Baik-baik saja didepanbanyal orang, belim tentu dia memang sedang dalam keadaan itu.
____
Sepulang dari sekolah, Zaina tengah terduduk sambil bersandar pada papanya di ruang keluarga. Keadaan hening, tak ada percakapan antara mereka. Itu karena Zardan -papa Zaina- yang sibuk bekerja dengan laptopnya, juga Zaina yang sibuk dengan pikirannya.
Sebentar lagi hari ibu. Dan sekolahnya akan mengadakan perayaan besar dan mengundang para ibu dari setiap murid. SMA PELITA memang kerap kali melakukan kegiatan itu setiap tahunnya.
Di tahun-tahun sebelumnya, Zaina bisa mengelak dari perayaan karena ia sengaja pergi berlibur duluan. Tapi tahun ini, ia sudah kelas dua belas. Dan ini adalah hal wajib yang harus dihadiri gadis itu.
Masalah besarnya adalah, Zai sama sekali tak tahu siapa ibunya. Sejak kecil ia sudah diurus oleh papanya. Dan setiap kali ia menyanyi keberadaan sang ibu, papanya akan sangat marah besar. Padahal keluarganya juga tak pernah mengatakan kalau ibunya sudah meninggal, berarti masih hidup kan?
Zaina terakhir kali menanyakan keberadaan ibunya adalah saat ia masih SMP. Saat guru menyuruh untuk mengudang mamanya ke sekolah.
Alhasil, papanya murka dan mengunci Zaina di kamar mandi semalaman. Gadis itu meringgis pelan saat mengingat kejadian itu. Lalu sekarang, apakah papanya masih akan marah jika Zaina kembali menanyakan hal serupa? Tapi sekarang Zaina sudah besar, mungkin saja papanya juga sudah berubah.
"Pah?" Panggil gadis itu pelan
"Hmm" Zardan hanya membalas sahutan tadi dengan dehemannya bahkan tanpa mengalihkan pandangannya kearah putri semata wayangnya itu.
"Mama dimana?" Tanya Zaina membuat papanya seketika menegang dan menggentikan kegiatan mengetiknya. Detik selanjutnya, pria itu menutup kasar laptop tersebut dan membantingnya keatas sofa.
Ia juga berdiri dan dengan kasar membanting Zaina yang langsung membuat gadis itu tersungkur diatas karpet.
"Maksud kamu APA NANYA GITU! HAH?" teriak Zardan. Hal yeng membuat Zaina tersentak kaget. Ternyata ia salah, papanya masih sama seperti beberapa tahun lalu.
"Kenapa papa marah? Aku cuma nanyain keberadaan mama. Apa itu salah? Sekolahku bakalan ngadain perayaan hari ibu. Semua orang bakal bawa ibu mereka, tapi aku nggak. Kenapa pah? Mama dimana? Kalau dia masih hidup, aku mau ketemu mama," kata Zaina berujar lirih. Ia menatap dalam kearah mata papanya yang berubah merah karena emosi.
"Udah papa bilang, Zai! Kamu gak punya MAMA! Wanita siapan yang melahirkan kamu itu bukan MAMA KAMU!" jawab Zardan sambil menarik rambut putrinya agar berdiri. Hal yang membuat Zaina meringgis kesakitan.
"Aw pa, sakit. Ke-kenapa papa harus semarah ini sama Zai? Ini hak Zai buat nanyain keberadaan mama." kata gadis itu berusaha membela diri. Ia juga berusaha keras melepaskan jambakan dirambutnua yang sayangnya semakit kuat saja.
"Dia bukan mama kamu, Zai! BUKAN!" teriak Zardan dengan suara pilunya. Pria itu menangis, begitu juga Zaina.
Zaina sama sekali tak paham apa masalah papa dan mamanya. Sepertinya, ada sesuatu yang menyakitkan yang pernah terjadi dahulu. Tapi apa? Kenapa papanya harus semurka ini jika hanya membahas mamanya saja?
Zaina akhirnya berhasil melepaskan jambakanzardan dari rambutnya. Ia pun berlari secepat mungkin agar bisa jauh dari jangkauan papanya. Dan pria itu langsung mengamuk, membanting segala yang ada dihadapannya.
Zaina tak peduli. Ia harus segera sembunyi dimanapun itu. Biarlah papanya melampiaskan amarah sendiri. Zaina akan menemuinya jika pria itu sudah bisa mengontrol emosi. Karena sangatlah berbahaya jika Zaina berada didekat Zardan. Bisa-bisa ia akan babak belur sama seperti dulu.
Pria itu seperti memiliki kepribadian lain dalam dirinya. Dia akan tak segan menyakiti siapapun dalam keadaan marah. Tapi setelahnya, pria itu akan pergi begitu saja entah kemana. Dan pulang, pasti semuanya akan kembali ke keadaan awal seolah tak terjadi apapun. Pria itupun sama sekali tak pernah membahasnya, dia seolah lupa dengan apa yang telah diperbuatnya.
Dan Zaina, sudah sangat hafal dengan keadaan itu.
