu Alena langsung masuk ke dalam rumah keluarga Arga kemudian memulai langkah pertamanya.
Dramanya dimulai dengan rengekan Alena yang memaksa Haru dan Cecil untuk memperbolehkannya menginap di rumah keluarga Arga selama sehari. Tentu saja rengekan paksaan itu tak semulus yang diduga, Haru bahkan sempat membentak Alena dihadapan semua orang dan hampir melayangkan tangannya ke wajah gadis itu. Untung saja Cecil cepat menangkap tangan suaminya itu, jika tidak...sedikit sifat buruk Haru akan terbongkar.
"Alena...," Cecil maju beberapa langkah mendekati Alena yang berdiri di dekat Ibunya Arga. Ia sedikit membungkukkan badannya, menyejajarkan wajahnya dan Alena, setelah itu ia tersenyum sambil mengelus pelan puncak kepala Alena.
"Baiklah, jangan merepotkan siapapun, oke?." ucapnya yang setelah itu kembali ke posisi semulanya.
"Okee." jawab Alena dengan raut wajah yang gembira.
Setelah Cecil memberikan izin kepada putrinya, mau tak mau Haru mengiyakan izin tersebut. Akhirnya ia dan istrinya pun pulang ke rumah. Tinggallah Alena di kediaman keluarga Arga. Sepulangnya Haru-Cecil, Alena langsung diantar ke sebuah kamar tamu yang ukurannya cukup luas.
"Alena, jika ada apa-apa tekan saja bel itu, nanti beberapa ART akan datang untuk membantumu, ya." ujar Ibunya Arga dengan lembut.
"Iya, Tante." jawab Alena tak kalah lembut.
Ibunya Arga pun membalas dengan senyuman, setelah itu ia menyalakan lampu tidur dan mematikan lampu kamar itu, kemudian ia keluar dari kamar tamu tersebut.
Di tempatnya merebahkan diri, Alena menatap langit-langit kamar itu.
"Tinggal beberapa saat lagi." ucap Alena pelan dengan 'senyuman penuhnya'.
°°°
DING…DONG…
Gema sebuah jam di kediaman keluarga Arga menandakan telah bergantinya hari. Semua orang di rumah itu sudah terlelap dalam tidurnya, kecuali Alena. Ia duduk di kursi rias dan menatap kaca dengan senyuman penuhnya. Ia menyisir rambutnya secara perlahan kemudian ia mengikat rambutnya.
"Satu…," ucap Alena pelan sembari menatap jam dinding melalui kaca di hadapannya.
"Dua…,"
"Ti…"
DUARRRRR!!!
"…ga.." Alena tersenyum puas.
Sebuah ledakan besar terjadi secara tiba-tiba di rumah besar itu, dan dapat Alena pastikan ledakan tersebut berasal dari dapur. Ia pun bergegas berlari dan berteriak seakan ketakutan. Alena berlari menghampiri tiap-tiap kamar yang ada di rumah itu, menggedor pintu dengan sekuat tenaganya. Sebenarnya Alena tak perlu berperilaku seperti itu, bayangkan saja…suara ledakan itu sudah lebih dari cukup untuk membangunkan semua manusia di rumah itu, tapi mau bagaimana lagi? Alena hanya menjalankan bagiannya saja.
Ledakan dan juga gedorang dari Alena berhasil membuat semua orang di rumah itu keluar dari kamarnya dan berkumpul di ruang keluarga, seperti yang Alena harapkan.
Dan tanpa diketahui siapapun, seseorang telah menyelinap di antara mereka. Membius serta menusuk perut anggota keluarga itu satu persatu, dan di sinilah alur yang sebenarnya terjadi.
Riana mencoba memperkecil persentase kegagalan rencananya, maka dari itu setelah orang yang ia tusuk juga bius langsung ditarik ke sudut ruangan. Dan setelah semuanya jatuh, Riana beserta Alena mulai mengikat tangan mereka.
"They're still alive, Eomma." ujar Alena setengah berbisik sembari mengikat tangan Arga.
