Chereads / Revenge Of The Black Hare / Chapter 4 - Hate Makes Everything Bad

Chapter 4 - Hate Makes Everything Bad

Sinar mentari yang masuk melewati pintu yang terbuka lebar, membuat Si Kelinci harus membuka matanya.

"Hati-hati! Ada barang kaca punya saya!"

"Iya, Nyonya."

Barang-barang kardus di sekitarnya mulai bergerak. Kelinci itu semakin masuk ke dalam kontainer, menghindari dua orang yang mengambil satu per satu barang itu. Beberapa menit kemudian, sudah tidak terasa pergerakan lagi. Ia aman di belakang kardus kecil di sudut belakang.

"Sudah semua?"

"Iya sudah, Tuan."

Lelaki berjanggut tipis dengan struktur wajah yang tegas itu mengedarkan pandangan ke dalam kontainer. Matanya menyipit ke arah kardus yang tersamar oleh bayangan di sudut kontainer. Lalu, ia masuk dan mengambil kardus itu. Dan saat itu lah, Si Kelinci berada dalam genggamannya.

"Maaf atas ketidaktelitian kami," sesal kurir bertopi kuning itu.

"Tidak apa, asal kelinci ini menjadi milikku." Lelaki itu tertawa pelan sambil menunjukkan kelinci yang ditemukannya.

"Terserah anda saja, karena Itu bukan milik kami. Mungkin itu kelinci yang tersesat," katanya.

"Ooh baiklah." Lelaki itu memberikan tip.

"Terima kasih." Lalu kurir itu pun melesat dengan truknya.

Lelaki itu tersenyum sambil memandangi kelinci yang bergerak-gerak seluruh tubuhnya dan ingin melepaskan diri. Ia tidak tahu kalau Thomas tidak tahan dengan telinganya yang serasa seperti ditarik keras gara-garanya.

•••

"Kau pasti akan menjadi hadiah favorit cucuku," gumamnya setelah ia memasukkan kelinci itu ke dalam sangkar besi.

"Mac! Tolong ke dapur sebentar!" Terdengar suara wanita yang cukup keras dari arah dapur.

"Iya. Aku ke sana!" balas lelaki yang bernama Mac itu dengan teriakan juga sebelum berlalu ke dapur.

Si Kelinci bergerak mengitari sangkar sambil memperhatikan ruang tamu yang masih tampak kosong. "Lizzie! Di mana kau?"

Tidak ada yang tahu kalau kelinci itu sedang berteriak-teriak.

"Ada apa, Thomas?" Akhirnya ia bisa mendengar suara itu walau tak terlihat wujudnya.

"Kau di mana?" tanya Thomas sekali lagi.

"Aku berada sangat dekat denganmu. Tapi kau tidak bisa melihatku." Suaranya menggema dan terdengar dari banyak tempat.

Thomas sempat terdiam. "Lanjutkan penjelasan kemarin," ujarnya demikian.

"Hmm... Baiklah." Lizzie berdeham sebelum berkata, "kau masih ingat masa lalumu kan? Bertahun-tahun yang lalu saat kamu masih hidup."

"Tentu saja. Tunggu dulu, kau bilang bertahun-tahun yang lalu? Itu tidak mungkin!" serunya. "Kemarin aku dan adikku, Kimberly, baik-baik saja di rumah sampai aku bertemu dengan kau, semua menjadi aneh dan gila!" jelasnya dengan emosi menggebu.

Lizzie tertawa sekilas. "Kau memang keras kepala ya," kata Lizzie. "Kau yakin kalau kau dan adikmu baik-baik saja di rumah?"

Ia sempat ragu untuk menjawab iya. "Memang apa urusannya denganmu? Jangan sok tahu!" katanya sinis. Ia lebih memilih mengalihkan topik. "Aku hanya ingin tahu kenapa aku bisa seperti ini? Kenapa orang-orang mati sadis saat melihatku? Sebenarnya aku ini pencabut nyawa atau apa? Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan urusanku di rumah!"

