"Tumben pulangnya agak cepat? Kenapa kamu membawa keranjang? Biar ibu tebak, pasti kamu sedang piknik di hutan bersalju putih yang dinginnya bisa dihalau oleh hangatnya perasaan kalian berdua, benarkan?" kata Calista mengedipkan matanya berulang kali. Xavier yang salah tingkah langsung berjalan menuju dapur. Ia tidak tahu harus menjawab apa, yang jelas itu memang benar. "Aku sedang jatuh cinta sekarang. Jadi seperti ini rasanya jatuh cinta?" gumam Xavier.
Kemudian ia masuk ke dalam ruangan pribadinya dan duduk dengan dengan secarik kertas beserta tinta di atas meja. Ia mulai menuliskan surat untuk Ella, yang nantinya surat itu akan diantarkan oleh burung hantu milik Xavier, yaitu Leo. Sebelumnya sudah dijelaskan oleh Xavier, bahwa Leo ini bukan burung hantu liar. Ia sangat terdidik dan terlatih sekali. Xavier mengikatkan gulungan kertas di kaki Leo dan membiarkannya terbang menuju rumah Ella. Dari siang sampai malam, Ella hanya mengurung diri di dalam kamar. Hatinya sangat lemah dan begitu mudah sekali terluka. Bahkan ketika Alana berkata seperti itu, ada May yang melihat semuanya, sama sekali tidak membela dirinya. Dia hanya diam, seperti orang bisu.
"Kenapa Ella, dirimu begitu mudah sekali tuk terluka. Kamu ini adalah anak kandung dan dia adalah saudara tiri. Seharusnya kamu tidak perlu merasakan sakitnya separah ini ...." Biarpun dia adalah anak kandung, tapi perlakuan yang diberikan ayahnya sekarang jauh berbeda, terlihat sedikit tidak adil akhir-akhir ini. Pikirannya mulai kembali memutar apa yang membuatnya terluka. Namun pikirannya buyar saat mendengar suara ketukan dari luar jendela kamarnya. Ia bangkit berdiri dan melihat burung hantu yang sama persis dengan ia obati tempo hari.
Matanya menangkap segulung surat terikat pada kaki burung itu. "Ah iya, ini pasti surat dari Xavier." Ella kembali tersenyum ketika membaca surat itu. Dengan semangat, ia langsung membalas pesan tersebut. "Senang bisa membalas surat darimu, terima kasih ...," ungkapnya diakhir isi surat.
Seusai mengikatkan kembali surat balasannya, burung hantu itu langsung pergi. Bersamaan pula dengan pintu kamarnya yang diketuk. "Ya? Tunggu sebentar." Ketika ia membuka pintu, tamparan keras yang seharusnya tidak ia terima, mendarat dengan mulus di pipi kanannya. "Ada apa denganmu? Kenapa kamu menyakiti kakakmu sendiri hah?" bentak Ferand.
"A-apa? A-aku ditampar o-oleh ayah. Aku membuat kesalahan apa?" gumam Ella.
"Kamu ini ya, semakin besar, tingkah lakumu semakin tidak bagus. Ada apa denganmu? Semuanya sudah ayah berikan kepadamu, sedangkan kamu sendiri tidak bisa bersikap dan menghargai dengan baik!"
"Tenangkan dirimu Ferand, jangan seperti itu ...," bujuk May.
"Tidak apa-apa May, biar dia tahu diri! Jika tidak dimarahi, dia tidak akan bisa mengerti apa kesalahan!"
Ella mengepalkan kedua tangannya, rasanya ia ingin sekali berteriak mengatakan semuanya. Bahkan dirinya sendiri sudah tahu siapa yang sudah mengadukan ini kepada Ferand. "Ella!" Ferand mencengkeram erat lengan Ella dan menariknya turun menuju lantai bawah, "Kamu harus minta maaf sama Alana."
Di ruang tengah, ada Alana yang sedang menangis dengan perban di lengan kirinya. "A-apa yang terjadi? Aku tidak melukai kak Alana, ayah ...," kata Ella membela diri.
"Jangan berbohong, kamu sudah melukai dia dengan pisau! Tangan dia terluka sekarang, cepat minta maaf atau ayah lukai juga tanganmu!"
