Chereads / DOSENKU TENGIL / Chapter 20 - DT. 20

Chapter 20 - DT. 20

Lewat lima menit. Gawat! Aku kesiangan.

Memasuki gedung kampus, aku berlari menuju kelas. Beberapa orang menegur akibat ulahku karena menyenggol mereka, tapi aku tak peduli.

"Mana mata kuliah Zay lagi," gerutuku.

Mungkin dulu tak masalah, jika kesiangan saat masih berstatus murni sebagai mahasiswi. Namun, beberapa bulan lalu statusku bertambah, menjadi istrinya. Pasti aku malu. "Tidak ada toleransi", itu yang pernah dia ucapkan saat aku bertanya perihal kebiasaan bangun siang. Terbayang sudah bagaimana dia memarahi istrinya ini di depan semua penghuni kelas.

Baru akan mengetuk pintu kelas, kuurungkan saat menyadari ternyata hanya ada satu orang di dalam sana. Itu pun sepertinya dia hendak keluar.

"Payah lo, Al! Bilang-bilang dari pagi kalau suami lo enggak ngajar. Bisa nyantai 'kan gue di rumah," ucap Yudis sambil berjalan menghampiri.

Aku hanya meringis, menggaruk kepala yang tak gatal sama sekali. Entah apa yang harus aku katakan.

Yudis berlalu. Tinggal aku sendiri berdiri di depan pintu, yang masih diliputi rasa bingung. Memangnya Zay ke mana?

Kurogoh ponsel, lalu menelepon Jihan.

"Halo, Al!" sapanya lebih dulu.

"Di mana?"

"Baru keluar parkiran, mau pulang. Ada apaan?"

"Oh, gue pikir masih di kampus."

"Pas tau Pak Zay enggak ngajar, gue langsung cabut. Gue mau lanjutin drakor semalam, hahaha!"

Aku masih terdiam mendengar tawa Jihan.

"Lo di mana, Al?" tanyanya kemudian.

"Di kampus," sahutku pelan, "baru sampe." Lalu menggigit tepian bibir.

"Koplak lo, Al. Kurang gawe. Suami bolos, lo malah pergi ngampus. Mau ngapain?" Terdengar kembali tawa keras Jihan dari ujung sana.

Bolos?

"Mau balikin buku," jawabku demi menutupi rasa malu. "Ya udah, sampai ketemu besok." Kututup sambungan telepon.

Antara malu dan tanda tanya besar.

Malu, karena mereka lebih dulu tahu Zay absen mengajar.

Tanda tanya, kenapa Zay tidak memberitahuku sama sekali?

Ah, keadaan ini benar-benar menyiksa. Sudah lebih dari seminggu aku menginap di rumah orangtuaku, dan Zay belum datang lagi setelah malam ulang tahun itu.

Apa dia marah, karena malam itu aku mengabaikan semua perhatiannya? Jelas aku tahu dia sengaja datang membawa kue ulang tahun. Lalu meminta maaf, dan mengatakan perasaan rindunya. Namun, aku malah membalasnya dengan amarah.

Hei, ini wajar! Aku bukan manusia suci yang tidak bisa marah, apalagi setelah mengetahui kebohongannya selama ini?

Ah, rumit sekali masalahku. Akan tetapi lebih rumit lagi jika membiarkannya terlalu lama. Baiklah, aku harus mengambil satu keputusan.

Keluar dari gedung kampus, aku putuskan untuk pulang ke rumah Zay. Entah masalahku akan selesai atau tidak hari ini, tapi setidaknya aku kembali ke rumahnya. Semoga ada celah untuknya agar bisa menyelesaikan masalah ini.

.

Taksi berhenti. Setelah melihat argo yang tertera, aku membuka dompet. "OMG!"

"Ada apa, Mbak? Apa salah alamat?" Sopir taksi memutar tubuh, bertanya heran.

"Oh, eng-gak ... Pak. Benar ini, kok!" Aku meringis malu.

Setelah membayar ongkos, aku turun. Lalu menatap pilu dompetku. "Kasihan kamu, Alena. Seminggu jauh dari suami, membuat dompetmu tipis begini!" ratapku.

