Chereads / Sincerenly, Rain / Chapter 2 - Paris

Chapter 2 - Paris

If I could choose, even though it hurts, I would choose to stay. But I couldn't. So now I go and let him be happy, without me.

SOEKARNO-HATTA INTERNASIONAL AIRPORT

"Nessa!" dia berlari ke arah ku dan memeluk ku. "Hati-hati ya, sorry buat semuanya. Kita tetep sahabat. Walaupun kita gak bisa sama kaya dulu lagi, posisi kamu dari dulu sampai sekarang gak pernah berubah, gak pernah bergeser atau ditempatin orang lain. Aku emang gak tau kenapa kamu bisa tiba-tiba pergi kaya gini. Aku juga gak bisa nyalahin kamu karena aku gak tau apa-apa, tapi kamu perlu tau, kapanpun kamu butuh, aku siap dengerin cerita-cerita kamu, kaya dulu. Aku sayang sama kamu. Aku tunggu kamu pulang." air mata ku mengalir, kepergian ku karena dia. Tapi sekarang dia meluk aku, dan bilang akan nunggu aku balik.

***

Aku menekan tombol rekam pada camcoder-ku. Orang-orang sibuk dengan luggage mereka masing-masing. Kulemparkan iphone-ku kedalam pocchet lalu menarik tali kekang Chino, melewati beberapa orang di depanku. Saat cabin door akhirnya dibuka aku berhenti beberapa saat untuk menghirup udara PARIS.

Akhirnya penantian berjam-jam mati kebosanan paid off, aku sudah mempersiapkan peristiwa historic ini dan mengenakan pakaian khusus. Topi besar dengan pink heron feathers, thin pink sunrise pleated dress dan sepatu bertumit tinggi lalu berjalan dengan bangga bersama dengan anjing toy poodle bertali kekang pendek menyusuri selasar.

Aku masih berusaha mengkondisikan tas-tas ku, Vogue Prancis, Harper's Bazaar, Cosmopilitan, dan secangkir minuman anti jetlag. Kubungkus Chino dengan Air French blanket tipis dan pergi menuju area pengambilan baggage.

Rasa mual mulai menerjang saat melihat kemacetan berwujud manusia di antrean menuju bagasi dan bea cukai. Anggap saja alam semesta berbaik hati karena koperku mudah ditemukan as well as the trolley namun kejadian menakjubkan terjadi setelahnya, aku kini berada di ruang sangat besar berisikan sekumpulan umat manusia! Bea cukai atau dengan sebutan lain antrean tanpa akhir, waktu menunggu tanpa batas, dan aku yang merana.

Aku memeriksa sekali lagi tasku, memastikan surat-surat penting aman. Passports travel checks, car insurance certificates, driver's licenses, credit cards, Chino's vaccination history documents as well as certificates from doctors, emergency numbers, and addresses.

***

Sebuah suite di Plaza Athenee aku sewa untuk beberapa hari sebelum pindah ke dormitory kampus, dengan debaran jantung yang tak beraturan menggiring satu set koper Jeremy Scott-ku melewati lobby, lift hingga akhirnya sampai. Pemandangan menakjubkan terpampang di depan mataku saat membuka pintu, ruangan terbesar yang pernah ada di hidupku! Marble floors, classic style walls, perfect decoration, LED TV complete with Home Theater, large beds, and the expanse of Paris that is clearly visible from the window. Surga!

Saat masih terus saja terpukau dengan ruangan ini suara panggilan masuk berbunyi, aku segera mengangkatnya. Sebuah kabar gembira, the little red Smart Car yang ku pesan sudah datang!

Segera aku berlari turun ke lobby bersama Chino dan menemukan mobil mainan itu terpakir di depan lobby, segera saja aku melesat kedalam mobil dan siap mengacak-ngacak Paris.

Aku merasa mulai kehilangan kendali saat melihat nuansa teduh diwarnai semburat kilau matahari yang membuat bayangan bebercak-bercak dijajaran rumah tertutup sulur-sulur ivy, perahu-perahu berkelip di atas sungai Seine, menara Eiffel juga Arc de Triomphe. Sejenak aku benar-benar lupa dengan semua masalah yang aku miliki.

