Hari kembali menjadi sore, sebentar lagi akan berlalu satu hari. Xavier pun pulang ke rumahnya, begitu juga dengan May dan Alana. Mereka membeli banyak sekali barang belanjaan. Ella sendiri tidak pernah membeli barang sebegitu banyaknya. "Ella, kenapa bengong? Cepat bantu beresin ini!" perintah Alana.
"Iya kak." Ella mendekat dan membawa barang-barangnya ke dalam kamar. Semenjak kejadian kemarin, dirinya dan Alana tidak satu kamar lagi. Kamar Alana berada di lantai paling atas, itu adalah sebuah loteng rumah. Ella juga mengintip beberapa barang-barang punya Alana. "Apa kamu lihat-lihat! Jangan iri ya, semuanya ini aku beli dengan uang jajan dari ayah. Harusnya kamu sadar, posisimu di rumah ini tidaklah penting!" Ella mulai mengeratkan kedua tangannya, ia ingin sekali melawan, mengingat May akan mengarang cerita lain dan ayahnya pasti akan semakin membenci dirinya pula. "Dasar lemah! Lawan saja aku hahaha!"
"Tahan Ella, kesabaranmu sedang diuji sekarang. Melawan akan memperburuk keadaanmu nanti," gumamnya dengan tekad sungguh-sungguh. Ia melangkah keluar dari kamar Alana, itu merupakan cara yang baik untuk menghindari masalah. Ella melihat ayahnya sudah pulang bekerja, "Ay-" Kata-kata Ella langsung terpotong saat ayahnya menatap binar-binar kearah istrinya itu.
"Sayang, kamu sudah pulang ya. Ayo kita makan, aku sudah masak makanan kesukaanmu sayang," kata May mendahului Ella. "Iya sayang, terima kasih banyak ya." Ella segera naik kembali bersembunyi, melihat apa yang akan dilakukan oleh May. "Oh iya, dimana anak tidak tahu diri itu?" tanya Ferand melihat ke segala arah.
"Oh dia, paling lagi tidur. Sudahlah, ayo makan sayang."
"Ya sudahlah, ayo." Ia berlari masuk ke dalam kamarnya, kemudian mengurung diri. Dirinya benar-benar terpuruk sekarang. Ia membutuhkan seseorang yang mungkin jadi teman atau tempatnya bercerita. Namun sayang, orang itu sedang tidak ada disisinya sekarang. Ella menghapus air matanya dengan kasar dan kembali keluar dari kamar dengan penuh keberanian. Ia tahu bahwa dirinya tidak baik-baik saja, jika ia semakin lama di rumah ini. Saat ia sampai di ruang makan, ia melihat Alana duduk di kursi yang jadi tempatnya duduk dulu. "Ayah ...," panggilnya dengan nada ceria.
Ferand hanya diam menikmati makanannya. "Ella, duduklah. Nyenyak tidak tidurnya?" tanya May. Ella menarik sebuah kursi kosong, lalu duduk.
Gubrak!
Pantatnya terjatuh ke lantai, ternyata kursi yang ia duduki sudah tidak layak lagi. Ferand bangkit dan menggebrak meja makan. "Ella! Kamu kenapa hah?"
"A-ayah, kursinya rusak ...."
"Ayah tidak mau tahu, kamu harus perbaiki kursi ini. Setahu ayah kursi ini masih bisa di duduki kemarin, kenapa tiba-tiba patah. Dasar kamunya saja tidak berhati-hati!"
"Tapi kursi ini kan sudah lama ...."
"Alasan! Cepat bereskan kursi itu!"
"B-baik ayah." Tidak ada satupun dari mereka yang ingin membantu, terutama Alana dan May. Mereka hanya tersenyum tipis sambil makan. Yang masak makanan di atas meja itu adalah Ella, bukan May. Seandainya Ferand tahu, seperti apa kelakuan istri dan anak tirinya. Pasti ia akan segera mengusir kedua orang tersebut. "Aku harus waspada dengan mereka mulai besok," gumam Ella.
Ia meletakkan kursi patah itu di luar rumah, kemudian kembali masuk ke dalam. "Sana perbaiki dulu kursi itu, baru kamu bisa makan!" perintah Ferand.
