Desiran angin terdengar lembut melewati telinga. Hembusannya cukup pelan untuk dapat menjatuhkan daun-daun hijau yang masih bertengger kuat, namun cukup kencang untuk merontokkan pohon-pohon yang sudah menguning dan memunculkan ranting-ranting panjang. Matahari yang sedikit condong ke Barat, samar-samar menunjukkan sinarnya akibat terhalang oleh kumpulan awan kelabu. Sinar yang berhasil masuk ke dalam hutan, membentuk bayangan seperti jari-jari kering dan tajam akibat menyinari pohon-pohon yang sudah menggugurkan seluruh daunnya.
Sepasang insan sedang melintasi hutan tersebut untuk mencari suara yang didengar oleh salah satu dari mereka saja. Satunya lagi yang kini sedang berbadan dua, hanya mengikuti ke mana pemuda di depannya itu melangkah. Dering ponsel yang tiba-tiba saja berbunyi dari dalam tas selempang rajut, membuat wanita itu memekik sekilas dan semakin erat menggenggam lengan pemuda yang menuntunnya jalan.
"Tenang, Cathrine. Ponselmu berdering."
"Ah... i-iya, maaf, Chip." Cathrine segera mengambil ponselnya dari dalam tas dan menerima panggilan masuk dari Kimberly. "Ha-halo, Kim?"
"Kalian di mana?"
"Kami... ka-kami ada di--" Cathrine tidak melanjutkan kalimatnya. Ia cukup sulit untuk berbohong dalam keadaan takut.
Chip menjulurkan tangan kanannya dan Cathrine memberikan ponselnya pada Chip. "Kimberly, aku ada sedikit urusan. Jadi mungkin besok atau nanti sore kami akan menjenguk mereka," jelas Chip.
"Urusan apa? Kalian di mana? Kenapa suara Cathrine terdengar ketakutan?!" Semakin lama suara Kimberly semakin meninggi sampai-sampai Chip menjauhkan ponsel itu dari telinganya.
"Jangan khawatir, nanti aku jelaskan. Bye, Kim." Chip memutus hubungan telepon sepihak. Ia langsung menonaktifkan ponsel itu supaya Kimberly tidak mengganggunya. "Kau baik-baik saja?" tanya Chip sambil mengembalikan ponsel Cathrine.
"I-iya aku baik-baik saja," jawab Cathrine dengan suara bergetar.
Chip benar-benar merasa kasihan melihat kondisinya sekaligus merasa bersalah karena membawanya masuk ke dalam hutan. Ia juga tidak tega meninggalkan Cathrine di dalam mobil, takut-takut ada penjahat di jalanan yang lengang itu. Kalau saja Alice masih bisa memberinya waktu, ia pasti sudah memulangkan Cathrine terlebih dahulu.
"Hmm... Cathrine, sebenarnya apa yang membuatmu ketakutan?" tanya Chip penasaran.
"Aku takut ada serigala atau hewan buas," jawabnya.
"Ooh, kukira apa," kata Chip. "Tenang saja, serigala biasa berburu waktu malam. Saat ini mulai memasuki musim dingin juga dan kebanyakan mamalia mulai bersiap untuk hibernasi," jelasnya.
"Benarkah?"
"Iya," jawab Chip mantap.
"Syukurlah." Cathrine membuang napas lega. Tiba-tiba langkah Cathrine berhenti karena mendengar sesuatu.
"Ada apa?"
"Apa kau tidak mendengarnya?" heran Cathrine. "Ada yang menangis."
"Siapa? Aku tidak mendengar apapun," timpal Chip.
Cathrine tidak menghiraukan Chip dan ia memilih untuk menghampiri sumber suara itu. Suara tangisan anak kecil yang cukup membuar Cathrine khawatir.
"Cathrine! Tunggu!"
(Chip! Cepat tolong aku!)
Suara Alice di pikirannya menghentikan langkah Chip dan membuatnya sedikit bimbang. Tidak perlu waktu lama bagi Chip untuk memutuskan. Keselamatan Cathrine lah yang diutamakan untuk saat ini.
Akhirnya Chip dapat mengejar Cathrine yang sudah berhenti. Ia pun segera menghampirinya dan melihat apa yang wanita itu lihat.
Seorang gadis kecil menunduk dalam dan menangis tersedu dengan dua kakinya terpasung. Wajahnya tak terlihat sama sekali karena tertutup rambut panjangnya yang kusut. Gaun cokelatnya yang lusuh dan compang-camping menimbulkan rasa iba dalam diri Cathrine.
"Chip, apa kau melihatnya? Ada gadis kecil yang dipasung!" Cathrine hendak menghampiri anak itu dan mencoba menolongnya, tapi Chip menyambar tangan Cathrine dan menahannya.