"Ella tidak melakukannya ayah, Ella berani bersumpah sekarang, karena Ella tidak melakukannya ...." May sendiri mendekat kearah anaknya. "Apa masih sakit Alana? Itu akan segera sembuh ...," kata May sambil memeluk anaknya. Dan tangisan kecil dari Alana semakin menjadi-jadi. "Cepat Ella!"
"Ella tidak melakukannya ayah ...."
Ferand pun pergi ke dapur dan mengambil sebuah pisau. "Cepat minta maaf!" Ella tentu saja tidak mau, ia harus memilih yang benar. "Tidak ayah, aku tidak melakukannya. Aku tidak mau minta maaf, karena memang kenyataannya aku tidak melakukannya. Kalaupun aku salah, aku akan minta maaf terang-terangan. Ella lebih baik memilih dilukai saja." Keberanian yang terpancar dari mata Ella, membuat Ferand tanpa ragu menancap pisau tersebut ke lengan kanan Ella.
Ella terdiam menahan sakitnya, darah segar pun mengalir keluar. Lalu Ferand mencabut kembali pisau tersebut. "Baiklah, jika ini pilihanmu. Kembalilah ke kamar!" Apa begini perlakuan orang tua setelah melukai anaknya separah ini? Ella melihat kearah pintu, lalu berlari keluar dari rumah. "Ella! Mau pergi kemana kamu!" teriak Ferand.
Kakinya terus berlari, dirinya tidak kuat lagi jika harus menerima perlakuan dari Ferand, apalagi Ferand adalah orang yang sangat disayang oleh Ella. Bersamaan dengan badai salju lebat di sekitar hutan, membuat Ella terjatuh tepat di tengah-tengah hutan. "Hiks, aku tidak kuat lagi ... Terserah apa tanggapannya, aku harap dia mengerti dengan apa yang sudah ia lakukan kepadaku. Asalkan dia tahu, bahwa a-aku tidak melakukannya!" teriak Ella yang kemudian tidak sadarkan diri.
Ternyata Leo sang burung hantu mengetahui itu, memutuskan terbang ke kediaman Xavier dalam lebatnya badai salju. "Ah, akhirnya kamu kembali juga Leo, ada apa denganmu? Saljunya terlalu lebat, nanti saja memberikan balasan suratnya kepada Ella," kata Xavier yang melepaskan suratnya. Leo terus bersuara, memberitahu Xavier. Xavier yang paham pun mengambil jubahnya, lalu berlari menuju lokasi yang diberitahukan oleh Leo. "Apa yang terjadi padamu Ella? Mengapa kamu begitu nekat?"
Calista dan Felix cukup terkejut dengan tingkah laku dari Xavier. Mereka berdua tidak berani bertanya, takutnya akan menggangu urusan pribadi Xavier. Badai salju sudah berhenti sekarang, Xavier menghirup dalam-dalam aroma disekitarnya untuk menemukan Ella dan berhasil menemukannya dalam tumpukan salju. "Ella! Tidak!"
Wajah Ella begitu pucat, darah di lengannya juga sudah membeku. "Bagaimana ini? Aku harus mengantarkan dia pulang atau membawanya ke rumahku. Sebaiknya aku mengantarkan dia pulang ke rumah saja." Xavier memeluk Ella begitu erat dan memasang jubah kepada Ella. "Bertahanlah, kamu akan segera sampai di rumah ...."
Saat Xavier sampai di rumah Ella, Ferand terkejut saat melihat Xavier. Wajahnya tampak tidak asing sekali, "Maaf tuan, karena sudah mengganggu malam-malam. Aku menemukan Ella terjatuh disana, jadi aku membawanya kemarin, karena jaraknya lebih dekat kesini ...."
Ferand hanya diam, membiarkan Xavier masuk ke dalam rumah. Alana terkejut melihat ketampanan Xavier yang begitu sempurna sekali. "Apa ini pemuda yang Ella dekati sekarang? Tampan sekali, aku harus memilikinya," gumam Alana. Bukannya sibuk mengambil sesuatu yang bisa menghangatkan Ella, mereka semua tidak peduli sama sekali. Xavier mengurung nistnya untuk pergi, ia berjalan menuju dapur mengambil yang ia perlukan. "Lancang sekali kamu, pemuda tampan. Apa begini tingkah lakumu saat masuk rumah orang?" tegur May.
Xavier hanya diam, ia hanya mempraktekkan perlakuan apa yang diberikan mereka sebelumnya. Bersikap tidak peduli ....
"Apa kamu dengar aku, pemuda?"