"B-baik ayah." Ella berbalik lagi, pergi mengambil alat-alat untuk memperbaiki kursi patah itu. Yang dirinya butuhkan adalah kayu, paku, dan palu saja. Ferand menyudahi makannya lebih dulu, tersisa May dan Alana saja di ruang makan. Keringat-keringat Ella mulai bercucuran. "Selesai juga aku memperbaiki ini, waktunya pergi makan sekarang ...."
Dengan riang, ia kembali masuk ke dalam. Hanya saja riang itu hanya bertahan beberapa detik saat ia melihat kearah meja makan. Sudah tidak ada makanan lagi di atasnya. "Mampus! Tidak usah makan kamu sekali-kali, lagipula kamu tidak akan mati," kata May bangkit pergi meninggalkan ruang makan bersama Alana. Ia menghela nafas dan membersihkan meja makan.
"Sepertinya aku harus membeli makanan di luar, bagaimana jika aku meminta ayah untuk memintanya menemaniku pergi. Ide yang cukup bagus kayaknya."
***
"Ayah, bisa temani Ella pergi tidak?"
"Sudah sana, jangan ganggu! Tidak lihat? Ayah lagi sibuk!"
"Sebentar saja ayah, Ella ingin membeli sesuatu di luar, ayo yah ... Temani Ella ... Sebentar saja yah."
Brakkk
"Hei!" Lagi-lagi Ferand menggebrak meja, membuat Ella terperanjat kaget ketakutan melihat ayahnya. "Buta kamu ya!"
"M-maaf a-"
"Sana pergi sendiri, jangan ganggu!"
"I-iya ayah." Terhati tercabik-cabik, Ella membuka pintu keluar dari rumah untuk membeli makanan. Para tetangga yang mendengar suara Ferand yang marah tadi, langsung bergosip. Ella menaikkan kerundungnya dan berjalan cepat pergi ke tempat tujuan. Ia benar-benar lapar sekarang, untung saja ia menyimpan cukup banyak uang yang diberikan oleh ayahnya kemarin-kemarin lalu. Semangkuk sup hangat datang, uap panasnya kembali membuat Ella meneteskan air mata. "Jangan menangis Ella, cepatlah makan, lalu minum obat. Jangan sampai Xavier khawatir dengan keadaanmu nanti," gumamnya menguatkan diri.
Semangkuk sup hangat itu habis dalam beberapa menit. Ia segera membayar harga supnya itu, lalu pergi pulang ke rumah. Dalam perjalanan, ia melihat penjual roti keliling. "Beli roti gandumnya 6."
"Ini nona, roti gandumnya."
Ella mengangguk dan berjalan kembali. Sampainya di rumah, untuk kedua kalinya ia terkejut lagi. Ia melihat ayahnya duduk di ruang tengah sambil berbincang-bincang dengan May. Firasat Ella mulai tidak enak. "Cepat kembalikan uang May, Ella!"
"U-uang apa ayah?" Setahu Ella, ia tidak mengambil apapun milik May, Alana, apalagi ayahnya. "Kamu sudah mengambil uang dia, cepat kembalikan!" Ella berjalan mendekat, kali ini semua sudah benar-benar keterlaluan. "Ella tidak mencuri ayah, Ella pergi membeli makanan di luar, karena makanan yang Ella masak habis tidak tersisa sedikitpun."
Plak!
"Beraninya kamu menjawab, mentang-mentang sudah besar, kamu pikir kamu sudah kuat hah!" Ella dapat merasa panas dari pipi menjalar ke hatinya. Ini yang kedua kalinya, dirinya ditampar. "Ayah, Ella tidak mengambil apapun. Ayah dulu sering memberi Ella uang dan uang itu yang Ella pakai tadi ayah."
"Diam! Cepat kembalikan!"
"Ella tidak mengambil uang punya dia, ayah!"
Ferand menatap kearah tangan Ella yang memegang sebuah kantong. Ia merampasnya dengan kasar lalu melihat apa isi kantong tersebut. "Ternyata kamu hanya membeli makanan untuk dirimu sendiri. Apa kamu tidak ingin berbagi hah!!"
Deg!
Debaran jantung itu sangat keras, membuat Ella bingung merespon dengan reaksi apa. Ferand mencengkram lengan Ella, menyeretnya ke dalam gudang. "A-ayah ... A-yah l-epaskan ...."
Ceklek
Ferand mengunci pintu gudang itu. Ella terus memanggil Ferand. "Ayah, Ella tidak melakukannya. Tolong biarkan Ella menjelaskan semuanya ...."