Chereads / Broken White / Chapter 29 - Kesalahan Besar

Chapter 29 - Kesalahan Besar

Rendra merasa bersalah ketika muncul perasaan lega karena ponselnya tidak kembali berdering. Dia sungguh tidak berani mengangkat telepon dari Kirana setelah membuat Maria terbaring di ranjangnya.

Pria itu lalu menghela napas kasar saat menyadari bahwa hampir seluruh kancing kemejanya terlepas. Apa dia sudah benar-benar gila? Bagaimana jadinya jika Kirana tidak tiba-tiba meneleponnya tadi? Apakah dia sungguh-sungguh akan menikmati malam yang panas bersama mantan istrinya?

Rendra buru-buru mengancingkan kembali kemejanya. Namun, gerakannya terhenti karena Maria datang dan memeluknya dari belakang.

"Siapa yang telepon? Bobby?" tanya Maria dengan suara yang terdengar begitu lembut. "Apa kalian selalu kerja hingga larut malam?"

Rendra menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia harus bisa mengendalikan diri agar tidak melakukan kesalahan besar lainnya.

"Kamu harus pulang," kata Rendra dengan suara yang masih terdengar parau.

Berdua di satu kamar yang sama dengan Maria benar-benar berbahaya. Rendra menyesal. Seharusnya dia tidak mengizinkan wanita itu masuk sejak awal.

"Aku mau di sini sama kamu," balas Maria yang kini asyik menciumi punggung Rendra.

"Oke kalau itu maumu...."

Maria tersenyum mendengarnya. Namun, apa yang terjadi setelahnya ternyata bukanlah sesuatu yang dia harapkan. Rendra tiba-tiba melepaskan diri dari pelukannya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Rendra berpaling dari Maria. Dia menyambar jasnya yang tergeletak di ranjang dan bergegas pergi.

"Kamu ngapain? Mau ke mana?" Maria terlihat panik karena Rendra terlihat jelas buru-buru meninggalkan dirinya.

"Kamu boleh tetep di sini, tapi itu artinya aku yang harus pergi."

***

Bobby masih mengenakan piyama bermotif polkadot saat merasa harus mencari bosnya selepas subuh. Untungnya, tadi dia masih ingat untuk mengenakan jaket sehingga selamat dari ancaman mati kedinginan karena berkendara di jalanan Ibu Kota sepagi ini.

Saat tiba di gedung perkantoran Mandala Group, seorang satpam yang bertugas jaga malam segera menyambut Bobby. Pria itu menjelaskan kembali apa yang terjadi beberapa jam lalu, sesuatu yang sebelumnya juga sudah dia laporkan kepada Bobby via pesan singkat.

Tak sampai lima menit kemudian, Bobby sudah tiba di ruangan Presiden Direktur Mandala Property Land. Dia menghela napas saat menemukan Rendra sedang tidur di sofa dengan posisi yang jauh dari kata nyaman.

Bobby memungut jas bosnya yang tak sengaja terinjak saat dia berjalan mendekati sofa. Dia sengaja tidak menyalakan lampu karena tak ingin mengganggu Rendra.

Rendra masih mengenakan baju yang sama seperti kemarin. Pria itu tampak kacau. Dia bahkan tertidur tanpa melepas sepatunya. Aroma menyengat khas minuman beralkohol juga cukup mengusik indera penciuman Bobby.

Setahu Bobby, Rendra sudah cukup lama berhenti mengonsumsi minuman beralkohol. Jadi, apa yang membuat kebiasaan buruk itu mendadak kembali?

Bobby sepenuhnya yakin tidak ada masalah apa pun kemarin. Rendra bahkan tidak mengeluh kelelahan meski pekerjaan seolah tak ada habisnya. Lalu, kenapa Rendra tiba-tiba berakhir tidur di kantor dalam kondisi yang bukan tipikalnya sama sekali?

"Entah kenapa, Bos kelihatan kayak orang patah hati...."

***

Rendra merasakan pusing dan mual saat bangun tidur. Dia juga terlihat bingung karena mendapati dirinya ada di atas ranjang kamar hotel, bukan kantor.

Biarpun mabuk, Rendra masih bisa mengingat dengan jelas jika semalam dia benar-benar tak ingin kembali ke hotel setelah menenggak beberapa gelas minuman keras di bar. Seingatnya, dia memilih pergi di kantor.

"Selamat pagi, Bos. Tidur nyenyak?"

Rendra kembali memejamkan matanya begitu mendengar suara Bobby. Berbeda dengan dirinya yang masih acak-acakan, sang sekretaris sudah berpakaian rapi.

"Jam berapa ini, Bob...?"

"Hampir setengah sembilan."

