°
°
°
Sekitar 15 menit, akhirnya Alena sampai di rumah Riana. Sedari tadi, gadis ini terus saja memandangi tiap sudut ruangan yang sangat tak familiar dengannya. Melihat anak perempuannya yang terlihat begitu kebingungan itu membuat Riana sedikit tersenyum, ia pun mendekati Alena dan merangkulnya.
"Ruangan ini… istimewa." ucap Riana yang membuat Alena kagum.
Benar, seperti yang Riana ucapkan. Ruangan ini benar-benar istimewa, terdapat beberapa peralatan bedah yang tersusun rapi seperti pisau bedah, gunting tajam tumpul lurus, dan gunting tali pusar. Ada juga beberapa 'benda penting' lainnya seperti pisau, kapak, gergaji, curter, alat suntik serta obat bius dan tentunya beberapa kantong plastik besar berwarna hitam.
"Apakah ini disediakan untuk dokter itu?." tanya Alena yang ternyata mendapatkan gelengan pelan dari Riana.
"Ini untuk kita berdua." jawab Riana sambil menunjukkan 'senyum penuhnya'.
"Untuk kita?." jujur saja Alena tak mengerti, untuk apa keduanya memerlukan ruangan ini?
"Keluarkan apa yang ada di dalam peti itu." perintah Riana sembari menunjuk ke arah sebuah peti besar yang berada di bawah meja sudut ruangan.
Alena menurut saja, ia menggeret peti itu dan membukanya. Saat melihat apa yang ada di dalamnya kedua mata Alena terbelalak kaget. Ia menutup sebelah matanya menggunakan tangannya dan kemudian ia pun membalikkan badannya dan menunjuk ke arah dalam peti. Riana hanya menanggapi respon takut Alena dengan tersenyum dan mengedikkan bahunya acuh.
"Kenapa Eomma membunuh Arsen?." tanya Alena dalam hati.
Ya, di dalam peti itu ternyata ada tubuh Arsen. Seorang laki-laki yang telah dijodohkan dengan Alena sejak 3 tahun lalu.
°°°
"Pegang semua surat properti ini, kelak kamu akan membutuhkannya." Riana mengeluarkan tumpukan berkas surat properti dari dalam tas yang masih di sandang oleh Arsen.
"Kenapa Eomma membunuhnya?." akhirnya keberanian dari dalam dirinya untuk bertanya pun keluar.
"Aku tidak suka laki-laki yang memiliki sifat seperti Haru, itu saja." jawab Riana singkat.
Alena POV on
Gue ga ngerti, apa yang dipikirin oleh Eomma. Gue tau kalau Arsen emang sedikit mirip dengan Appa, tapi dia masih mempunyai sisi baik kok. Gue terus tatap tubuh Arsen yang cuma terbalut dengan kain putih, kain kafan.
Beberapa detik kemudian fokus gue malah teralih ke tumpukan berkas properti itu.
Tangan gue bergerak dengan sendirinya menyentuh tumpukan berkas itu, gue lihat lembar demi lembarnya. Awalnya berkas-berkas itu nampak biasa aja, hingga akhirnya gue malah melihat beberapa berkas dengan nama Eomma sebagai pemiliknya.
"Kenapa Eomma Cecil memiliki harta sebanyak ini?!." spontan gue sedikit berteriak, tentu gue ga terima, properti-properti itu seharusnya milik Eomma Riana!
"Tenanglah, itu adalah bagian dari permainanku Alena. Kini, aku berhasil merebutnya kembali. Terkadang kita memang harus mengorbankan hal-hal besar untuk mendapatkan hasil yang lebih dan lebih besar lagi!." jelas Eomma, tentu saja tanpa meninggalkan 'senyuman penuhnya'.
Eomma mengambil semua berkas-berkas itu dari tangan gue dan memasukkannya ke dalam tas untuk gue bawa pulang. Setelah itu Eomma mengangkat tubuh Arsen dan mendudukkannya di sebuah kursi yang dapat mengalirkan aliran listrik. Eomma memasangkan semua peralatan itu dengan teliti dan berhati-hati. Saat semuanya sudah berada di tempat yang seharusnya, Eomma menyambungkan kabel kursi listrik itu dengan stop kontak listrik.
"Tolong ambilkan remote itu, Alena." perintah Eomma tanpa menoleh ke arah gue sedikitpun.