"Jangan ke sana!" peringat Chip.
"Kenapa? Kasihan anak kecil itu." Cathrine heran dengan tatapan Chip yang menajam. Ia pun mengikuti arah pandang Chip, yaitu di balik pohon yang berada di sebelah anak itu di pasung. Tapi tidak ada apa-apa di sana. "Chip?"
"Cathrine, kita pergi dari sini." Chip segera merangkulnya dan membawanya pergi dari tempat itu.
"Tapi kenapa? Jelaskan padaku apa yang kau lihat," pinta Cathrine sambil sedikit memelas.
Chip menghela napas dan dihembuskan perlahan sambil merangkul Cathrine semakin erat agar ia tidak kabur lagi. "Kau tahu, yang kau lihat itu sebenarnya sudah tidak bernyawa."
"Benarkah? Ahh Chip, aku ingin melihatnya lebih dekat!" Bukannya takut, Cathrine semakin antusian untuk ke tempat itu kembali.
"Kubilang jangan!" bentak Chip. Ia tersentak karena sudah kelepasan. "Ah... maaf, aku tidak bermaksud membentakmu, " ucapnya cepat.
Cathrine terdiam, menunggu respon selanjutnya.
"Ada sosok nenek tua dari balik pohon sebelah anak itu. Matanya hitam seperti lubang dan dia tersenyum mengerikan ke arahmu, Cath," jelas Chip. "Aku tidak tahu mereka siapa. Tapi kalau sampai kau mendengar atau melihat sesuatu yang seharusnya tidak dapat dilihat, biasanya itu cukup berbahaya untukmu. Jadi sebaiknya kita menjauh saja."
"Ooh begitu, maaf sudah merepotkanmu." Cathrine tertunduk menyesal. Chip tersenyum lembut ke arah Cathrine yang akhirnya mau menuruti perintahnya.
(Oh ayolah, kenapa kalian berdua tidak menikah saja?)
Mendengar suara Alice yang tiba-tiba saja melintas di pikirannya cukup membuat Chip merona karena malu.
"Ini bukan urusan anak kecil sepertimu!" Chip yang membentak tiba-tiba membuat Cathrine kaget dan menatapnya cemas. Takut-takut ia melakukan sesuatu yang tidak disukai Chip
"Ma-maaf lagi," gugup Cathrine sambil sedikit menjauh darinya.
Menyadari kesalahan itu, Chip langsung meminta maaf balik dan sedikit salah tingkah. "Ka-kau tidak mengerti. Tadi Alice--maksudku dia... arwah tadi...," Ia kesulitan dalam menyusun kalimat. "Intinya bukan salahmu, Cath! Ini salah Alice!"
Mulut Cathrine membulat setelah mendengar nama yang ia kenal. "Ohh Alice. Kenapa Alice bisa di sini?"
"Aku juga tidak tahu. Sebaiknya kita cepat menemukannya sebelum langit mulai gelap."
•••
Setelah hampir satu jam mereka mengelilingi hutan, akhirnya sosok yang dicari ketemu juga. Cathrine terbelalak melihat sebuah rantai yang terikat di cabang pohon, bergerak-gerak sendiri. Ia tidak dapat melihat apa yang terikat di ujung rantai itu. Dan ia yakin kalau logam berkarat itu bergerak karena ada sesuatu yang digantungkan oleh rantai tersebut.
Berbeda sekali dengan Chip. Dari balik kacamatanya, ia dapat melihat sesosok gadis berambut cokelat sepinggang dan bergaun putih dililit seluruh tubuhnya oleh rantai. Chip tidak langsung menyelamatkannya karena ia melihat ada tiga arwah tepat di bawah gadis itu tergantung.
Arwah seorang wanita dengan bagian bawah tubuh hangus dan bagian atas tubuh banyak kulit yang mengelupas akibat terbakar. Menyisakan kepala dan dua tangannya yang sedikit lebih utuh. Arwah seorang pria dengan dua lubang besar yang merenggut penglihatannya. Arwah itu meraba-raba angin di atasnya. Juga arwah pria dengan dua tangan yang terlihat sudah remuk.
Mereka bertiga tampak meraih-raih gadis itu, namun tidak ada yang bisa. Chip tidak tahu apakah mereka bertiga baik atau tidak.
"Cepat lepaskan aku!"
"Kau yakin, Alice?"
Gadis itu mengangguk. "Iya. Mereka ada di pihak kita."
Tiga arwah itu mendadak menolehkan kepala ke arah Chip. Mereka tidak mengatakan apapun, hanya memberikan ekspresi hampa yang tidak ia pahami.