Hah, sudahlah! Setelah puas bersedih atas isi dompet, aku membuka gerbang pagar.

"Assalamualaikum," sapaku saat membuka pintu rumah.

"Alena?" Mama Hani muncul dari arah dapur. "Waalaikumsalam, sini masuk!"

Aku tersenyum, menghampiri mertuaku. Setelah berhadapan kuraih tangan kanannya. "Maaf, Ma. Alena baru ke sini lagi," ujarku dengan nada kikuk.

"Enggak apa, Mama ngerti. Pasangan muda kayak kalian, pasti masih belum bisa menyelesaikan masalah dengan cepat." Mama Hani membelai kepalaku lembut.

Aku tersenyum kecut. "Mmm, Zay ke mana, Ma?" tanyaku gugup. Entah kenapa nyaliku menciut ketika menyebut nama lelaki itu.

"Loh, emang Zay enggak kasih kabar sama kamu?"

Aku menggeleng.

"Tadi pagi sih, bilangnya dapat tugas apa gitu. Jadi wakil SMA 5 buat hadirin seminar di Jakarta."

"Pulangnya kapan?"

"Besok atau lusa, Mama lupa."

"Oh ...." Aku menganggukan kepala.

"Mama lagi bikin rainbow cake, baru aja mateng. Mau cobain?"

Aku tersenyum sambil mengangguk. "Alena ganti baju dulu."

"Boleh," timpal Mama.

Aku pun berlalu dari hadapannya. Berjalan menuju kamar Zay di lantai atas. Kamar yang sudah kami huni bersama selama beberapa bulan ini.

Kulepas tas, menyimpannya di atas kasur bersamaan dengan tubuh ini. Lalu ... aku harus bersyukur atau bersedih karena belum bisa bertemu dia lagi?

***

"Yah ... yah ... yah, malah mati. Ish!"

"Kenapa, Len?" Kepala Papa Arsyad muncul di balik pintu.

Ya ampun, apa aku lupa menutup rapat pintunya?

"Eh, ini ... Pa. Laptopnya mati, padahal lagi ngerjain tugas buat besok," ujarku sedikit malu.

"Oh, pakai aja laptop Zay. Bisa 'kan?"

"Emang ... boleh? Maksudnya Zay enggak bakal marah, Pa?"

"Kalau dia marahin kamu, entar Papa jewer dia!"

Aku tertawa. "Kalau gitu Alena ambil ya, Pa?"

Papa Arsyad mengangguk.

Akhirnya aku mengambil laptop Zay di ruang kerjanya, lalu bergegas kembali ke kamar. Sekitar satu jam aku mengerjakan tugas.

"Udah, print-nya besok aja," gumamku sambil mengarahkan anak panah ke bagian sudut kiri layar di depan. Kuputuskan untuk mematikan laptop, tapi ...

Ada rasa penasaran menggelitik. Sejujurnya, selama ini aku memang terkesan tidak peduli dengan kehidupan Zay. Baik itu barang kesayangan, makanan kesukaan, apalagi masa lalunya. Bahkan aku tidak pernah bertanya tentang masalah apa yang dia hadapi.

Aku hanya tahu, apa yang dia ceritakan. Selebihnya aku tidak pernah bertanya. Itu karena aku menghargai privacy-nya. Sebagai istrinya pun, aku harus membatasi keingintahuanku.

Namun, kini diamku itu malah menjadi bumerang. Aku seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Dengan mudah menerima pernikahan kami, lalu ... jatuh cinta padanya.

Itu menyakitkan. Ketika aku sudah bertelanjang bulat di hadapannya, tapi dia enggan melucuti semua pakaiannya hanya karena ada luka di salah satu bagian tubuhnya.

Zay ... enggan menceritakan luka itu.

Setelah meyakinkan diri, tanganku kembali bergerak membuka file pribadinya. Agak sulit, karena banyaknya folder dengan berbagai nama. Aku membacanya satu persatu, hingga sebuah nama itu berhasil aku eja. Luna.

Klik. File terbuka. Sebuah video, diawali intro musik gitar.

