Saat melihat Luna yang gugup, semakin membuat Aldo ingin menggoda gadis itu.
Sedangkan, Luna yang ditatap seperti itu oleh pria tampan, semakin gugup.
Galang yang sudah tidak tahan dengan tingkah Aldo menyuruh Hilman untuk segera mengusir pria itu.
"Usir tamu tak diundang ini dari sini!" Dan setelah itu, dia langsung duduk di sebelah Luna.
"Jangan! Aku tidak tidur nyenyak sepanjang malam gara-gara memikirkanmu. Selain itu, aku buru-buru datang ke sini tadi dan sampai tidak sempat sarapan. Setidaknya, kau berbaik hati mengijinkan aku sarapan di sini, kan?" Aldo memegang meja dengan kuat dan tidak ingin beranjak dari situ.
"Hilman!" panggil Galang lagi.
Hilman yang diteriaki begitu mau tidak mau segera menyuruh Aldo, yang masih keras kepala, untuk segera meninggalkan ruangan itu.
Tuan Aldo ini, walaupun dia sahabat Tuan Galang, setidaknya bisa sedikit peka dengan suasana hatinya. Apa dia tidak melihat dirinya yang marah dan cemburu saat melihatnya memandang Nona Luna? Hilman membatin dalam hatinya.
Sedangkan, Aldo mengalihkan pandangannya pada Luna untuk meminta bantuan gadis itu, "Keponakan kecil, bantulah Pamanmu ini ..." Luna tertawa dan menepuk kursi di sebelahnya, "Duduklah di sebelahku, Paman."
Tangan Hilman yang menarik bahu Aldo menjadi lemas.
Galang yang mendengarnya, menypitkan matanya ke gadis itu.
Luna yang tidak tahu perasaan kesal Galang, hanya menatap Aldo dan bertanya pada pria itu, "Kenapa? Apa kau takut pada Pamanku, bukankah kau biasanya berani padanya?"
"Heh! Siapa yang takut padanya?" Aldo mengangkat alisnya sedikit dan menatapnya penuh minat, kemudian segera duduk di sebelah Luna.
Di sisi lain, Galang sudah mengepalkan kedua tangannya dan memandang Aldo dengan kesal.
Pada saat ini, bahkan Hilma dapat merasakan perasaan tidak enak saat melihat perubahan emosi di wajah tuannya. Apalagi saat melihat keduanya tertawa dan tidak menghiraukan Galang yang menatap mereka dengan pandangan tidak suka.
Bibi Emi datang tak lama kemudian dengan membawa sarapan mereka.
Luna mengobrol dengan Aldo selama mereka sarapan, dan mengabaikan Galang.
Hilman hanya bisa menyeka keringat dingin di dahinya karena ketakutan melihat ekspresi Galang.
Pria itu melihat tuannya yang tidak memakan sarapannya dan sedari tadi hanya diam memandang Aldo dan Luna yang sedang mengobrol seru.
Hilman menelan ludahnya dengan gugup karena sudah tahu pasti akan terjadi sesuatu mengerikan pada mereka.
Disisi lain, Aldo yang penasaran dengan Luna yang memakai syal di hari panas ini, langsung bertanya pada gadis itu, "Keponakan kecil , kenapa kau memakai syal di lehermu? Sudah mau musim kemarau dan udaranya sudah mulai panas, dan kau tidak akan sedang kedinginan, kan?"
Luna yang memotong steaknya, berhenti dan mendongak.
Dia tersenyum mendengar pertanyaan Aldo, kemudian menjawabnya, "Bukan apa-apa, kok, Paman. Di kamarku banyak nyamuk, leherku digigit nyamuk semalam. Leherku jadi merah-merah semua dan itu tidak terlihat elegan sama sekali, jadi aku menutupinya dengan syal."
Seluruh tubuh Galang menegang saat mendengar penjelasan Luna.
Sedangkan, Hilman gemetar di belakang mereka.
Aldo menyeringai karena tahu bukan itu alasan Luna menutupi lehernya. Dia adalah pria dewasa dan memiliki banyak banyak pengalaman dengan para wanita, jadi dia tahu apa sebenarnya yang terjadi pada leher Luna.
Pria itu pura-pura kaget dan berkata pada Luna dengan nada khawatir, "Kau digigit nyamuk? Wah, kau harus segera memeriksakan dirimu ke dokter, mungkin saja itu nyamuk malaria yang memang banyak bermunculan saat musim hujan begini. Bisa-bisa kau terkena demam berdarah."
Luna menggigit lidahnya, bertahan untuk tidak mengatakan apapun atau menyangkal kebohongannya.
Gadis itu terkekeh pelan dan membalas, "Tidak apa-apa, kok, Paman. Tubuhku sudah kebal, hehehe."
Setelah itu mereka kembali memakan sarapan dengan tenang.