***

Aku sampai di asrama tepat sebelum jam makan malam, tumpukan barang-barangku tergeletak di sebuah ruang kosong yang cukup besar. Beberapa koper berisikan baju, 2 container berisikan shoes and sandals, container lainnya berisikan beberapa lusin tas. 4 box buku-buku, manekin pengepas, peti koper Louis Vuitton antik, satu set penuh koper Fendi, beberapa gulungan kain, Desrues, dan Lemarie.

Pembongkaran besar-besaran terjadi disini, hal pertama yang kulakukan ialah menyusun semua pakaianku kedalam ruang khusus pakaian. Dimulai dengan mengisi sebuah sisi dengan pakaian daftar VIP milikku : Dior, Chanel, Valentino, Prada, Bulgari, dan Cartier [berkemungkinan terjadi perubahan].

Pakaian daftar reguler di sisi satunya [beberapa pakaian rumah]. Sepatu dibariskan di sepanjang dinding paling bawah dengan fleece mat [milik mama] Corto Moltedo, Repetto ballet slippers, Jimmy Choo, Manolo, Doc Martens, Lanvin, Gucci, beberapa Rebooks, Stella McCartney wedges, glittering sandals, Mary Jane red Rubin, red sequined Sonia Rykiel pump, double C Chanel, many strappy Dolce & Gabbana sandals dan Louboutin! [tidak disebutkan semuanya karena terlalu banyak] Dan jangan lupa menggantungkan gaun-gaun [sudah diberi kode sesuai warna].

Lusinan tas aku susun di atas sebuah meja besar berlaci sesuai jenisnya, the drawer aku gunakan untuk menaruh kotak-kotak accesories. Aku hanya tinggal membeli sebuah kaca besar untuk ditaruh di ujung.

Kini aku berpindah dari ruang khusus pakaian ke depan, bookshelf yang aku minta ternyata sudah terpasang di dinding tepat di sebelah kanan ranjang. Ku keluarkan buku-buku yang ada di dalam box lalu meletakannya di atas meja kerjaku yang berada di depan rak buku.

Kususun berdasarkan jenis dan penulisnya, the first row adalah buku pelajaran ada sejarah fashion dunia, draping, sewing, types of materials, colors, branding, fashion entrepreneurship, fashion merchandise dan beberapa kamus bahasa fashion.

Barisan kedua sampai ketiga adalah koleksi novel, ada novel terjemahan karya Lisa Graham series fashion-forward adventure of Imogene, Jenny Han, John Green, Stephanie Perkins, Isabelle Merlin, Lindsey Kelk, E.M. Foster, dan beberapa buku bodoh Keri Smith, ada juga novel Indonesia karya Orizuka, Anggun Prameswari, Boy Chandra, dan sederet produksi penerbit Amore, aku juga memiliki novel karya Diana Rikasari dan Lala Bohang, dan yang terakhir beberapa coloring books.

Ini melelahkan, kulirik Chino yang sedang menggigit Sock Monkey-nya "Aku berharap juga memiliki sock monkey milikku sendiri." gumamku pada diri sendiri lalu kembali menyusun buku. Sepertinya semua tidak akan selesai hari ini, aku bertekad setelah beres dengan buku-buku ini aku akan kembali ke hotel, mengingat Chino yang belum makan dan diriku yang mulai membutuhkan chocolate and milk.

Aku mengeluarkan ponselku dan membuka Instagram, mengetik sebuah user id pada kotak percarian. Jullianprasetyo. Aku melihat sebuah postingan baru disana, betapa terkejutnya aku menyadari gambar itu adalah aku, diriku yang sedang berjalan menyeret koper memasuki pintu gate dengan sebuah caption 'See you again.' Air mataku terjatuh mengingat kejadian di bandara. Lalu aku mengetik sebuah nama lain pada kotak pencarian. Bramanaarsyaa. User not found, begitu tulisan yang muncul. Dia menutup akunnya? Kenapa? Aku terdiam di tempat ku, mencoba mencari jawaban dari kebingungan ini saat sebuah chat dari grup obrolan masuk, dari OUR.

[Rosa] Mana nih si gadis Paris

[Lista] Tau deh, gak on dia. Belom nyampe kali.

[Rosa] Ih, harusnya sii udah

[Lista] Au deh. Tungguin aja, paling entar juga nongol

Aku tertawa melihat percakapan tersebut.

[Me] Ibam tutup akun Instagram udah pada tau belom?

[Rosa] Ha? Masa sih. Bentar gua cek. Ih iya bener ga ada Nes!