Emosi Lizzie mulai tak terbendung. "Hey! Ini semua berawal dari urusanmu di rumah! Aku tahu semuanya tentangmu. Karena aku, makhluk mengerikan ini, adalah bagian dari dirimu," jelasnya dengan suara tinggi. "Kita bukan pencabut nyawa, selama kita tidak melakukan kontak langsung. Mereka mati karena alam. Ini memang kenyataan!" tambahnya.

Thomas masih tidak percaya. "Aku tidak percaya dengan orang asing yang belum pernah aku lihat wujudnya sepertimu," ujarnya dingin.

Kali ini Lizzie merasa sangat dongkol dengan kelakuannya itu. "Kau yang memintanya Thomas!" geramnya.

Tiba-tiba kepala Thomas merasa seperti ada yang memukulnya dengan sangat keras. Membuat kelinci itu mengeluarkan suara nyaring seperti tikus dan memancing kedatangan Mac dan istrinya.

•••

"Apa kau yakin kalau Bunny baik-baik saja, Mac?" tanya Istri Mac sambil memperhatikan kelinci yang dari kemarin tidak menghabiskan selada dan wortelnya.

"Tentu saja, Marry," kata Mac dengan mulut berisi penuh roti isi daging. "Hmm..." Ia memikirkan sesuatu.

"Ayolah, Thomas. Makan sesuatu," erang Lizzie. "Kau lapar, begitu juga aku. Darah saja kau minum saat haus, kenapa hanya selada dan wortel saja, kau tidak memakannya?" gerutunya. "Dan kau juga bilang kalau darah itu enak," tambahnya.

Thomas masih terdiam. Tidak menjawab pekikkan suara manja namun mengerikan itu. Ia masih cukup kaget dengan kejadian saat Lizzie mengingatkan dan menjelaskan paksa dengan cara yang cukup menyakitkan. Walau sebenarnya Lizzie sudah minta maaf, namun tidak menyusutkan rasa traumanya. Bukan karena rasa sakitnya juga, tapi karena ini semua benar adanya. Bahwa ia sudah mati dan waktu sudah berlalu sangat lama. Dan ia juga sangat mengkhawatirkan keadaan adiknya saat ini.

"Kau ingin memberikan kelinci yang sudah 3 hari tidak makan ini ke cucumu?" kata Marry tidak percaya sambil menggelung rambut kelabunya. "Apa yakin tidak dicek di dokter lagi?"

"Apa sempat? Sebentar lagi mereka akan datang," katanya. Lalu ia menyelipkan roti isi sisanya ke dalam sangkar besi. Tiba-tiba kelinci itu mendekati makanan itu dan mencium-cium aromanya. Perlahan ia mulai makan makanan manusia itu. "Lihat. Dia baik-baik saja."

Marry bernapas lega. "Baguslah. Ya sudah kalau begitu. Masukkan dia ke dalam kotak," pintanya.

Setelah makanannya habis, ia langsung diletakkan ke dalam kardus yang sudah dibolongi dan dibalut kertas kado. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan suasana di luar. Yang terdengar hanya percakapan hangat dan canda tawa dari gadis kecil.

"Kakek Mac, boleh aku buka kadoku sekarang?"

"Tentu saja, Lindsey."

Sampai percakapan itu selesai, baru lah ia bisa melihat kembali sebuah cahaya terang. Tubuhnya diangkat oleh gadis kecil yang langsung memeluknya itu.

"Wow Kakek Mac! Ini hadiah terhebat yang pernah kupunya!" girang Lindsey.

Mac dan Marry tersenyum. Begitu juga sepasang lelaki dan wanita yang sepertinya mereka adalah orang tua Lindsey.

"Dan ini, untukmu, Ray." Mac menyodorkan kado persegi panjang pada laki-laki bertopi baseball.

"Fiuh... Aku kira hanya Lindsey yang mendapatkan hadiah," gumam Ray sambil menerimanya lalu membuka kado itu. "Whoa, Mobil Turbo!" girangnya sambil mengangkat tinggi-tinggi kardus mobil remot itu. "Makasih, Kakek Macorine!"

Lindsey memperhatikan kagum mobil berwarna coklat tanah itu. "Aku ingin mencobanya," katanya sambil meraih mobil itu.