Beberapa saat kemudian, Lana sudah selesai sarapan, dan bangkit dari duduknya.
Saat gadis itu berdiri, Galang ikut berdiri dan berkata kepada Hilman, "Hilman, temani Aldo di sini!"
"Baik, Tuan" balas Hilman dengan patuh.
Luna dapat melihat Aldo diseret Hilman.
Namun, sebelum dapat bertanya, Galang sudah berbicara terlebih dulu pada Hilman, "Kupikir kau akan sangat membantu jika membersihkan rumah ini, Aldo."
Kemudian kembali menggendong Luna dan membawa ke kamarnya di lantai atas.
Aih. Pasti Tuan Galang akan membuat Tuan Aldo menderita kali ini, batin Hilman.
Dia melihat Galang menggendong Luna dan menaiki tangga, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.
______
Galang membaringkan tubuh Luna di ranjang dengan hati-hati, kemudian mengambil kotak obat dan segera mengganti perbannya, sebelum itu dia sudah mengolesi lukanya dengan salep.
Pria itu merawat Luna dengan hati-hati dan telaten. Tidak peduli seberapa marah dirinya tadi pada Luna yang tampak akrab dengan Aldo, dia masih mengkhawatirkan gadis itu yang sedang cedera kakinya.
Luna yang sedari tadi diam, akhirnya berbicara, "Kenapa kau begitu Paman Aldo? Apa kau marah padaku dan melampiaskannya pada Paman?"
"Ya" ujar Galang singkat.
Dia cemberut saat mendengar jawaban singkat itu. Sudah dia duga pria itu akan seperti ini.
Saat memikirkan sesuatu, dia menyeringai pada Galang dan bertanya padanya, "Jadi, apa Paman mengakuinya?"
Galang menaikkan kedua alisnya dan memandang Luna dengan bingung."Akui apa?"
Luna membuka syalnya dan menunjukkan bekas kemerahan di lehernya pada Galang. "Bukankah ini perbuatanmu?"
Kedua pipi Galang perlahan memerah saat melihat kissmark itu. Dia berdehem sebentar, kemudian berkata, "Siapa yang menyuruhmu untuk merayuku duluan? Kau terus saja memelukku dan menggosok-gosokkan tanganmu di punggungku. Siapa yang tidak akan tahan?"
Luna melotot dan memandangnya dengan pandangan tidak percaya saat mendengar pengakuan pria itu.
Jadi, ini karena aku tidak sengaja memelukmu dan menyentuhmu?! batinnya kesal.
"Kenapa kau tidak membangunkanku?!" tanyanya kesal
Galang menjawabnya, "Kau berani berteriak padaku?!"
Luna cemberut dan berkata, "Apa kau memang pria gampangan? Kau juga akan tergoda jika wanita lain memeluk dan mengelusmu, begitu?!"
Gadis itu menyadari perkataannya dan terdiam.
Namun, Galang yang mendengarnya menjadi senang, dan dia tertawa, kemudian bertanya pada Luna yang kedua pipinya sudah memerah, " Kau cemburu?"
Luna langsung memalingkan mukanya, tidak ingin menjawab pertanyaan Galang karena dia sudah sangat malu sekarang.
Galang memalingkan muka gadis itu lagi, menunduk, naik ke ranjangnya dan menekan tubuh bagian bawahnya. Suaranya berubah serak saat mengatakan, "Apa kau merasakan itu? Aku hanya begini saat bersamamu."
Luna mengerti maksud dari Galang saat merasakan sesuatu yang keras menekan perutnya. Jantungnya berdebar dengan keras.
Gadis itu berdehem dan berkata dengan gugup, "K-kalau begitu kenapa kau memberikan ini di leher dan dadaku? Apa kau membiarkanku keluar dan memperlihatkan bekas kemerahan ini pada semua orang?!"
Galang menyipitkan kedua matanya dan menjawab, "Ya, memang."
Setelah itu, Galang menunduk dan menggigit kecil leher gadisnya.
Hal itu membuat Luna mengerang kesakitan.
"P-paman, apa y-yang kau … "
Luna berontak, namun Galang memeluknya dengan erat dan semakin kuat menghisap lehernya.
"Ehm … Paman .." erang Luna.
Galang tidak melepaskannya setelah cukup menggigit lehernya, lidahnya terus menjilati bekas gigitan itu.
Seluruh tubuh Luna bergetar saat merasakan sensasi aneh yang ditimbulkan karena Galang. Lehernya memang bagian sensitif tubuhnya, dan saat Galang menjilat dan mengecup nya, Luna tidak tahan.
Galang berhenti dan menatap kissmark barunya sambil tersenyum.
"Aku tidak menyesal melakukannya dan tidak marah padamu. Aku hanya mencoba membuktikan ucapanku padamu dan mempraktekannya."
Luna merinding saat melihat seringaian pria itu.