Jeritan tertahan terdengar dari salah satu kamar yang berpintu kayu. Suara seorang gadis yang tak lain adalah sang Nona muda calon Istri sang Duke Castiello, begitu terdengar kesakitan bahkan membuat para pelayan serta penjaga yang berjaga di depan kamar sang Lady meringis, mereka tak dapat membayangkan semengerikan apa mantra kutukan Itu.
Suara jeritan Itu pun berhasil menghentikan langkah seorang pria bersurai pirang yang berniat meninggalkan kediaman Duke untuk kembali ke Istana. Tangannya mengepal erat setiap jerit derita Itu terdengar, mengingatkannya akan sosok di masa lalu yang membawanya pada ingatan pahit. Vero, sang pengawal hanya terdiam dan memperhatikan pintu besar dimana sang Tuan tiba - tiba saja menghentikan langkahnya.
Dengan langkah ragu saat tak lagi terdengar jeritan sang gadis, Devian memilih membelokan langkahnya dan berhenti tepat di hadapan pintu besar Itu. Ia menarik lalu menghembuskan nafasnya, berulah ia memberikan kode bagi salah seorang pelayan untuk membukakan pintu. Cukup memakan waktu yang lama hingga kemudian pria pirang itu di arahkan oleh si pelayan menuju ruangan lain yang berada di sampingnya.
Sebuah ruangan dengan meja berisikan lembaran kertas dan beberapa buku. Di depannya dua buah kursi beludru berwarna hijau dengan sebuah meja kecil telah berisikan dua buah cangkir teh masih mengepul. Aroma bunga mawar dan wewangian buah menyambut indra penciuman sang Pangeran, semakin menegaskan bahwa pemilik ruangan ini adalah seorang wanita.
Devian menjatuhkan pandangannya pada seorang wanita yang tengah bersandar pada kepala sofa. Tubuhnya berbalut perban dengan beberapa noda darah di sana sini, hanya wajahnya saja yang tampaknya tidak terlilit perban putih, paras si gadis bersurai perak yang ayu itu tampak pucat begitu pula dengan bibir tipis yang seharusnya tampak merona itu.
"Yang Mulia, apa ada yang bisa saya bantu?" ujar sang gadis bersurai perak Itu dengan suara lirih namun tegas bersamaan, entah mengapa terasa sedikit berbeda dari si bungsu Lorraine yang biasa ditemuinya. Namun sang Pangeran memilih mengabaikan perasaan aneh tersebut dan menempatkan dirinya di hadapan si gadis.
"Hanya menyapa dan memberikan semangat, kau sangat hebat untuk seorang gadis manusia bisa bertahan dari sihir sekuat ini," balas Devian sedikit tersenyum, ia merasa kesal pada dirinya sendiri yang entah mengapa tidak pernah bisa bersikap lembut atau tidak merayu. Gadis bersurai perak Itu tertawa pelan sepertinya ia masih menahan rasa sakit yang ada di tubuh karena beberapa kali ia meringis.
"Tentu saja, saya berbeda karena saya adalah sang Oracle," jawab Eve berusaha terdengar seramah mungkin seperti apa yang biasa dilakukan dirinya yang lain.
"Lihat lah, siapa yang cukup angkuh sekarang. Cepatlah sembuh lalu si tampan Robin akan membawamu berayun seperti kemarin," timpal sang Pangeran yang berhasil memecah tawa tertahan dari si gadis. Perasaannya terasa cukup lega meskipun rasa gelisah Masih tetap bergelayut, berkat suara tawa gadis bersurai perak itu.
"Berjanjilah untuk segera sembuh, kau pasti akan baik-baik saja."
Eve tersenyum bukan senyum mengerikan dan gila yang sering disunggingkan sisi lain si bungsu Lorraine, melainkan senyum tulus karena seorang Pangeran Britannia Raya tengah menunjukkan rasa kepedulian padanya.
"Saya akan berusaha sebaik mungkin, untuk tidak kalah dari mantra sialan ini Yang Mulia."
Keduanya tertawa karena ucapan Eve yang terdengar lucu entah mengapa, sehingga suasana tegang cukup mencair, mereka saling melempar senyum hingga Eve tiba - tiba saja mengerang kesakitan membuat Medusa dan Devian segera mendekat ke arahnya.