Mata gue dengan cepat menyapu bersih seluruh ruangan untuk mencari remote yang Eomma maksud. Tanpa memakan waktu yang lama, gue bisa menemukan remote itu dan bergegas mengambilnya. Untuk pertama kalinya gue memegang alat seperti ini, dan gue terkesima. Ada rasa aneh di dalam hati gue saat melihat alat seperti ini dengan jarak yang sangat dekat, sedikit mirip dengan rasa bahagia dan puas, keduanya bercampur.
"Ini, Eomma." gue mengulurkan tangan untuk memberikan remote itu.
"Nanti, tunggu dia di sini. Dia belum mati, waspadalah. Saya akan mengambil beberapa peralatan dulu." suara Eomma terdengar serius, berhasil membuat gue membeku di tempat.
Arsen belum mati? Ga mungkin! Dari apa yang gue lihat, seluruh tubuh Arsen udah memar dan memucat, suhu tubuhnya juga jauh lebih dingin daripada gue. Satu tangannya terputus, dan satu matanya pecah, apakah wajar jika laki-laki di hadapan gue ini masih hidup?
Gue memberanikan diri untuk duduk di sebelah Arsen, gue terus menatap ke arah matanya yang masih tertutup rapat.
"Lo ga mungkin masih hidup." ucap gue pelan.
Namun, tanpa di sangka…ucapan Eomma benar. Perlahan-lahan Arsen membuka bola matanya dan menyempatkan dirinya untuk tersenyum ke gue.
"Lo…seneng, lihat gu-e tersiksa gini, kan!."
Masih sempat-sempatnya dia nuduh gue, bukannya sadar dengan sikap sendiri malah nuduh orang, cowo gila!
"Lo- sama nyokap lo, aghhh sama aja! Jalang! Ga tau di-."
"Sorry, tapi lo emang pantas mati." potong gue cepat.
Dengan terpaksa gue harus membekap mulut Arsen dan menyuntikkan obat bius yang udah disediakan Eomma di samping kursi listrik itu. Gue ga bisa menahan hinaan apapun yang menyangkut tentang Eomma. Gue pandangi pintu ruangan ini, ga ada tanda-tanda Eomma bakal balik ke sini. Kenapa lama?
Alena POV off…
Riana sengaja keluar dari ruangan itu, meninggalkan anak perempuannya dengan laki-laki itu. Sebenarnya Riana berniat mengetest perasaan Alena terhadap Arsen, jika anak perempuannya itu ternyata menyukai laki-laki itu maka mau tak mau Riana akan melenyapkan anaknya juga bersama dengan laki-laki itu hari ini.
"Masih kuharapkan kamu untuk hidup, Alena." ucap Riana dalam hati.
Riana melangkahkan kakinya untuk naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarnya. Ia berniat untuk memberikan sesuatu kepada Alena, jika gadis itu berhasil lolos dari testnya. Ia pun membuka sebuah laci kecil yang berada di dalam lemari pakaiannya dan mengeluarkan sebuah plastik klip yang berisi 5 butir obat.
"Kita lihat saja nanti. Siapa yang akan kalah, Haru." Riana tersenyum licik, kemudian ia memasukkan plastik itu ke dalam saku celananya dan bergegas kembali ke ruangan itu.
Sesampainya di ruangan…
"ALENA APA YANG KAMU LAKUKAN?!." Riana sangat kaget ketika ia melihat Alena sudah memisahkan kepala, satu tangan yang tersisa dan kedua kaki Arsen.
Wajah Alena penuh akan cipratan darah Arsen, namun gadis itu nampak cuek saja. Ia melemparkan senyuman kecil ke Riana sebentar kemudian ia memasukkan kepala, tangan dan juga kaki Arsen ke dalam sebuah kantong plastik berwarna hitam.
"Apa yang kamu lakukan, Alena!." Riana menarik bahu gadis itu agar menghadap ke arahnya.
"Aku hanya menyelesaikan urusan kita, itu saja." jawab Alena dingin.
"Kamu membuatku kaget, Alena. Kukira kamu mencintai laki-laki ini, ternyata…ah kamu berhasil membuatku bahagia!." Riana menarik anak perempuannya itu untuk masuk ke dalam pelukannya.
Alena tak menolak, ia juga membalas pelukan Ibunya itu sambil tersenyum.
"Korban pertama Alena." gumam Riana di dalam hatinya.
