Chereads / My playboy boyfriend / Chapter 33 - Kau bukan adikku

Chapter 33 - Kau bukan adikku

Chi mengikuti tarikan tangan Suzuki, sahabatnya hari ini sangat bersemangat mengunjungi rumah sakit. Setelah hampir dua bulan akhirnya mendapat kabar kalau kakaknya sudah sadar.

Ya.. mereka bahkan meminta izin pulang dari kantor lebih cepat karena kabar kakak Suzu sudah sadar dari koma. Beriring beredarnya kabar di media massa.

"Chi, ayo lebih cepat, aku tak sabar lagi." Chi mengangguk seakan mengerti dengan raut wajah gembira Suzu. Dia juga ikut gembira.

"Kau tahu.. aku ingin menyemangati kakak. Akhirnya hari ini aku bisa masuk ke rumah sakit tanpa dampingan berlebihan seperti sebelumnya."

Chi setuju sekali. Biasanya mereka di kawal oleh bodyguard berbadan besar. Tapi kali ini tidak.. Kabar keluarga Willady perlahan juga mulai senyap, tidak seheboh di awal kejadian.

Apalagi Willady sudah menemui keluarga korban dan memberikan kompensasi dalam jumlah besar

Bahkan menanggung sampai keluarga korban ke jenjang pendidikan tertinggi nanti. Tentu semua sudah di atur sedemikian rupa oleh staff khusus keluarga Willady, apa sih yang tak bisa di selesaikan dengan uang merek

"Su, apa kau mempersiapkan sesuatu untuk kakakmu?"

"Apa.. Seperti kado.." Suzu terlihat bingung mendengar pertanyaan Chi. Apa harus memberi kado atau apalah itu saat membesuk orang sakit?

"Iya, apa kau tahu sesuatu yang disukai kakakmu?"

Suzu sedikit berpikir, ide Chi tidak buruk juga, bukankah memberi sesuatu yang di sukai orang yang sedang sakit akan sedikit memberi semangat, tapi dia tak terpikir hal seperti itu sebelumnya, dia terlalu senang menerima.kabar kalau Abra sudah sadar lalu dia menggeleng.

"Aku pikir kau bisa memberikan ini!"

Chi mengeluarkan lollipop dengan warna pelangi berbentuk hati dari dalam tasnya. Mata Suzu membulat takjub

"Apa ini? Kapan kau membeli ini? Kenapa tak berikan padaku saja!" Dia malah menginginkan lollipop pelangi ini.

"Jangan!" Chi mengambil lagi lolipopnya.

"Ini bukan untuk dimakan, kau lihat bentuk hatinya begitu sempurna!"

Suzu ikut memperhatikan permen yang ditunjuk Chi, ya.. itu bentuk love yang presisi.

"Aku meneliti satu persatu di hadapan kasir, sampai aku jatuh cinta pada warna hijau berkilau pada permen ini" Suzu tertawa kecil.

"Apa sekarang kau jatuh cinta pada permen?" Ledeknya. Chi menaikkan alis sebelah.

"Itu lebih manis daripada jatuh cinta pada pria b*jingan!"

Keduanya tertawa. Ya, mengingat kejadian yang lalu sekarang hanya menjadi lelucon saja untuk Chi, lelucon yang menyakitkan sih.

"Harusnya kau memberi tahuku saat membeli ini!" Wajah Suzu sedikit cemberut. Dia menginginkannya juga.

"Aku melihat nya di koperasi kantin kantor, dan itu yang terbaik mencuri mataku" Suzu setuju dengan ucapan Chi, permen lolipop ini terlihat cantik dengan warnanya dasar hijau dan turunannya.

"Ayo!" Ajak Chi. Dari parkiran mereka menuju lobbi bangunan dengan warna putih dan wangi khas ini.

Mereka mempercepat langkah, memasuki lobby rumah sakit. Baru saja Chi dan Suzu tertawa riang, tiba tiba..

Chi tak percaya dengan sosok yang dia lihat di meja informasi sana. Itu Marco dan.. wanita itu!

Chi sontak menghentikan langkah, membuat Suzu heran dan ikut menghentikan langkah, kenapa Chi berhenti tiba tiba saj?

"Ada apa?" Tanya Suzu heran.

Saat Chi masih terpaku menatap punggung Marco, Lyn menoleh dan menyadari gadis dengan seragam hitam putih di belakang sana.