"Nona, tolong bertahan Nona," ujar sang abdi, wanita bersurai kelam itu menatap dengan manik obsidiannya yang memerah seolah air bah hendak membasahi pipi pucatnya.
Sang Pangeran pun tampak gelisah memandang raut kesakitan gadis bersurai perak di hadapannya, pria pirang itu segera meletakan tubuh sang gadis setengah tertidur dengan kepala bersandar pada tubuhnya. Ia dapat merasakan tubuh Eve yang terasa cukup dingin, bayangan di masa lalu itu kembali membuatnya mengigit bibir merah sensualnya.
"Hei, ayolah kau pasti bisa. Kau harus kuat dan kembali mengumpat padaku," tambah Devian mencoba memberikan semangat pada gadis bersurai perak Itu.
Suasana semakin menegang kala pintu terbuka, menampilkan seorang pria bersurai kelam yang telah memasuki ruang belajar tunangannya dengan ketiga orang yang mengekor di belakangnya. Sang Pangeran menatap iris ruby sang Duke dengan tatapan tajam, hal yang sama ia lontarkan kepada pria bersurai perak. Kali ini Marquess Lorraine tidak lagi menatapnya tenang tanpa emosi, rahangnya tampak mengeras saat melihat sosok adik bungsunya tengah berada dalam dekapan Putra Britannia Raya itu.
"Kedua kalinya kau lancang karena mendekap calon istri orang lain," sergah sang Duke kelewat dingin. Pemimpin kaum Asmodia itu segera berlutut dan membelai pipi pucat gadisnya, iris rubynya tampak menyendu memperhatikan ekspresi sang gadis yang kesakitan. Sebuah kecupan mendarat di bibir tipis pucat Eve, hanya kecupan penuh sirat kasih sayang yang berhasil menciptakan bara dalam diri sang Pangeran.
Detik selanjutnya Lucas telah mengambil alih tubuh lemah Eve dari pria bersurai pirang, mendekapnya lalu membelai pipi porselen pucat si gadis dengan ujung ibu jarinya.
Cukup, hari ini sudah terasa cukup menyakitkan baginya begitu teriak sang Pangeran dalam hati melihat keromantisan sang Duke pada gadis bersurai perak itu.
"Jangan, salah paham aku hanya ingin memberikan semangat padanya sebagai ...."
"Teman," jelas Devian yang telah berdiri berniat meninggalkan ruangan. Pria bersurai pirang itu sedikit mendekat dan melihat raut gadis yang sialnya tampak nyaman dalam dekapan Pemimpin Kaum Asmodia itu.
"Tolong cepatlah sembuh dan segeralah membalas semua ucapan pedasku, okay?" ujar sang Pangeran sembari mengusap pelan helaian surai perak sang gadis yang sukses mendapatkan tatapan maut dari sang Duke.
Namun, Devian tak mengindahkan kedua iris ruby itu dan memilih melenggang pergi melewati pria bersurai kelam yang masih berdiri membelakanginya.
"Jangan pernah kau berani meletakan seujung jari mu pada gadisku, atau wajah tampanmu itu akan mengelupas dan hanya tinggal kenangan. "
Bukannya gemetar ketakutan karena ancaman mengerikan sang Castiello, pria bersurai pirang Itu justru tersenyum miring sembari menatap iris ruby menyala di hadapannya. Sebelah alisnya naik, kekehan pelan terdengar dari bibirnya.
"Coba saja dasar Pak Tua."
Tepat setelah membalas ucapan sang Duke, Devian benar-benar meninggalkan kediaman Castiello. Bahunya sempat bertubrukan dengan bahu milik pria bersurai perak, sehingga iris emas sang Marquess dan iris sapphire sang Pangeran saling beradu. Kini Devian telah memasuki kereta kuda mewah berlapis emas miliknya, manik sapphirenya masih memandang jauh mansion megah yang mulai tampak mengecil seiring dengan laju kereta kudanya yang telah meninggalkan pekarangan kediaman mewah Castiello.
"Please, you need to get well really soon," bisik sang pria bersurai pirang lirih.