Chereads / Revenge Of The Black Hare / Chapter 5 - Kill For...

Chapter 5 - Kill For...

Matahari mulai condong ke barat. Angin lembut menerbangkan daun-daun kering yang tercecer di tanah. Menyapu jalan setapak yang tadinya ditutupi oleh daun berbagai macam bentuk dan warna yang mendominan mengikuti warna langit senja. Kata angker cocok dengan hutan yang mulai menampakkan ranting-ranting tajamnya ini.

Bunny merasa aman setelah cukup jauh melompat masuk ke dalam hutan. Ia pun berhenti untuk mengambil napas. Lizzie melepas genggaman tangan Thomas dan membuat mereka kembali ke wujud aslinya.

"Ooh jadi kau yang namanya Lizzie." Thomas bergumam sangsi sambil memperhatikannya dari atas sampai bawah.

Penampilan gotiknya--dengan kain hitam yang terjuntai untuk menutup separuh wajah hingga ke lehernya--yaitu, dress hitam mengembang di bagian rok yang sudah tersobek, juga lengan kirinya yang lebih pendek karena terkoyak. Sepatu pantofel dengan stoking hitam selutut dan sebelah sarung tangan hitam di kanan. Ia sedang mengusap-usap telinga kelincinya yang berwarna hitam pula diantara rambut hitamnya yang panjang sepinggang.

"Apa?" tanya Lizzie karena merasa diperhatikan selama ia membersihkan telinganya.

Thomas sempat terkesiap dari lamunannya. "Tidak," jawabnya. Lalu ia melipat kedua tangannya dan teringat sesuatu "Apa yang membuatmu yakin kalau aku akan menutup mata saat melihatmu?"

"Bukankah mata merah dan telinga kelinci ini tampak mengerikan?" kata Lizzie. "Begitu juga penampilan ini?"

Thomas menggeleng cepat. "Itu hal yang unik. Aku tidak takut," jawabnya menantang. "Oh iya, lagipula..." kemudian Thomas menghampiri Lizzie dan ia meraba telinga kelinci hitam itu. "Ini hanya bando," lanjut Thomas datar.

"Hehe memang," ia terkekeh sambil melepas bando itu, "kau ingat bando ini, kan?"

Thomas berpikir sejenak sambil mengamati bando itu. "Hadiah ulang tahun Kimberly yang ke-9," jawabnya.

"Untung kau masih ingat," kata Lizzie. "Jadi aku pinjam dulu, ok?" ujarnya sambil mengenakan kembali bando itu.

Thomas mengedikkan bahu. "Terserah. Aku malah senang kalau benda terkutuk itu tidak ada di Kimberly," ungkapnya.

"Baguslah," sambar Lizzie.

"Jangan bilang kalau bagian dari diriku ini mengerikan," kata Thomas yang bermaksud kembali ke topik awal.

Lizzie mendesah. Lalu ia menurunkan penutup wajah dan sarung tangannya. Kali ini Thomas baru bisa menutup matanya setelah melihat sesuatu yang mengerikan di hadapannya.

Sobekan besar di mulutnya yang sudah mengering dan jahitan-jahitan di sekitar pipinya, menghilangkan kesan manis di gadis pucat itu. Dan tangan kanannya yang kering dan terlihat membusuk dengan jari-jari tajamnya, membuat siapa saja tidak mau bersalaman dengannya.

"Jadi bagaimana? Kau masih berani bilang tidak takut, hah?" Lizzie menyoraki kemenangannya.

"Ok-ok. Aku takut," kata Thomas yang masih menutup matanya. Lalu ia membuka mata kembali saat Lizzie bilang 'sudah' setelah ia menaiki penutup wajahnya dan memakai sarung tangannya kembali. "Memangnya aku semengerikan itu, ya?"

"Perasaan benci dan irimu dengan keluarga tadi, bisa menjawabnya. Tapi yang paling besar sehingga memunculkan hasrat ingin membunuh masih tetap rasa balas dendammu," jelas Lizzie.

"Aku tidak ingin membunuh siapapun!" bantah Thomas.

"Benarkah?" Lizzie tidak yakin. "Tujuan membunuh itu bermacam-macam. Pertama, membunuh untuk keselamatan diri. Kedua, membunuh untuk melampiaskan rasa dendam. Dan ketiga, membunuh karena rasa cemburu, iri dan benci," jelasnya sambil menunjukkan satu-persatu tiga jarinya selama menyebutkan. "Dan aku sangat yakin kau ingin melakukannya karena yang ketiga," tambahnya.