[Lista] Wah, gawat nih gawat. Cerita Nes, lo bedua kenapa sih sebenernya.

Aku menjawab dengan voice record dan menceritakan kejadiannya dari awal. Chino sudah terlelap saat aku mematikan layar ponsel, ku gendong dia dan berjalan perlahan keluar dari kamarku.

Saat hendak memasukan kunci kamar kedalam pochette di tengah sebuah lorong yang panjang, aku mendengar suara orang berlari ke arahku dari ujung lorong. Aku menoleh ke belakang dan buk! Aku terjatuh karena tertabrak seseorang, Chino terhentak kelantai lalu terbangun dan meringis kesakitan, barang-barang dalam pochette berjatuhan di lantai.

Dentuman lutut dan lantai membuat sebuah luka lecet yang sungguh sangat perih.

"I'm so sorry, r u okay?" tanya si pembuat kecelakaan.

Aku tak menjawab pertanyaan orang tersebut dan lebih memilih menyelamatkan Chino yang malang kesakitan lalu memungut barang-barang ku, saat mendongak untuk melihat manusia macam apa yang lari-larian jam segini (ini hampir tengah malam) dan berencana membunuhnya dengan satu teriakan di wajahnya, tapi kenyataannya berbeda, aku malah terpaku melihat pria dengan blue eyes dan disheveled hair di hadapan ku.

Dia memakai oversized white shirt dengan khaki-colored bomber jacket juga short jeans di atas lutut, rambutnya panjang berwarna pirang. Terdengar suara teriakan orang dengan tiba-tiba dan membawaku kembali ke akal sehat, aku melihat dia memegang kunci kamar ku. Saat aku berusaha berdiri, rasa perih pada lutut malah bertambah, untungnya dia membantu ku berdiri.

Aku meraih tangannya untuk mengambil kunci kamarku namun tangannya menghindar dari jangkauan ku. "Hey! Kembalikan kunci kamar ku." bentak ku padanya.

Suara teriakan beberapa orang kembali terdengar namun lebih jelas, dia mengambil pochette ku, melingkarkannya di lehernya lalu tersenyum bodoh sesaat sebelum aku diangkat olehnya dan dibawa pergi keluar blok asrama menuju gedung universitas.

Aku digendongnya dengan cara bridal style yang secara harfiah membuat wajahnya berada di posisi empat puluh lima derajat dari jangkauan penglihatan ku, mau tidak mau aku jadi melihat straight line on his jaw and the curve of his cheekbones. Dia menurunkan ku di depan sebuah perpustakaan besar, suara teriakan itu sudah tidak terdengar lagi, hanya suara nafasnya yang terengah-engah. "Aku benar-benar minta maaf, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya.

"Lihat saja aku! Apa ini bisa kamu sebut dengan baik-baik saja?" jawabku jengkel.

Aku berani jamin Chino sedang menatap dengan jengkel ke arah laki-laki ini. Mataku menyelidikinya, hampir tengah malam dan pria ini sedang dikejar-kejar beberapa orang, apa jangan-jangan dia...

"Aku bukan perampok," jelasnya. Sepertinya dia mengerti dengan tatapan menyelidik ku. "Aku kalah bermain game dan harus menerima hukuman, mereka mengejarku karena itu." dia melangkah maju dan membuat ku tertahan pada pintu perpustakaan.

"Aku tidak berkata apa-apa." mataku berkedip berkali-kali karena wajahnya yang semakin mendekat lalu akhirnya menutup mataku dengan alasan mungkin saja dia mau..

"Murid baru? Wajahmu tidak seperti orang Paris," tanya nya dan melangkah mundur. "Jeffyin Traynor." dia mengulurkan tangannya lalu menarik tangannya kembali saat dia menyadari semua tanganku habis karena harus menggendong Chino. "Kamu bisa memanggilku Jeffyin." senyumnya terukir sekali lagi.

"Aku harus pergi," ucapku seraya mengambil kunci kamar dan pochette darinya.

Segera saja aku membalikan badan dan berjalan meninggalkannya menuju ke mobil dan segera pergi dari sini. Di perjalanan aku berhenti di sebuah apotek untuk membeli antiseptik, perban dan beberapa plester, rasa perihnya masih saja terasa. Semoga saja tidak akan meninggalkan bekas, aku berjalan kembali ke mobil dan langsung melesat ke hotel.