Deg-deg an.
Itu yang dirasakan Nadira hari ini. Dimana hari ini sudah hari Jum'at, hari dimana ia akan pergi dengan papanya dan bertemu omnya sendiri yang memegang sebuah perusahaan dalam bidang informasi dan komunikasi itu.
Nadira memakai kemeja wanita berwarna putih polos yang di bagian dada terdapat renda-renda kain sederhana seperti seorang sekretaris. Dipadu dengan jas berwarna cokelat susu. Bawahannya ia mengenakan jeans hitam dan memakai sepatu flat shoes hitam berbahan bludru. Karena papanya sudah bilang, jika nanti bekerja disana tidak diwajibkan memakai celana bahan.
Ya. Nadira kemarin memberi keputusan pada Pradipta bahwa ia memilih bekerja saja. Dan Pradipta maupun Meisya setuju dan selalu mendukung pilihan putrinya.
Dan sekarang, tepat pukul 10:00 pagi Nadira sudah siap. Dia agak nervous tentunya. Lagi, ia membenarkan kembali jam tangannya. Lalu kembali menyisir rambut lurus dan hitamnya yang sengaja ia gerai hari ini. Ia sengaja memotong rambutnya yang mulanya sepinggang, sekarang jadi sepanjang punggung atas saja.
Rambut bagian depannya ia ambil sedikit lalu ia jepit ke belakang dengan jepit rambut biasa berwarna hitam. Simple. Itu yang ada dalam pikirannya. Kemudian tangannya mengambil berkas yang sudah ia kumpulkan menjadi satu di dalam sebuah map berwarna hijau.
Langkahnya menuju keluar kamar dan tersenyum pada orang tuanya yang berada di ruang tengah. Rendra entah pergi kemana lagi karena lelaki itu sedang dalam masa banyak sekali tugas kuliah.
"Sudah siap?" Tanya Pradipta.
Nadira mengangguk yakin. "Sudah pa.. jadi, kita janjian bertemu dimana dengan om Brahma?"
"Di restoran Jepang. Sudah dia pesankan set meja makan untuk kita. Jadi kita tinggal datang nanti." Ujar Pradipta.
"Ya udah yuk berangkat sekarang." Ajak Dira disertai senyumnya yang merekah.
Meisya juga tersenyum lalu bangkit menghampiri putrinya dan sedikit membelai rambut Dira yang menjuntai ke depan pipi. "Kamu cantik sekali Dira. Mirip banget sama mama waktu masih muda. Semoga keputusan kamu benar ya, sukses sayang." Meisya menciumi pipi putrinya dan memeluknya.
Dira terkekeh kecil. "Udah kayak apaan deh ma.. seakan-akan Dira mau nikah aja diginiin."
"Ya gapapa dong sayang.. mama gak nyangka aja kamu sudah berpikir sedewasa ini untuk memilih bekerja. Padahal kamu masih umur 21 tahun loh.. masih muda banget." Ujar Meisya yang masih mengelus rambut putrinya.
"Ya sudah ayo kita berangkat. Om Brahma sudah menunggu disana katanya." Ucap Pradipta.
Dira mengangguk mantap.
*
Langkahnya kali ini terasa ringan. Tidak ada kesan berat sekalipun. Nadira merasa puas dengan keputusannya dan siap menanggung resiko saat bekerja nanti.
"Halo Nadira.. apa kabar kamu? Semakin cantik saja.." sapa Brahma yang sudah beberapa menit lebih dulu duduk di kursi yang ia pesan sendiri.
Dira tersenyum. "Baik om.. ah makasih, om juga bagaimana kabarnya?"
"Om baik juga Alhamdulillah.. gimana? Kamu siap untuk bekerja?"
Nadira mengangguk sebagai jawaban.
"Tapi kenapa tidak memilih ikut papa mu saja daripada ikut perusahaan om?" Tanya Brahma langsung.