Ray menyingkirkan mobilnya dari Lindsey. "Tidak! Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau di acara ulang tahunmu yang ke-9. Jadi, jangan mengambil jatahku juga," tukasnya.

"Tapi kan..." Lindsey berusaha semelas mungkin.

"Ray," tegur lelaki yang berada di sebelah Mac.

Ekspresi Ray langsung berubah menjadi senyuman jahil. "Iya Ayah, aku hanya bercanda," ujarnya pada laki-laki itu. Lalu ia mengusap kepala Lindsey. "Apa yang tidak untuk adik kecilku ini?"

"Makasih, Ray," Lindsey tersenyum kembali.

"Namanya Bunny. Kalau kamu suka nama itu," kata Mac.

Lindsey mengangguk. "Tentu saja aku suka nama manis itu," setujunya. Lalu ia mengangkat kelinci itu sejajar dengan wajahnya dan memperhatikannya. "Hai Bunny, aku yakin kita bisa menjadi teman baik," gumamnya polos sambil tersenyum lebar.

Melihat wajah senang dari gadis berpipi tembam, bermata cokelat, berkulit gading dengan rambutnya yang dikuncir dua itu, membuat hati Thomas terasa teriris.

Lizzie yang pastinya mengetahui keadaan Thomas, hanya bisa tersenyum jahat, jika seandainya gadis tembus pandang itu bisa terlihat oleh Thomas.

Seharian ini, kelinci yang diberi nama Bunny itu melihat kemeriahan dari keluarga kecil ini. Membakar barbeque, menyanyikan lagu yang diiringi gitar, dan bercerita-cerita tentang apa saja yang membuat acara itu semakin terlihat menyenangkan. Mereka terlihat sangat bahagia melakukan itu semua di halaman belakang yang berbatasan dengan hutan itu. Walau Bunny juga masuk ke dalam suasana hangat karena ia sering digenggaman Lindsey, sebenarnya ia tidak senang sama sekali.

"Kau bisa melampiaskan rasa bencimu." Ia menangkap suara Lizzie yang terdengar menekan. Tanpa ia sadari, ia menggigit tangan yang melingkari tubuhnya.

Reflek, Lindsey melepas kelinci yang sudah melompat beberapa langkah di depannya.

"Kamu kenapa?" Cemas Marry.

Lindsey menggerak-gerakkan pergelangan tangan kirinya. "Aku digigit," adunya.

Marry segera melihat tangannya. "Astaga, sampai berdarah!" kagetnya. Ia mengambil sapu lidi di dekatnya untuk mengusir-usir kelinci itu. Sedangkan Ray segera mengobati luka adiknya.

Kelinci itu tidak beranjak dari tempat sebelum Marry benar-benar mendorong kasar dengan sapu lidi agar ia menjauh.

Tidak terima temannya diperlakukan kasar, Lindsey segera menarik lengan Marry agar berhenti. "Nenek! Sudah hentikan!" pekiknya. Setelah Marry ditarik cukup jauh dari Bunny, ia segera berdiri di depan hadapan keluarganya sambil merentangkan tangan. Bermaksud untuk melindungi Bunny.

"Apa yang kamu lakukan, Lindsey?" kata Ray.

Marry menatap suaminya jengkel. "Bagaimana bisa kau memberinya kelinci liar, hah?" katanya.

"Aku tidak tahu kalau itu liar." Mac beralasan.

"Wow lihat Thomas! Ada juga yang ingin melindungimu walau kau sudah menyakitinya. Tidak kusangka akan begini," kata Lizzie.

Mental Thomas mulai goyah saat melihat Lindsey melindunginya. Ia merasa bersalah, tapi rasa benci dan iri masih belum hilang. Ia menjadi bimbang dan sangat bingung. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Masuklah ke dalam hutan," saran Lizzie setelah membaca pikiran Thomas.

Tanpa berpikir panjang, ia pun berbalik ke belakang dan mulai masuk ke hutan. Berharap kalau itu bisa memperbaiki keadaan yang berawal dari rasa benci itu.