Rendra tidak ingat kapan terakhir kali ada orang yang berani menolak panggilan telepon darinya begitu saja. Setidaknya jika orang itu memang tidak bisa mengangkat telepon karena suatu hal, biasanya Rendra segera mendapat penjelasannya via pesan singkat. Kebanyakan malah langsung menelepon balik kurang dari lima menit kemudian.
Namun, Kirana tidak melakukan keduanya. Dia tidak memberikan penjelasan apapun setelah tidak mengangkat telepon via pesan singkat. Bahkan setelah lebih dari 15 menit berlalu, perempuan itu juga tidak menelepon balik.
"Kenapa aku ditolak?" Rendra bertanya pada dirinya sendiri. Suaranya lirih, tapi Bobby yang baru saja masuk ruangan Rendra masih bisa mendengar dengan lumayan jelas.
Bobby tentu saja penasaran. Siapa yang menolak bosnya? Perempuan bernama Kirana itu lagi?
Hanya saja, bukan itu tujuan utamanya menemui Rendra sekarang. Ada hal lain yang harus dia laporkan, yakni rencana wawancara ekslusif bosnya bersama Solidnews.
"Bos, saya sudah minta reporter tadi untuk mengirimkan rencana daftar pertanyaan untuk wawancara besok lusa. Saya juga jelaskan apa saja yang sebaiknya tidak ditanyakan selama wawancara."
"Mereka hanya akan membuat artikel profil, kan? Pertanyaannya sudah bisa ditebak. Saya cuma minta kamu atur jadwalnya, bukan apa yang akan mereka tanyakan. Beberapa wartawan tidak suka kalau terlalu diatur seperti itu. Lagi pula ini bukan bagian dari proyek kerjasama iklan atau semacamnya. Dengan alasan itu, mereka akan semakin tidak suka."
"Sebelum wawancara inti, mereka berencana melakukan siaran langsung selama kira-kira 10 menit via media sosial. Memang maksudnya hanya perkenalan, tapi saya hanya ingin memastikan mereka tidak bertanya sesuatu yang tidak seharusnya."
"Misalnya?"
Bobby tidak langsung menjawabnya. Apa Rendra benar-benar tidak tahu atau hanya sedang mengetesnya?
"Pak Rendra kapan menikah?" tanya Bobby tiba-tiba.
"Hah?"
"Misalnya pertanyaan itu. Saya tahu Bos paling benci kalau ditanya seperti itu," kata Bobby sambil tersenyum kemudian.
"Senyum kamu terlihat menghina sekali, ya, Bob," ucap Rendra dengan memasang wajah datar.
Ekspresi Rendra tidak membuat Bobby takut, dia malah tertawa pelan. "Bos mau pulang sekarang? Mbak Kirana juga sebentar lagi katanya pulang. Mungkin Bos mau datang ke kantornya untuk sekali lagi mencoba mengajak dia makan malam bareng?"
Di kantor, hanya Bobby yang berani bersikap seperti ini di depan Rendra. Mungkin karena sudah saling mengenal sejak lama dan sangat memahami karakter masing-masing, Bobby tahu kapan dia bisa sedikit kurang ajar saat mereka hanya berdua.
Bobby memang bukan hanya sekretaris Rendra. Entah bagaimana ceritanya mereka bisa jadi sahabat. Itulah mengapa Bobby suka dan berani menggoda Rendra perihal asmara.
"Datang ke kantor Kirana? Apa saya harus berusaha sekeras itu? Berlebihan."
"Bos harus mendekati dia, kan? Tentu saja Bos harus berjuang lebih keras karena sebelumnya pernah mengabaikan dia."
***
Rendra hanya diam di dalam mobilnya, masih mempertimbangkan apakah dirinya benar-benar harus berbuat sejauh ini untuk mendekati Kirana. Bukankah mereka dijodohkan? Bukankah seharusnya semuanya bisa berjalan tanpa banyak perjuangan?
Iya, pada akhirnya Rendra pergi ke kantor Kirana, tapi hanya bertahan di parkiran. Dia sudah coba menelepon Kirana hingga dua kali tapi semuanya diabaikan. Mengapa perempuan itu terus menolaknya?
'Saya di parkiran kantormu. Pulang jam berapa?'
Rendra juga butuh waktu lumayan lama untuk benar-benar mengirim sebuah pesan singkat ke nomor Kirana. Selanjutnya, dia kembali tidak mengerti kenapa pesan itu tidak segera dibaca. Apakah Kirana sedang menguji kesabarannya?