"Bermain sebentar Alena, nikmati detik-detik terakhir mereka." Riana menoleh dan menunjukkan 'senyuman penuh miliknya'.
Sekitar satu jam kemudian…
"Aghhhh." erang Arga lemah.
"Kamu terlambat Arga." suara halus dan dingin itu menyapa telinga Arga, membuatnya menoleh ke kanan dan kiri dalam keadaan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya.
"Jangan begitu, Alena. Dia tidak begitu terlambat, Ibunya juga belum bangun." Sahut Riana tak kalah dingin.
Arga masih menggerakkan kepalanya menoleh ke kiri dan juga kanan, nampaknya ia belum sadar dengan keadaannya sekarang. Ayahnya Arga-Putra-menghentakkan kakinya kuat untuk menarik perhatian Alena dan juga Riana yang kini tengah memperhatikan istrinya. Namun, hentakkan kakinya itu hanya mampu mengalihkan perhatian Alena saja. Gadis itu pun melangkahkan kakinya mendekati Putra, berjongkok di hadapan laki-laki itu kemudian ia menarik lakban yang menutupi mulut laki-laki itu secara kasar sampai membuat Putra meringis.
"Apa?." tanya Alena.
"Tol-tolong lepaskan kami, Nak Alena. Saya berjanji…berjanji akan melakukan apapun untukmu dan juga dia." Putra menggerakkan dagunya ke arah Riana.
"Tapi itu tidak diperlukan, Pak Putra." jawab Alena yang membuat tenggorokan Putra seketika mengering.
"Ji…jika begitu saya akan memberikan semua har-"
"Harta?." potong Alena cepat yang langsung mendapatkan anggukan kencang dari Putra. Namun respon yang diberikan Alena malah membuat anggukan kencang itu melemah dan berhenti, gadis itu menaikkan sudut kiri bibirnya, menampilkan smirknya yang kian membuat Putra ketakutan.
Putra tak pernah melihat sisi ini dari Alena sebelumnya, gadis ini memang belum melakukan apa-apa, namun dengan auranya saja sudah lebih dari cukup untuk membuat lawannya merinding. Alena memegang bahu Putra, menggerakkan jari telunjuknya dari pangkal leher laki-laki itu hingga hidung.
"Terlalu serakah jika kami masih menginginkan harta." sambung Alena dengan penuh penekanan.
"Lagipula kami melakukan ini bukan untuk harta kalian, harta kalian akan kami titipkan kepada pihak yang lebih berhak untuk mendapatkannya." sahut Riana, satu tangannya menyelinap masuk ke dalam saku celananya. Dan saat ia menarik tangannya keluar, tangannya sudah mengenggam sebuah cutter yang sudah sangat familiar di mata Alena. Riana mengeluarkan lempengan besi yang sangat tajam dari dalam cutter itu, ia pun menempelkan ujung lempengan besi tajam itu di wajah Ibunya Arga, lebih tepatnya ia menempelkan ujung lempengan itu di daerah antara kedua bola mata wanita itu.
Melihat itu tentunya Putra tak bisa tinggal diam, ia memberontak, berteriak, bahkan ia menangis memohon kepada Riana.
"Tol-tolong jangan sakiti istri saya!." pintanya terisak.
"Apa….??." Riana menggelombangkan nada bicaranya.
"Tolong…tolong…jangan sakiti istri saya." pintanya yang semakin terisak.
"Kalau begitu...aku akan memulainya dari anakmu saj-."
"Eomma…, biarkan Arga menjadi bagianku saja." potong Alena dengan nada sedikit pelan.
"Kenapa?." tanya Riana sambil mengerutkan dahinya.
"Ada beberapa kata yang ingin aku sampaikan kepadanya, sebagai hadiah terakhir…dariku, Eomma."
°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Assalamualaikum.
Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam.
Happy reading
Instagram : @meisy_sari
@halustoryid
Maafkan bila terdapat typo🙏🏻
Tinggalkan saran kalian❤