Bukan hanya Chi bahkan Suzu juga bisa melihat senyuman sinis wanita di depan itu. Lyn memainkan rambutnya dan mengatur hingga ke belakang punggungnya.

Lyn mengangkat sebelah lengannya merangkul Marco, pria itu menyadari keberadaan tangan lyn yang terasa asing di tubuhnya, dia melirik wajah Lyn yang tersenyum simpul.

"Maaf meminta bapak dan ibu kesini, ada hal penting yang ingin kami periksa sebelumnya. Silahkan duduk!" Marco dan Lyn menarik kursi.

"Siapa dia!" Gusar Suzu dengan berbisik tapi kesal di kejauhan.

Wajah Lyn walau hanya sekali lihat tetap busa membuat orang lain jengkel. Suzu tak menyukai wajah sinis Lyn.

"Haruskah kita datangi dan menjambak rambut panjangnya?"

"Tidak, jangan.." Gumam Chi, itu hanya akan merendahkan harga diri kita, lirihnya dalam hati.

Chi menggandeng lengan Suzu menghindari lirikan sinis di ekor mata wanita itu.

Sesekali wanita tu mencuri lirik ke arah Chi, dia berusaha mencari perhatian Marco saat ini, dia tak ingin pria itu menyadari keberadaan Chi di belakang mereka.

"Apa kau ada hubungan dengan mereka?" Tanya Suzu masih penasaran.

Mereka sudah melangkah dan melewati meja informasi, keduanya menelusuri lorong yang lain.

Sekali lagi Suzu menoleh dan menggerutu kesal melihat wajah Lyn. Dia tak peduli dengan pria di sebelahnya yang sibuk mengisi form di meja.

Chi diam saja tapi diam nya membuat Suzu kian ingin tahu.

"Apa kau mengenalnya?" Ulang Suzu, Chi menghela nafas berat.

Dia menatap Suzu sejenak, lalu dengan suara lirih dan raut wajah malas, dia meyakinkan diri sendiri untuk memberi tahu Suzu.

"Dia pria yang ku maksud!"

"Apaa!!" Suzu berusaha menahan suaranya, rasanya dia ingin berteriak lepas saat ini.

"Kenapa tak katakan dari tadi!" Dia melepaskan lengannya dari tangan Chi, dia membalik badan dan berlari menuju meja informasi.

Setidaknya dia ingin tahu seperti apa wajah baj*ingan yang membuat Chi menangis dalam sampai tersedu sedu beberapa waktu lalu.

Sayang sekali mereka sudah tidak ada, mata Suzu kehilangan keduanya.

Ternyata Lyn dan Marco di tuntun ke ruang pribadi dokter David, mereka sudah lama memiliki janji dan saling mengenal satu sama lain.

Suzu tak menyadari, pasangan yang barusan masuk ke ruangan tak jauh dari posisi mereka adalah Lyn dan Marco.

Dia berdecak kesal tak mendapati pasangan tadi. Suzu kembali ke posisi dimana Chi menunggunya dengan wajah yang melongo heran mendapati tingkah Suzu yang tiba tiba kembali ke depan lagi.

"Kau kenapa?" Tanya Chi heran.

"Setidaknya buatlah keributan agar mereka malu!" Gusar Suzu.

"Bukankah itu akan mempermalukan ku?" Tanya Chi dengan wajah ragu.

Dalam kasus cintanya secara umum dalam pandangan banyak orang, dia lah yang bersalah.

Untung saja Suzu tak bertemu mereka. Kalau tidak.. bisa gawat, baru juga kasus Willady selesai, harus tambah kasus lagi.

"Kau tahu, skandal kakak membuatku tak takut lagi. Aku percaya dengan power orang tuaku, aku tak akan menjadi rapuh seperti dulu!" Ujar Suzu dengan bersemangat. Entahlah harus bangga atau malah malu, memang sih Willady bisa melakukan apapun dengan status mereka.

"Dan satu lagi! Bagiku kau sudah cukup untuk jadi sahabatku! Aku tak butuh yang lainnya.." Chi tersenyum kecil

"Kau tak boleh mengatakan itu. Kau harus mendapatkan banyak teman, jangan hanya diriku,"

"Kenapa?"

"Karena aku kan banyak urusan. Sampai kapan kau bergantung padaku!" Ujar Chi dengan wajah sumringah. Dia juga senang Suzu menjadi sahabatnya.