"Dira awalnya punya niat cari kerja sendiri om. Karna Dira sadar Dira aja gak sampai punya pegangan S1 jadi Dira pikir Dira bisa cari kerja sendiri tanpa ikut perusahaan papa karna memang niat awal Dira adalah berdiri sendiri. Dan ternyata sampai di titik ini Dira belum bisa cari kerja semudah yang Dira kira."
Brahma mengangguk-angguk mendengar penjelasan Dira. "Begitu ya.. jadi, apa kamu siap om tempatkan di posisi mana saja?" Tanya Brahma mantap. "Kamu tidak keberatan kan mas Dipta?" Tanya Brahma pada Pradipta juga. Karena Brahma sedikit khawatir jika Pradipta akan protes jika putrinya akan di tempatkan di posisi yang tidak termasuk anggota penting bagian perusahaan inti. Mengingat Dira hanya mengambil kuliah sampai D3 saja.
Pradipta mengangguk. "Tidak apa Brahma. Semua sesuai keputusanmu. Karena ini pilihan Dira, aku disini hanya menemaninya saja menemuimu. Selebihnya ini urusan kalian berdua sebagai atasan dan bawahan. Aku tidak akan menuntut kalau Dira harus berada di posisi yang cukup mapan."
Brahma mengangguk paham. "Kalau begitu kamu Dira, bisa mulai bekerja hari Senin minggu depan ya. Di bagian umum dalam posisi Administrasi Umum tentang penerimaan dan pengeluaran data perusahaan. Bagaimana?" Tanya Brahma memastikan.
Entah mengapa Dira langsung suka pada jabatan itu. Dan dia langsung saja mengangguk. "Iya om Dira mau. Cara kerja pada jabatan itu juga tidak jauh dengan apa yang Dira pelajari dan praktekan saat kuliah."
"Baiklah. Dan di kantor bagian itu, kamu saya posisikan menjadi sekretaris pendamping kepala bagian umum ya. Kepalanya seorang wanita, hari Senin nanti akan saya kenalkan kamu sama dia. Ya karena kebetulan di jabatan itu pegawai yang dulu telah keluar dan kontrak kerjanya habis." Ujar Brahma.
Dira mengangguk paham. Sementara Pradipta menyesap teh hangat yang ia pesan.
"Satu lagi, di jabatan yang kamu pegang nanti kamu harus selalu siap dengan semua data atau berkas yang akan kamu terima ya. Jadi email harus kamu pantau terus, karena pegawai bahawan akan mengirim informasi surat-menyurat sebelum dikirim ke perusahaan langsung itu akan melalui kamu dulu. Dan juga kamu harus siap menerima semua data atau berkas yang masuk dan harus di bagikan ke semua divisi dengan tepat waktu ya. Di kantor bagian kamu bisa menyuruh seseorang untuk membagikan biasanya, tapi jika menumpuk kamu harus bisa turun tangan untuk membagikan berkas tersebut pada divisi atau bidang lain. Paham?"
"Iya. Dira paham om."
"Baiklah kalau kamu sudah tau cara kerjanya om sangat senang kamu bergabung dengan perusahaan om. Bisa om minta data kamu?"
Dira menyodorkan map hijau yang berisi berkas data miliknya. Ia berikan pada Brahma.
"Baiklah. Om akan konfirmasikan data kamu nanti agar segera bisa di accept langsung lewat sekretaris om disana."
"Iya om. Terima kasih ya.." ujar Dira dengan tersenyum.
"Haha iya sama-sama. Apa yang enggak sih buat keponakan om sendiri." Balas Brahma dengan senang hati.
"Terima kasih Brahma. Sudah mau menerima Dira di perusahaan mu. Semoga dia bisa membawa kesan dan karir yang bagus juga." Ucap Pradipta menengahi.
"Wah iya mas santai saja. Aku juga senang bisa membantu keponakanku sendiri. Ya sudah mari kita pesan makanan dulu." Ujar Brahma sebagai penutup pembicaraan formal ini.