______
"Jadi Lo telpon gue, biar bisa aja Lo kabur?" Tanya Ezza begitu Zaina selesai dengan cerita nya.
Gadis itu mengangguk, menatap Ezza sendu "gue gak maksud bikin papa marah, Za. Gu-gue cuman pengen tau mana Mama." katanya sambil menitikkan air mata.
Ezza kembali membawa Zaina kedalam pelukan nya. Mengusap lembut bahu gadis itu yang bergetar. Membiarkan Zaina menumpahkan segala tangisannya agar gadis itu merasa lebih lega.
Mereka kini berada di sebuah taman yang tak jauh dari rumah Zaina. Tadinya Ezza akan membawanya lebih jauh lagi, tapi Zaina menolak. Ia mengatakan bahwa tak ingin terlalu lama meninggalkan papanya.
Jujur saja, ini kali pertama Ezza melihat Zaina yang penuh kerapuhan. Zaina yang selama ini selalu terlihat ceria dan baik pada siapapun, ternyata memiliki masalah yang cukup berat.
Setelah dirasakan gadis itu mulai tenang, Ezza meregangkan pelukannya. Memegang bahu Zaina yang sudah lebih rileks. Perlahan, Ezza menyeka air mata yang masih membasahi pipi gadis itu. Lalu setelahnya, ia juga menyapukan ciuman menenang kan di dahi Zaina, yang membuat gadis itu langsung tersenyum.
"Makasih yah, Za. Lo sampe harus rela datang jauh-jauh kesini demi gue." kata Zaina yang justru membuat Ezza tertegun.
Ah iya! Dia meninggalkan Rani tadi.
"Zai, gue tadi lagi nemenin Rani istirahat. Dan gue ninggalin dia gitu aja," ujar Ezza sedikit kalut. Hal yang membuat Zaina melunturkan senyumnya. Ah benar sekali! Dia kan selingkuha, jadi sewajarnya jika Ezza mengkhawatirkan keadaan pacar sebenarnya.
"Gue telpon dia dulu ya," katanya ingin beranjak namun urung saat Zaina mencekal tangannya.
"Gak usah," jujur, Ezza sangat kaget mendengar larangan itu "Lo balik ke sana aja, Za. Gue udah baik-baik aja." dan hal itu yang membuatnya lebih kaget lagi.
"Tapi Zai, Lo gak mungkin kan balik kerumah. Bokap Lo gimana? Ah Lo tenang aja, Rani pasti bakalan ngerti kok." tak sadarkah Ezza kalau ucapannya barusan cukup menyakiti Zaina. Ia cemburu, tapi ia juga tak enak hati pada Rani.
"Nggak, Za. Bokap gue pasti udah nggak emosi lagi. Lo tenang aja. Lagian Rani pasti bakalan nyariin Lo." kata Zaina sambil mengusap pipi pria itu. Hal yang membuat Ezza sangat nyaman. Rani tak pernah berani melakukan itu.
"Yaudah, gue pergi dulu ya." pamitnya. Namun sebelum pria itu benar-benar pergi, ia sempatkan untuk mengecup kening Zaina.
"Gue gak mau nyakiti Rani, tapi gue juga gak Mau pisah sama Ezza. Bodoh banget sih Lo Zai, mau aja dijadiin selingkuhan." kata Zaina sambil terkekeh miris. Ia memandang sendu kepergian Ezza.
Gadis itu pun memilih kembali ke rumahnya dengan berjalan kaki. Namun dipertengahan jalan, ia menemukan seorang nenek tua yang sedang kesusahan mencari sesuatu. Tanpa pikir panjang, Zaina segera menghampiri nenek itu.
"Nenek Wanda, cari apa?" Tanya nya pada nenek tersebut. Zaina memang tahu siapa dia, karena kebetulan rumah mereka bersebelahan.
"Zaina kah, itu?" Tanya nenek itu dan langsung di 'iya' kan Zaina. "Kaca mata nenek jatuh tadi, nak." lanjutnya menjawab pertanyaan Zaina.
"Ah sebentar, biar Zaina carikan," katanya membawa nenek Wanda menuju tempat duduk. Ia pun mencari barang yang katanya hilang itu.
Ah ternyata berada di bawah pohon. Untung saja masih bisa ditemukan. Jika tidak, nenek Wanda pasti akan sangat kesulitan melihat sesuatu hal.
"Ini Nek, Zaina udah nemuin." ujar Zaina sambil memberikan kaca mata itu. Beruntung kondisinya masih utuh dan tidak pecah.
Nenek Wanda menerimanya, lalu memakai dan melihat kearah Zaina.
"Nak, apakah papamu memukul mu lagi?" Tanya nenek itu membuat Zaina tersenyum kecut. Nenek Wanda sudah sangat paham perangai papanya Zaina, karena mereka sudah bertetangga cukup lama.
"Zaina yang salah Nek," katanya sambil menunduk "Zaina yang mulai semuanya." sambungnya lagi lalu kembali menangis dipelukan nenek itu.
Hari ini, sepertinya Zaina sudah terlalu banyak menyucurkan air mata.
_______