Ia terdiam sejenak mendengar penjelasannya tadi.

"Tapi-"

"Jujur saja, Thomas" sela Lizzie. "Kau bereinkarnasi karena mungkin ada sesuatu yang membuatmu tidak tenang. Salah satunya keadaan adikmu saat ini," katanya. Thomas menunduk, pernyataan makhluk itu ada benarnya juga. "Kau tahu, sebenarnya aku suka dengan keadaanmu saat ini."

"Kenapa?" Alisnya terangkat sebelah.

"Iri, benci, cemburu, balas dendam, merasa bersalah, bimbang, bercampur menjadi satu. Membuatmu terlihat gundah," jawabnya sambil tertawa miris. "Kau merasa bersalah karena meninggalkan Lindsey yang sudah membelamu dan menganggapmu temannya. Tapi kau sangat tidak suka dia mempunyai apa yang tidak kau punya. Lalu--"

"Kau memang benar," sela Thomas. "Ini sangat tidak adil!" teriaknya.

"Ya, seharusnya ia merasakan apa yang kau rasakan. Membuat keluarga itu sedih salah satunya," usul Lizzie.

"Caranya?"

"Beberapa meter di depanmu itu ada jurang," info Lizzie.

"Lalu?"

"Aku yakin kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan selanjutnya," kata Lizzie sambil tersenyum jahat dibalik penutup wajahnya.

"Ooh, baiklah." Dengan mudahnya Thomas terhasut ucapan Lizzie tanpa pikir panjang resiko apa yang harus ia ambil jika melaksanakan apa yang direncanakan gadis mengerikan itu.

•••

"Bunny!" Terdengar suara Lindsey yang mencari-cari si kelinci hitam.

"Ini saatnya," ujar Lizzie.

Sebuah kilatan hitam sekilas menarik perhatian Lindsey. Perlahan ia mendekati pohon besar sumber kilatan itu.

"Bunny?" Saat ia hampir sampai, seekor kelinci hitam keluar dari balik pohon itu dan berlari menjauh. "Bunny, tunggu!" Lindsey pun mengejarnya.

Mereka semakin jauh masuk ke dalam hutan. Kelinci itu segera bersembunyi saat mengetahui kalau ia semakin dekat dengan jurang di depannya.

Lindsey kehilangan jejak. Ia melongokkan kepala ke jurang yang curam dan dalam itu. "Bunny!" Sambil meneriakkan nama kelincinya, ia menatap ngeri jurang itu.

"Apa ia akan mati, Lizz?" tanya Thomas yang memperhatikannya dari balik semak-semak.

"Hmm..." Lizzie memperhatikan keadaan di sekitarnya yang terlihat tidak ada yang ingin membunuhnya. "Tidak. Kecuali kalau kau melakukan kontak langsung dengannya."

"Bagaimana dengan menunjukkan wajah aslimu?" saran Thomas.

"Mungkin dia cukup berani, Thomas. Aku tidak yakin ini akan berhasil." Lizzie beralasan untuk tidak ikut campur. "Oh ya, satu hal. Aku tidak bisa dilihat oleh orang yang ajalnya belum mau dijemput. Jadi yang ia lihat pastinya hanya kau," tambahnya.

Thomas memberenggut. "Tapi bagaimana aku bisa ke sana tanpa ketahuan?"

"Mudah saja."

Lindsey masih mencari-cari kelincinya dari tepi jurang itu. Ia hampir menangis membayangkan kalau kelinci itu mati karena masuk jurang. Ia pun berdiri, bermaksud untuk menyudahi pencariannya. Sebelum ia sempat berbalik, seseorang mendorongnya cukup keras dengan satu tangan. Membuatnya berguling di jalur jurang yang kasar itu. Sebuah akar tajam yang menjulang ke permukaan tanah siap menyambutnya.

Sebelum leher Lindsey tertusuk akar itu, ia sempat melihat gadis bertelinga kelinci tersenyum menyeramkan di belakang laki-laki berbaju lengan pendek dengan jaket rompi hitam. Tidak ada ekspresi menyesal dari laki-laki itu. Hanya ekspresi dingin tanpa senyuman yang ditunjukannya.