Arwah wanita itu menyeret tubuhnya dengan dua tangan untuk mendekati pemuda yang dapat melihatnya. Chip meminta Cathrine untuk berdiri di belakangnya. Ekspresi wanita itu semakin jelas terlihat ketika jarak antara mereka terkikis. Dari balik rambut pirang sepundak dengan potongan berantakan karena terjilat api, tampak sepasang mata biru yang menyiratkan kesedihan mendalam.
Tangan kanannya yang mengelupas, terangkat ke arah Chip. Ia memberikan sebuah kunci padanya.
"Tolong kami…"
Chip tertegun saat mulut wanita itu bergerak dan mengeluarkan suara. Tidak ada kebohongan yang terdengar dari suara bergetar ketakutan itu. Mereka benar-benar butuh pertolongan. Tapi dari apa?
"Mereka adalah The Cursed."
"The Cursed?" tanya Chip sambil menerima kunci itu menggunakan tangan kanan.
"Tolong lepaskan aku dulu. Rantai kutukan ini membuatku tidak nyaman bicara. Aku tidak tahu dari mana Lizzie mendapatkan rantai ini," pinta Alice.
"Ehmm…" Chip melihat tangan kirinya yang masih diperban. Walau sudah cukup bisa digerakkan, dokter menyarankan untuk tidak terlalu sering mengandalkan tangan kirinya. Sedangkan untuk membebaskan Alice, ia perlu menjatuhkannya dulu agar ia dapat membuka gembok yang mengunci rantai di tubuhnya.
Satu-satunya cara yang terlintas di benaknya adalah mematahkan cabang pohon yang menggantung rantai itu. Untuk saat ini, Chip terlalu sulit untuk memanjat karena tangan kirinya yang tidak bisa digunakan, juga beberapa luka di kakinya yang belum sembuh benar untuk bisa memanjat.
"Biar aku saja yang panjat," tawar Cathrine sambil mendekati batang pohon itu.
"Bukankah kandunganmu sudah 5 bulan? Apa tidak apa-apa kalau kau memanjat? Nanti kalau bayimu kenapa-kenapa, bagaimana?" cecar Chip.
"Sudah 6 bulan." Cathrine menggulung lengan mantel dan menaikkan rok hingga terlihat celana panjangnya. "Kau lupa kalau aku dulu dapat julukan 'Climbing Girl' karena tidak ada pohon yang tidak aku panjat di panti asuhan? Selama trimester pertama, sudah ada beberapa pohon yang berhasil aku panjat. Mungkin kenakalanku ini yang buat Theo menceraikanku hehe…" Ia tertawa miris sejenak sebelum mulai memanjat.
"Alasan paling tidak masuk akal untuk bercerai, dan aku yakin bukan itu alasannya. Jangan salahkan dirimu lagi, Cath. Kau hanya korban dari rentenir brengsek itu," kesalnya. Ia tahu kisah rumah tangga Cathrine itu setelah mendengar ceritanya selama di perjalanan mobil tadi.
"Terima kasih… Chip." Suaranya terengah. Padahal ia baru saja setengah jalan, namun ia tak menyangka akan selelah ini.
Cathrine mengatur napasnya untuk bisa lebih tenang dan memusatkan tenaganya pada cengkraman tangan juga capitan kaki.
Pikirannya memutar kilasan masa lalu ketika dirinya sedang memanjat pohon apel sambil menggendong tas berisi buku-buku tebal. Ia nekat melakukan itu untuk dapat menunjukkan buku barunya pada Chip yang senang membaca buku di atas pohon. Kebetulan ketika itu ia juga menemukan Thomas yang baru bisa memanjat. Cathrine melihat kegugupan Thomas sebagai rasa takut akan terjatuh karena ini pertama kalinya ia dapat duduk di salah satu cabang pohon apel. Sampai saat ini, Cathrine tidak pernah tahu kalau Thomas gugup karena kehadirannya yang tiba-tiba.
Kira-kira seperti itu lah beban yang sedang Cathrine rasakan saat ini ketika memanjat. Bedanya di letak bebannya saja. Dan akhirnya ia pun sampai di tujuan. Pangkal cabang pohon itu ternyata hampir patah. Ia berdiri di cabang pohon di sebelahnya yang masih kokoh, lalu menginjak-injak cabang pohon tersebut sambil berpegangan pada batang pohon.
"Chip, nanti tangkap aku ya," pinta Alice.
"Kesalamatan yang bernyawa lebih penting daripada yang tidak bernyawa," tolak Chip tanpa melepas pandangan dari Cathrine.