Brahma adalah adik kandung Pradipta. Mereka terdiri dari empat bersaudara. Kakak laki-laki tertua mereka bekerja di pulau Sumatera. Pradipta anak nomor dua. Sementara Brahma anak paling bungsu. Anak nomor tiga adalah perempuan dan sudah menikah lalu ikut suaminya di pulau Jawa dan berada di kota Semarang. Jadilah hanya mereka berdua yang masih menetap di Jakarta. Dan disini hanya Pradipta yang menempati rumah asli mereka. Rumah ayah dan ibu mereka. Rumah warisan yang memang di turunkan untuk Pradipta. Sementara yang lain juga berupa rumah dan tanah.
***
"Jum'at ini pulang lo ada acara gak Sa?" Tanya Akbar.
"Gue ada berkas yang harus diproses nih Bar. Kayaknya gue lembur di rumah ntar."
Akbar mendengus kecil mendengarnya. "Yah padahal gue mau ajak lo nonton bareng sama Dinda juga Karin. Dindanya ama gue, nah lo ama Karin kan enak."
"Lain kali deh Bar. Gue lagi sibuk beneran ini." Ucap Angkasa sambil menatap layar laptopnya dan sesekali menyedot teh botol yang ia beli.
"Yah.. yaudahlah gue sama Dinda aja kalo gitu. Nanti kalo Karin ikut kan kasihan masa dia sendirian gitu. Tujuan gue aja mau pdkt ama Dinda." Ada nada kecewa terselip di akhir kalimat yang diucapkan Akbar.
Angkasa mendesah kecil lalu menutup layar laptopnya langsung. "Kenapa sih dimana-mana kalo mau ngajakin jalan gue selalu dicomblangin sama si Karin? Gak ada yang lain apa?" Protes Angkasa.
Akbar mengernyit. "Lah tumben lo protes? Biasanya nerima aja tuh."
"Gue capek Bar." Jawab Angkasa cepat.
"Capek kenapa? Capek suka sama Karin tapi Karin gak pernah suka sama lo?"
"Itu lo tau Bar."
Akbar menepuk bahu sahabatnya. "Denger ya, sebelum janur kuning melengkung, gak ada kata pasrah dong buat lo. Jodoh itu gak bakalan ketuker kok Sa.."
Angkasa menoleh lalu tersenyum kecewa. "Lo nggak ngerasain jadi gue sih. Gue selalu tau apa yang dia kerjakan, dia dimana, dia sehat apa sakit, dan... dia menjalin hubungan dengan siapa saja. Gue tau itu. Bahkan gue hafal mantan-mantan dia. Tapi, kenapa dia selalu nolak gue ketika gue nyatain perasaan gue? Bahkan pernah saat gue ingin mengulang pernyataan itu dia udah tau duluan. Dan jawabannya selalu sama. Katanya 'kita ini sahabat Sa.. aku kan udah bilang, kamu itu kayak abang aku sendiri' gitu Bar.. selalu sama jawaban Karin." Ujar Angkasa mengeluarkan keluh kesahnya.
Akbar mengangguk paham. "Ya bener juga sih. Dan kesimpulan yang gue dapat dari itu, cinta emang gak bisa dipaksain Sa.. mungkin Karin emang gak bisa untuk suka sama lo lebih dari sahabat. Biarkan aja waktu terus berjalan, lo juga bakal nemuin hati yang lain lagi kok."
Angkasa mengangguk paham.
"Yuk. Kita berangkat jum'atan dulu sob.. biar tentram hati kita.." ajak Akbar ramah.
Angkasa tersenyum dan mengangguk, lalu membereskan semua barangnya dan ia bawa dengan tas ransel berwarna coklat gelap.
***
"Iya. Begini. Resiko berat dalam posisi mencintai, harus siap sedia kalau hati kita harus sekuat baja. Apalagi saat posisi mata kita melihat dia dengan lainnya. Pastikan itu sakit. Sakit yang tak berdarah namun membekas pada ingatan."
Oktavia R