°°°
( 19.54 WIB )
Prangggg
Suara pecahan piring itu adalah perbuatan Haru. Ia menyambut kepulangan sang putri manisnya dengan melemparkan 3 piring sekaligus, untung saja tubuh Alena cepat tanggap dalam menghindari piring-piring itu. Tak puas karena gadis itu tak mengenai Salah satu pun dari piring-piring itu membuat Haru semakin naik darah. Ia segera mendekati Alena yang berjalan santai melintasinya, ia menarik rambut panjang Alena dan menggeret gadis itu yang kemudian ia dorong begitu saja ke lantai ruang tamu.
"Ayahh, jangan sakiti Kak Alena!." ucap Frans yang langsung berlari ke depan Alena dan menghalang Ayahnya agar tak mendekati Alena.
"Hei, jangan ikut campur. Laki-laki itu takkan mengampunimu kelak, minggir!." Ucap Alena yang kemudian langsung mendorong tubuh Frans sekuat tenaga.
"Hentikanlah ini, kasihan Alena. Selalu diperlakukan seperti ini olehmu." kini Cecil lah yang ikut campur.
Ikut campurnya Cecil sebagai pembela dirinya, membuat Alena jijik. Ia pun meludahi kaki Cecil yang berada di depannya dan tertawa remeh.
"JANGAN TERTAWA!." Haru langsung menyambar vas bunga dan hendak ia lemparkan ke arah Alena, namun kali ini untunglah Cecil mencegahnya melakukan itu.
"Harga vas ini mahal." bisik Cecil tajam.
Haru kembali meletakkan vas bunga itu dan mendekati gadis itu lagi, ia berjongkok di hadapan Alena dan memandangi wajah cantik anak perempuannya itu. Merasa ada yang aneh dengan tingkah Haru, Alena lantas menaik-turunkan kedua alisnya seakan berkata 'ada apa?' kepada Papanya itu. Haru pun menggelengkan kepalanya lemah kemudian ia tersenyum.
Ayolah, ada apa dengan Haru?
Tiba-tiba saja Haru mengulurkan tangannya ke Alena, namun Alena tak menerima uluran tangan itu. Ia bahkan enggan menyentuh tangan laki-laki itu. Namun Haru tak mengurungkan niatnya, ia menarik kedua sisi bahu anak perempuannya itu serta mengajak Alena untuk duduk berdampingan di sofa.
"Maafkan Papa yang kasar," ucap Haru dengan raut sedih yang Alena yakini itu hanyalah topeng belaka.
"Bisakah Papa meminta tolong kepadamu, Alena?." sambung Haru, dan kini Alena akhirnya mengerti kenapa sikap Haru tiba-tiba barubah.
"Apa?." tanya Alena.
"Berikan Fransisco sedikit bagian dari rumah ini, dia juga an-." sayangnya kalimat Haru tak bisa ia selesaikan karena Alena langsung memotong kalimatnya.
"Dia bukan anakku, dia hanya anakmu, kan Appa? Tidak ada urusannya denganku," jawab Alena tajam
"Baiklah, kalau begitu…Aku masuk dulu ke kamar." sambung Alena.
Gadis itu segera beranjak dari tempatnya, saat ia membalikkan badannya dapat ia lihat wajah kecut Cecil karena gagal mendapatkan harta untuk bagian anaknya. Sedangkan Frans, ia terlihat biasa saja toh dia hanya anak kecil yang tak mengerti soal harta, untuk urusan uang jajan saja terkadang ia bingung bagaimana cara menghitung jumlahnya.
"Jika kamu tak mau memberinya sedikit bagian, maka akan kuambil semuanya."
Bughhh
Kepala Alena terkena pukulan hebat dari sebuah beda tumpul di ruangan itu, vas bunga. Alena sempat berteriak kuat dan memegangi kepala bagian belakannya yang ternyata sudah mengeluarkan banyak darah. Perlahan-lahan pandangannya menjadi kabur dan kemudian…gelap. Akhirnya gadis itu jatuh dan tergeletak di lantai ruang tamu itu dengan keadaan darah yang terus saja mengalir dari kepalanya.
"Kak Al-." mulut Gunawan langsung dibekap oleh sang Ayah, Haru.
Tanpa rasa bersalah sedikitpun ia tersenyum penuh kemenangan ketika menyaksikan genangan darah dari kepala Alena kian bertambah.
"Jangan salahkan aku, kamu yang tak mau berdiskusi…putriku.." ucap Haru yang kemudian menarik tangan Cecil dan Frans menjauh dari ruang tamu itu meninggalkan Alena sendirian.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Assalamualaikum.
Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam.
Happy reading
Instagram : @meisy_sari
@halustoryid
Maafkan bila terdapat typo🙏🏻
Tinggalkan saran kalian❤