Jika dia sedih, maka bahagiakan. Tapi jika dia kecewa, cari pelaku utamanya
____
ALTEZZA kini sedang berada di rumah sakit yang tentu sering ia datangi. Masih ingat pesan Rani tadi? Ya, dia datang untuk menemui gadis itu.
Lantas untuk apa? Apa yang terjadi?
Rani Adita Pratiwi, gadis yang sudah empat tahun ini menjadi kekasih Ezza, memiliki kesehatan yang cukup buruk.
Gadis itu mengidap lemah jantung sedari kecil. Hal yang mengharuskannya menjalani home schooling. Lalu bagaimana ia bisa bertemu Ezza?
Tania dan Ezza satu sekolah waktu SMP, bahkan mereka pernah satu kelas juga satu kelompok. Saat itu, Ezza dan anggota kelompok lainnya akan mengerjakan tugas dirumah Tania. Dan itulah kali pertama Ezza bertemu dengan Rani.
Sebenarnya berbagai jenis alternatif pengobatan sudah Rani jalani. Namun inilah kehendak Tuhan, ia masih memberi cobaan penyakit itu untuknya. Hingga sampai saat ini, Rani harus dirawat dirumah sakit untuk menjalani pengobatan yang kesekian kalinya.
Ezza sudah sampai di ruangan gadis itu. Nampak disana, Rani beserta ibunya yang sedang bercanda ria. Ini yang membuat Ezza takjub. Meskipun dalam keadaan sakit, Rani masih bisa menguarkan aura positifnya. Gadis itu tak pernah membiarkan siapapun ikut andil dalam merasakan sakit yang ia derita.
"Ezza sudah sampai, nak." sapa bunda Farah begitu menyadari kedatangan Ezza. Hal itu sontak membuat Rani menoleh kearah kekasihnya lalu menerbitkan senyum yang sangat manis. Senyum yang lantas membuat Ezza sesak, mengingat apa yang sudah ia lakukan pada gadis itu.
"Sini nak. Rani sudah dari tadi nunggu kamu, loh." seru bunda Farah kembali dan langsung ditanggapi Ezza. Pria itupun beranjak dari tempatnya berdiri untuk mendekati bangsal yang ditempati Rani.
"Maafin Ezza lama yah Bun, Ran." kata Ezza sambil bersalaman dengan bundanya gadis itu. Sudah sewajarnya jika Ezza kenal dekat dengan keluarga Rani, mengingat hubungan mereka yang sudah terjalin lama.
"Nggak papa. Yaudah karena udah ada Ezza, bunda pulang dulu ya. Mau masak!" Balas bunda yang dijawab anggukan kedua nya.
Sepeninggalnya bunda Farah, keadaan hening. Entah kenapa Ezza jadi ragu untuk memulai percakapan dengan Rani. Ia terlalu kalut memikirkan hal yang sudah berani ia lakukan tadi siang. Dan kenapa, baru ia risaukan sekarang?
Rani memandang Ezza yang hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya. Gadis itupun mengernyit bingung "Ezza, kamu sakit? Kenapa diam aja?" Tanya gadis itu. Ini adalah kali pertama Ezza seperti itu. Biasanya, setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama, Ezza akan berbicara banyak tanpa henti. Katanya, pria itu sangat tidak suka keadaan hening.
Pria itu mendongak, menatap Rani lekat. Lalu kemudian duduk di kursi yang tadi ditempati bunda Farah, didekat bangsal gadis itu "ah nggak papa kok" katanya sambil tersenyum pada Rani.
"Kamu udah makan?" Lanjutnya dibalas anggukan Rani "kalau gitu istirahat, yah?" Namun jawaban Rani kaki ini justru menggeleng.
"Kamu baru sampe disini, aku mau ngobrol dulu. Entah kenapa, aku merasa gak enak aja. Katak sesek gitu," curhat gadis itu yang langsung membuat Ezza melongo kaget. Kenapa perasaan gadis itu begitu sensitif?
Pria itu kemudian mengulas senyum, mengusap lembut hijab yang dikenakan gadis itu. "Perasaan kamu aja mungkin. Yaudah kalau mau ngobrol, kita enaknya ngomongin apa ya?" Selanjutnya Ezza mengusap dagu seolah sedang berfikir keras. Namun sayangnya, wajah konyol yang ia tunjukan membuat Rani tertawa lepas.
"Komuknya kondisikan dong! Apaan sih kayak gitu!" Katanya setelah reda tertawa. Sementara Ezza hanya menyengir saja. Ia sungguh lega melihat pacarnya yang satu ini akhirnya kembali tertawa.
"Istirahat yah, Ran. Aku disini kok, nemenin kamu." pinta Ezza yang diangguki Rani. Gadis itupun kembali berbaring lalu memejamkan mata, merasa begitu nyaman saat Ezza mengusap lembut tangannya.
Maaf, Ran!
Saat pikirannya dihantui rasa bersalah terhadap Rani, ponsel Ezza tiba-tiba saja bergetar. Awalnya pria itu berpikir kalau yang menghubunginya adalah sahabat-sahabatnya. Tapi salah, tenyata itu Zaina!