"Kau tak boleh meninggalkanku, aku akan memintamu pada orang tuamu." apa maksudnya, kalimat Suzu terdengar ambigu.

"Kalau kau pria aku pasti akan menikahimu!"

"Hahahah.. kau mulai butuh dokter sepertinya!" Chi memeriksa dahi Suzu dengan punggung tangannya.

"Kebetulan kita sudah di rumah sakit, kau harus minta jadwal!" Ujar Chi membuat lelucon.

Keduanya kembali ceria dan masuk ke dalam lift, menuju lantai ruang rawat Abraham.

Pasangan Willady tak seharipun meninggalkan Abra. Kamar luas ruang rawat Abra seakan di dekor ulang menjadi kamar nyaman dengan meja kerja. Willady sampai memindahkan banyak berkas pekerjaan di sini. Dia begitu mencintai putranya. Begitupun nyonya Willady, dia sangat sibuk. Dia harus pandai membagi waktu karena hanya ada beberapa jam saja untuk mengunjungi Abra ataupun Suzu di rumah.

"Apa kabarmu sayang?" Tanya Willady menyambut Suzu, dia juga tersenyum pada Chi. Benar benar orangtua yang ramah dan penyayang.

"Papa.. aku ingin bertemu dengan kakak" rengek Suzu tak sabar, tuan Willady mengangguk.

Dia menunjuk sebuah pintu kaca dengan hordeng tertutup rapat. Ya.. di kamar itu Abra di rawat.

"Mama sedang membuat minuman hangat, apa kalian mau?" Tanya nyonya Willady mengangkat cangkir di tangannya. Suzu mengangguk di ikuti Chi yang malu malu.

"Tolong buatkan dua lagi ya, tambahkan ginseng juga" pinta nyonya pada asistennya.

Tanpa mengulur waktu lagi, Suzu memakai pakaian pelindung lengkap dan dia juga menyerahkan satu pada Chi.

Apa aku harus ikut? Chi bertanya pada diri sendiri. Dia menurut saja,ikut memasang masker, tutup kepala dan pakaian pelindung lengkap dengan masker standar medis. Keduanya melangkah perlahan.

Suzu mendorong pintu perlahan.

Kalau tadi dia terlihat begitu bersemangat nampaknya berbeda jauh dengan saat ini. Dia memegang dada dan menarik nafas panjang, fiuuh.. rasanya, kaki Suzu tiba yiba jadi berat.

Gadis itu terlihat ragu, dia urung membuka pintu.

"Kenapa.." tentu saja Suzu tak bisa mendengar suara Chi, dia hanya bisa melihat pergerakan pundak temannya itu.

Melihat gerakan bahu Suzu yang turun, Chi seakan paham, dia membukakan pintu untuk Suzu.

Di depan sana..

Seorang pria terbaring dengan alat bantu medis di wajahnya, dan di kakinya juga tertutup perban, kaki itu menggantung pada tiang.

Wajah pucat itu berusaha mengukir senyuman yang terasa berat dan getir di wajahnya.

Tangannya mengibas meminta Chi mendekat.

Aku? Chi tak yakin dengan kibasan tangan barusan.

"Kau tak rindu denganku?" Suaranya terdengar sangat pelan dan lirih.

Chi berusaha menjauhkan tangannya tapi dia tak tega karena sentuhan ini begitu lemah.

Abraham tak sanggup menggenggam tangan yang dia raih, dia hanya menempelkan telapak tangan saja.

"Aku ingin mendengar suaramu.." lirih Abraham, seakan berbicara mesra dengan kekasihnya.

"Apa kau lupa pada kakak.."

Tapi tidak. Dia sedang menggoda Suzu, hanya saja.. Suzu bahkan belum memasuki ruangan itu, gadis itu malah mematung di balik daun pintu kaca yang tertutup hordeng. Dia gugup dan tak bisa melangkahkan kaki ke ruangan kakaknya.

Mata sayu Abraham membuat Chi iba, dia terus menatap balas pandangan Abraham, dia berusaha menggenggam tangan Abraham. Mungkin dengan genggaman ini Abra akan sedikit lebih kuat dan tenang.

"Kau bukan adikku?" Abraham melihat bola mata yang berbeda. Alis tebalnya bertaut kencang.