Mata Rendra langsung terbuka sepenuhnya begitu mendengar jawaban Bobby. Dia buru-buru bangkit, lalu berjalan sempoyongan menuju kamar mandi.

"Santai, Bos. Saya sudah mengatur ulang jadwal Bos hari ini," kata Bobby dengan agak berteriak, memastikan sang bos bisa mendengarnya.

Bukan ucapan terima kasih atau semacamnya, Bobby malah mendengar suara mengenaskan Rendra dari dalam kamar mandi. Sesuai dugaannya, sang bos berakhir muntah-muntah karena kebanyakan minum semalam.

Ini masih terbilang pagi, tapi Bobby entah sudah menghela napas berapa kali sejak subuh tadi.

"Bekerja di akhir pekan nggak pernah terasa menyenangkan, apalagi kalau bosnya pakai acara abis mabuk-mabukan kayak begini...," keluhnya.

***

Rendra duduk bersandar di sofa setelah selesai bersiap-siap. Dia mencoba mengingat seberapa banyak minuman laknat yang masuk ke perutnya tadi malam. Mengapa dia masih merasa tidak baik-baik saja meski sudah minum obat dan menyantap makanan pereda mabuk?

"Bos, ada sesuatu yang bikin saya penasaran."

"Kamu mau tanya kenapa saya mabuk?"

Bobby menggelengkan kepala. "Menurut saya, pertanyaan itu otomatis akan terjawab jika saya tahu siapa pemilik benda ini."

Bobby meletakkan sebuah anting dengan bandul mutiara di meja sofa. Awalnya Rendra merasa asing dengan benda itu. Namun sejurus kemudian, pria itu malah kembali terbayang adegan saat dia hendak mencumbu leher mantan istrinya.

'Sialan!' umpat Rendra dalam hati.

Perhiasan tersebut berubah menjadi sangat familiar di mata Rendra. Bukankah itu adalah anting yang dikenakan Maria tadi malam? Kenapa Bobby bisa menemukan benda semacam itu di kamarnya?

"Bos semalam bawa masuk perempuan, ya? Saya nggak sengaja lihat benda ini di lantai dekat kasur. Jelas bukan punyanya staf hotel, kan?"

Rendra mengusap wajahnya kasar karena merasa frustasi. Terlalu enggan menjawab pertanyaan sekretarisnya, Rendra langsung berdiri dan berjalan menuju pintu kamar.

"Ayo, Bob. Berangkat sekarang aja."

Jika Rendra pikir mengabaikan pertanyaan Bobby adalah keputusan terbaik, itu jelas salah besar. Bobby tentu saja tidak akan gampang menyerah. Sebelum mendapatkan jawaban yang diharapkan, dia bakal mencari celah untuk menanyakannya lagi dan lagi.

"Jadi, siapa, Bos?"

Benar saja, begitu masuk lift, Bobby kembali bertanya soal anting mutiara yang dia temukan di kamar Rendra. Bobby berani melakukannya karena kebetulan mereka hanya berdua di dalam lift.

"Saya tahu Bos tentu punya privasi yang tidak ingin dibagikan kepada siapa pun. Saya hanya perlu memastikan bahwa perempuan itu tidak berpotensi merusak reputasi Bos. Saya cuma berharap Bos tidak terlibat cinta satu malam dengan wanita sembarangan dalam keadaan mabuk."

"Kamu tidak bisa menyebutnya wanita sembarangan. Dia anak bungsu Bos Besar."

Anak bungsu Bos Besar? Bobby merutuki otaknya yang terlalu lambat mencerna ucapan Rendra.

Begitu tersadar, pintu lift sudah terbuka dan Rendra langsung berjalan keluar lebih dahulu. Dia meninggalkan Bobby yang seketika panik dan berusaha mengejar sang bos.

"Semalam ada mantan istrinya Bos? Datang jam berapa?" tanya Bobby dengan suara pelan tapi terdengar begitu antusias.

Pertanyaan Bobby dianggap angin lalu oleh Rendra. Dia malas mengingat kembali apa saja yang telah terjadi semalam.

Mereka akhirnya sampai di depan lobi. Bobby refleks segera berjalan mendahului Rendra untuk membukakan pintu mobil yang memang disiapkan untuk sang bos.

Seolah tak ingin menyiakan peluang sekecil apa pun, sebelum menutup pintu mobil, Bobby curi-curi kesempatan untuk bertanya, "Antingnya tidak mungkin jatuh begitu saja, Bos. Apa kalian bertengkar?"

Rendra menghela napas. Terkadang, ada momen di mana dia sangat ingin memecat Bobby. Contohnya adalah sekarang.

"Bertengkar? Kami justru nyaris bercinta...."