Pria itu pun sejenak terdiam, memeriksa apakah Rani sudah tertidur pulas, dan untung saja sudah. Ia pun berjalan keluar ruangan dengan perlahan. Karena jika Ezza nekat mengangkat telpon Zaina di ruangan Rani, bisa bahaya! Bisa aja sesuatu yang tak terbayangkan justru terjadi.
"Halo, Zai?" Ucap pria itu secara berbisik
"Ezza, Lo dimana? Tolongin gue" kata Zaina setengah berbisik. Sontak hal itu membuat Ezza panik bukan main.
"Zai, Lo kenapa? Lo dimana? Biar gue susulin sekarang" kata Ezza. Sejenak ia mendengar suara ringgisan gadis itu yang membuat Ezza semakin khawatir.
"Za, plus Za tolong. Gue takut, bokap gue marah sama gue, Za. Tolong datang kerumah gue sekarang" ujar Zaina masih dengan suara pelannya. Mendengar itu, Ezza langsung berlari untuk keluar dari rumah sakit. Ia bahkan tak sadar sudah meninggalkan Rani begitu saja.
Jujur saja, Ezza sama sekali masalah apa yang menimpa Zaina. Tapi mendengar gadis itu tadi menyebut nama ayahnya, berarti ini masalah keluarga.
Sementara itu, Rani yang sebenarnya belum tertidur pulas menyadari kepergian Ezza. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan pria itu. Dan kenapa dia harus pergi keluar hanya karena mengangkat sebuah panggilan telepon. Biasanya juga tidak. Dan lebih anehnya lagi, Ezza yang pergi begitu saja bahkan tak kembali untuk sekedar berpamitan padanya.
Beberapa saat setelah Ezza meninggalkan rumah sakit, akhirnya ia sampai di kediaman Zaina. Ia tahu tempat tersebut baru-baru ini. Tepatnya saat mengikuti Zaina pulang di hari pertama mereka resmi berpacaran. Tadi siang tepatnya.
Untung saja, baik gerbang maupun pintu utama sama sekali tak dikunci. Pri itu bukannya tidak sopan main nyelonong saja masuk rumah orang. Tapi dia hanya terlalu khawatir dengan keadaan Zaina.
"SUDAH PAPA BILANG! JANGAN PERNAH TANYAIN KEBERADAAN WANITA ITU LAGI!" teriak seseorang dari lantai atas yang langsung membuat Ezza bergegas menaiki tangga menuju asal suara.
"Maaf papa, Zaina salah. Zaina gak akal ngelakuin hal sama" terdengar pula rintihan Zaina yang membuat Ezza semakin mempercepat langkahnya. Sepertinya telah terjadi keributan besar dirumah ini. Dilihat dari perabotan rumah yang berserakan dilantai. Juga beberapa barang pecah.
"UDAH KESEKIAN KALINYA KAMU BILANG KAYAK GITU, ZAI! Dan sekarang kamu lagi-lagi ngelakuin hal yang sama" Perkataan itu kembali terdengar tepat saat Ezza berada didepan pintu sebuah ruangan. Dan disana, ia menemukan pemandangan yang sangat menyakiti hatinya.
"Za-zai jan-ji pa, ga-k ak-an ngelak-uin hal ya-yang sam-a" kata Zaina putus-putus, karena pria paruh baya yang ia panggil papa itu sedang memberi cekikan di lehernya.
Hal yang membuat Ezza murka. Ia berjalan cepat, menerjang pri paruh baya itu dan membanting nya. Bahkan ia tak perduli jika pria itu adalah ayah dari pacarnya.
Zaina sontak terbatuk-batuk, dan berusaha meraup napas sebanyak mungkin. Oh astaga, rasanya ia hampir saja mati kalau Ezza tak datang menyelematkan nya.
"Brengsek, SIAPA KAMU?" kata papa Zaina begitu bangun dari duduknya.
"ANDA YANG BRENGSEK! MANUSIA MACAM APA YANG BERANI MENYAKITI ANAKNYA!" teriak Ezza penuh emosi. Zaina langsung menangis keras menyaksikan perdebatan dua orang yang sama-sama dicintainya. Ia sama sekali tak tahu kalau Ezza akan menyaksikan pemandangan seperti tadi.
Tujuan ia menelpon pria itu tadi, semata hanya karena agar bisa membawanya kabur. Karena gadis itu sempat bisa sembunyi dari amukan papanya. Tapi ternyata Ezza telat karena papanya terlanjur menemukannya duluan.
"Jangan ikut campur urusan saya! Kamu bukan siapa-siapa!" Peringat Zardan, papa Zaina.
Ezza tersenyum remeh. Mendekati pria paruh baya itu yang tetap memberi tatapan tajam padanya. Ia pun membisikan kata yang membuat pria itu semakin menggeram "gue pacarnya Zaina. Dan anda, gak pantas disebut seorang ayah jika mampu menyakiti anaknya. Bajingan!" Katanya kemudian berbalik menemui Zaina. Menarik gadis itu agar mengikuti langkahnya.
Zaina tak melawan. Ia masih menangis sambil mengikuti Ezza pergi dari kamarnya. Namun sebelum benar-benar keluar ruangan, gadis itu sejenak menatap kearah papanya yang masih tetap berdiri dengan pandangan kosong.
________