Darah segar mengalir dengan cepat dari leher gadis tak bersalah itu. Membasahi sebagian tubuhnya yang masih bergerak-gerak juga akar tajam yang menembus lehernya.

Tidak ada...

Tidak ada yang bisa menolongnya dalam waktu cepat di kedalaman 10 meter itu.

Lindsey sudah mati rasa. Rasa dingin mulai menjalar menuju kepala. Tidak ada yang bisa dilakukan gadis polos itu selain melihat Thomas dan Lizzie yang samar-samar dari kejauhan. Suaranya tak mungkin keluar karena pita suaranya hancur tertusuk ranting pohon itu.

Ray...

Seketika, Lindsey pun meninggal karena kehabisan darah. Tepat setelah ia melihat sosok kakaknya yang baru saja datang dan berdiri di sebelah Thomas. Kakak laki-lakinya itu menjadi sosok terakhir yang ia lihat.

Thomas sedang menaikkan tudung jaketnya saat mendengar seseorang terkejut di sebelahnya. Ia pun segera melihat orang itu. Ternyata dia, Ray. Ia membekap mulut saat melihat jasad adiknya di kejauhan. Ia terduduk, tidak tahan melihatnya. Thomas masih ingat kalau raganya ini dapat dilihat oleh Ray, jadi ia segera pergi dari tempatnya berdiri. Lizzie sadar apa yang diinginkan Thomas, yaitu segera pergi sebelum ada korban lagi.

Namun, sebelum Lizzie sempat mengubah Thomas menjadi kelinci kembali, tiba-tiba saja Ray menerjang Thomas. Mereka berdua pun jatuh berguling ke dalam jurang. Mereka berada dalam jalur berbeda. Ray beruntung hanya mengalami cedera ringan dan diselamatkan oleh dua batang pohon mati yang menopang tubuhnya agar tidak berguling lebih jauh.

Tapi tidak dengan Thomas. Ia bergelantungan di tebing, akhir dari jurang itu, dengan satu tangan.

Lizzie pun segera menyusul Thomas. Ia menuruni jurang dengan berhati-hati, melewati Ray yang pingsan dan jasad Lindsey.

Sesuatu menetes ke tangan yang memegangi akar pohon. Ia semakin merasakan apa itu sebenarnya dan sudah menduga kalau itu darah Lindsey, yang saat ini mulai menetes ke wajahnya dan merabuni mata kirinya.

"Thomas! Pegang tanganku!" perintahnya sambil menjulurkan tangan kanannya sejauh mungkin. "Berikan tanganmu yang satu lagi!"

Ia melihat Lizzie dengan sebelah mata. "Aku tidak bisa! Sepertinya tanganku yang satu lagi patah," katanya.

Lizzie berusaha semaksimal mungkin untuk meraih tangan yang mulai lepas dari akar pohon itu. Tiba-tiba saja Thomas tertawa.

"Apa yang lucu?" jengkel Lizzie.

"Apa mungkin ada hantu yang mati?" katanya lirih. Lizzie tidak menjawabnya. Ia terus berusaha menggapainya. "Pendaratan nanti pasti akan kasar," gumamnya. "Lalu-"

"Hey! Ini bukan saatnya untuk memberikan wasiat ya!" bentak Lizzie. Tiba-tiba saja akar pohon itu perlahan terlepas dari tanah.

Kali ini Lizzie mulai nekat menjulurkan setengah badannya dengan satu kaki bertahan di akar tunjang untuk benar-benar bisa meraih tangan Thomas.

"Raih tanganku!!"

Thomas mulai berusaha untuk menggerakkan tangan kanannya. Tapi tidak bisa. Benar-benar tidak bisa digerakkan karena rasa nyeri yang sangat hebat dari pergelangan tangan kanannya itu.

Lalu, saat ia mencoba menggunakan tangan kirinya untuk langsung meraih tangan Lizzie, tiba-tiba saja akar pohon itu terlepas.

Sepertinya alam menginginkannya untuk kembali ke dunianya.

"Dasar tidak berguna!" gerutu Lizzie.

Ia segera melompat. Mendahului Thomas dan memeluknya dari belakang. Lalu menyentuh kening anak itu. Kilatan cahaya hitam terlihat cepat.

Dan setelahnya, semua menjadi gelap.