Mulut Alice menekuk ke bawah. Ucapannya memang tidak salah. Jadi, ia menyiapkan dua kakinya untuk pendaratan yang agak kasar nanti.
Crack!
Pangkal cabang pohon akhirnya patah. Alice belum siap mendarat, tapi untungnya ia ditangkap oleh arwah pria tanpa mata yang menunggu di bawahnya dan diarahkan oleh arwah pria tanpa tangan itu. Wujud mereka menembus cabang pohon yang jatuh, namun tidak dengan rantainya.
Setelah memastikan Cathrine berpijak pada tanah tanpa luka, Chip membuka gembok yang mengunci rantai itu.
"Wuah senangnya bisa bebas." Alice meregangkan tubuhnya sejenak.
"Jelaskan apa itu The Cursed," tuntut Chip.
Alice menunjuk ke tiga arwah tadi. "The Cursed itu mereka. Korban yang dibunuh oleh Lizzie secara langsung atau tidak langsung. Jika sosok terakhir yang manusia lihat sebelum kematiannya adalah Lizzie, mereka akan jadi terkutuk. Arwahnya tidak dapat tertidur tenang. Seperti terjebak dalam mimpi buruk yang terus berulang."
Pandangan Chip pada mereka langsung berubah miris. "Bagaimana cara membebaskan mereka?"
"Arwah yang dendam sekali dengan Lizzie berkata kalau membunuh Lizzie adalah cara yang tepat. Tapi aku berpikir tidak semudah itu caranya. Karena yang aku lihat, Lizzie juga termasuk arwah yang tidak mungkin bisa mati lagi—"
"Aku tidak yakin arwah biasa dapat memberi kutukan pada arwah manusia begini dan berakhir diburu oleh mereka untuk memenuhi hasrat dendam mereka," sela Chip.
Alice sedikit terbelalak. Baru sadar akan sesuatu. "Oh iyaa… benar juga. Aku jarang sekali bersama Lizzie sejak aku sakit. Tapi sepertinya dia melakukan sesuatu di kamarnya selain melukis Thomas." Ia menggeleng cepat. "Eh bukan. Bukan di kamarnya. Tapi di kamarku!" serunya.
"Apa yang dia lakukan?"
Sambil mengusap dagu, Alice berpikir keras. Mengingat pecahan masa lalu untuk menjawab pertanyaan itu. "Dia pernah bilang kalau dia menjual jiwanya."
Mata hijau Chip mengedip beberapa kali dan mulutnya juga terbuka. "Kau bilang… Lizzie menjual jiwanya?"
Alice mengangguk. "Aku tidak terlalu paham maksudnya apa dan tidak tahu juga dijual ke siapa… tapi mungkin itu sebabnya muncul The Cursed."
"Astaga..." erang Chip sambil memijit tulang hidung. "Dia pasti menjual jiwanya ke Iblis."
"Manusia bisa jual jiwa ke Iblis?" Alice sedikit memiringkan kepala.
"Iya memang bisa. Kau tidak tahu?" herannya. Alice hanya menggeleng polos. Setelah dilihat penampakannya yang masih berumur sekitar 12 tahun itu, Chip mewajarkan saja ketidaktahuannya.
"Apa itu berbahaya?"
"Sangat berbahaya. Kau akan mendapatkan apapun yang kau mau, tapi risikonya kehidupanmu akan terkutuk selamanya dan berakhir kematian. Bahkan setelah kematian pun, kau bakal jadi budak Iblis itu. Lalu untuk kasus Lizzie ini…" Chip menggantungkan kalimat. Berpikir sejenak. "Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa membuat kekacauan sampai sekarang setelah jiwanya terjual. Apalagi dia bisa membuat The Cursed juga."
"Hmm… Apa mungkin ini ada sangkut pautnya dengan balas dendam dia ke Nataline?" terka Alice.
"Oh iya, bisa jadi." Chip menoleh ke wanita yang dari tadi duduk di tanah bersandar pohon. "Cath, apa kau masih menyimpan buku tebal itu?"
"Buku tebal mana?"
"Itu… Buku-buku tebal tentang iblis yang pernah kau tunjukkan padaku dan Thomas waktu kita masih di panti. Ehmm… itu sudah lama sekali sih. Tapi kira-kira kau masih menyimpannya, tidak?"
Cathrine mengingatnya dalam sekejap karena ia baru saja bernostalgia di masa-masa itu. "Ohh serial Seven Demons. Sepertinya masih ada. Memang kenapa?"
"Aku mau pinjam—"
"Chip, kupikir sebaiknya sekarang kita cari Thomas dan Lizzie dulu lalu mengamankan mereka. Aku punya firasat sangat buruk kalau sampai mereka berdua berhasil membunuh Nataline."