Saat melihat kembali pesan yang belum dibalas di layar ponselnya, Rendra mendadak tertarik dengan riwayat percakapan mereka. Dia jadi menyadari jika selama ini memang sudah bersikap terlalu dingin dan cenderung mengabaikan semua pesan Kirana.
Bagaimana bisa dia hampir selalu hanya memberikan balasan berupa emoji atau stiker? Pantas saja sekarang giliran dia yang diabaikan. Sudah jelas ini karma.
Seseorang menelepon. Betapa senangnya Rendra saat melihat nama Kirana. Tunggu, kenapa dia harus sesenang ini?
"Mas ngapain ke kantor?" Kirana langsung bertanya tanpa basa-basi.
Rendra merasa kedatangannya tidak membuat Kirana senang. "Mau makan malam bareng?"
"Mas Rendra lupa saya kemarin bilang apa? Saya sibuk, sudah ada janji dengan orang lain. Mas pikir saya nggak serius soal itu?"
Rendra diam. Harus bagaimana menanggapi sikap ketus Kirana?
"Maaf, Ran. Maaf soal kemarin."
Kali ini, gantian Kirana yang terdiam. Dia sebenarnya sudah ada di parkiran dan melihat di mana Rendra memakirkan mobil. Dia tidak berbohong. Nyatanya, dia memang ada janji dengan orang lain.
Tunggu, bukannnya Kirana sedang marah? Kenapa sekarang rasanya tidak tega jika dia mengabaikan Rendra begitu saja?
"Mas mau gabung? Nggak masalah kalau makan malam bertiga?"
Rendra sungguh-sungguh tidak mengerti mengapa dia mengiyakan tawaran Kirana dengan begitu cepat. Begitu telepon dimatikan, dia baru sadar. Jadi, Kirana sudah janji makan malam dengan siapa? Bagaimana jika dia malah menjelma orang ketiga?
***
Kirana biasa mengendarai motor ke kantor. Beberapa saat yang lalu, dia juga akan menuju sebuah kafe di sekitar Jalan Kaliurang dengan menunggangi motornya itu.
Hanya saja, karena Rendra tiba-tiba datang, Kirana berpikir kalau sebaiknya dia ikut bersama pria itu. Bukan karena Kirana sudah luluh, dia bertekad bahwa itu hanya demi kesopanan.
Motor Kirana berakhir dititipkan di kantor. Besok dia bisa berangkat naik ojek online. Tentu saja dia tidak berniat meminta Rendra mengantarkannya, walau semestinya pria itu sadar diri. Iya, kan?
"Makan malam sama siapa?" Rendra membuka obrolan terlebih dahulu.
"Editor," jawab Kirana singkat.
"Editor mau ketemu editor? Ngapain?"
"Buku. Saya bikin buku. Dia editor buku saya."
Rendra tahu jika Kirana suka menulis fiksi karena perempuan itu beberapa kali mempromosikan karyanya di media sosial. Namun, cuma itu saja yang Rendra tahu. Dia belum pernah membaca kisah seperti apa yang ditulis Kirana.
Suasana kembali hening. Rendra tidak tahu harus berkata apa lagi untuk melanjutkan obrolan mereka. Haruskah dia bertanya tentang tema buku yang ditulis Kirana? Namun jika tanggapannya kembali tidak hangat, harus bagaimana selanjutnya?
Sejujurnya Kirana merasa sangat canggung. Jika dipikir-pikir, sebenarnya sikap dia kemarin memang berlebihan. Masalahnya cuma sederhana, dia berharap apa yang dikatakan Rendra soal pilihan terbaik itu bukan berasal dari orang lain, melainkan Rendra sendiri.
Mengapa hal seperti itu saja tidak bisa dipahami Rendra? Mengapa Rendra membuat suasana hatinya memburuk waktu itu?
Kirana sering menyebut Firda terlalu drama, padahal dirinya sendiri juga sama. Hanya caranya saja yang berbeda. Firda sangat ekspresif, sedangkan Kirana diam-diam sensitif.
"Kirana, saya boleh tanya sesuatu?" Rendra kembali bersuara. "Mungkin ini terdengar sepele tapi saya benar-benar ingin tahu."
Apa yang ingin Rendra ketahui? Kirana menoleh ke arah pria yang sedang menyetir di sampingnya, tapi dia tidak mengatakan apapun.
"Kenapa tadi sore kamu tidak mengangkat telepon saya? Entah kenapa saya merasa seperti sudah ditolak mentah-mentah, padahal baru mulai melangkah."