Kau begitu sempurna

Di mataku kau begitu indah

Kau membuat diriku

Akan slalu memujamu 

Lagu itu terus mengalun, seiring tampilan layar yang berubah setiap lima detik sekali. Gambar-gambar silih berganti, foto perempuan cantik.

Luna, Luna, dan Luna.

Sempurna, dia memang sempurna. Berwajah cantik, dengan senyum manis dan bahagia. Dalam berbagai macam gaya dan fose, gambarnya mengisi video lagu.

Semakin lama melihatnya, ada setitik rasa yang mengganjal di hati. Entah ini hanya perasaanku saja, atau memang ....

Luna mirip denganku?

Salah satu foto yang sedang memperlihatkan bunga Melati di kedua tangannya dengan wajah agak merunduk. Dia tersenyum.

Kenapa aku merasa, itu aku? Padahal aku tidak pernah berfoto seperti itu.

Kuperhatikan lagi foto yang lain. Saat Luna melangkah sambil menoleh ke belakang. Kemudian ada lagi Luna yang sedang berdiri menatap hamparan bunga, Zay mengambil gambarnya dari samping.

Astaga! Aku baru sadar. Pantas Jihan mengira foto di studio itu adalah aku. Kupikir hanya karena gaun kami yang sama, tapi juga ... wajah kami.

Ya Tuhan! Kenapa bisa aku baru menyadarinya?

Bukankah, ketika di Surabaya beberapa waktu lalu teman-teman Zay juga sempat terperangah melihatku? Kukira itu karena kalung di leherku.

Ya, dari jauh, selintas aku dan Luna hampir serupa. Namun, jika diperhatikan secara dekat wajah kami memiliki beberapa perbedaan. Tentu saja, tidak ada yang benar-benar seratus persen berwajah sama. Yang tampak jelas membedakan adalah Luna memiliki tahi lalat kecil di dagunya. Itu memang menambah kesan manis pada seorang perempuan.

Selebihnya, Luna adalah perempuan berwajah fotogenik. Dalam tampilan macam apa pun, dia tampak cantik.

Di penghujung video, Luna setengah berlari. Dengan satu tangan menggenggam tangan lain.

Itu seperti Zay yang memegang kamera dan mengikuti langkah Luna.

Di padang rumput, di penuhi bunga.

Mereka ... sungguh romantis.

***

Aku membawa piring bekas sarapan menuju wastafel untuk dicuci.

"Udah, biar Mama aja." Mama Hani mengambil alih piring itu.

Aku tersenyum. "Repotin ya, Ma?"

"Kamu 'kan anak Mama." Beliau menyempatkan melirikku. "Gimana, Zay ada telepon?"

Aku berputar, bersandar pada dinding. "Enggak ada, Ma."

Hening, hanya ada suara kucuran air dari keran.

"Seandainya Mama bisa bantu. Mama juga enggak enak lihat Zay melamun terus, Len."

Aku menoleh. Apa maksudnya?

Mama menatapku. "Tempo hari Zay tersenyum, pulang membawa kue ulang tahun. Tapi waktu besoknya balik ke sini, dia cemberut lagi."

Aku tersenyum kecut. Merasa tak enak hati. Lalu, sesuatu terlintas di benak. "Ma, Alena boleh tanya sesuatu?"

Mama mengangguk. "Boleh. Sebentar, ya?" Mama Hani membersihkan tangannya.

Dua gelas teh hangat tersaji di meja. Ini yang membuatku nyaman, mama mertua selalu memperlakukan aku lebih dari seorang menantu.

"Jadi Mama bisa bantu apa, nih?" tanyanya santai setelah mengempaskan tubuh di sampingku.

Aku menggenggam gelas di tangan, agak ragu sebenarnya untuk bertanya masalah ini. "Mmm, menurut Mama Zay itu orangnya seperti apa?"

Mama tersenyum, meneguk teh di gelasnya. "Zay itu keras kepala dan egois," ucapnya sambil menyimpan gelas. "Sekali dia katakan A, enggak ada orang yang bisa mengubahnya. Mama sempat khawatir, saat masuk kuliah dia memilih jurusan hukum. Ya, menyadari hobinya itu. Dia suka sekali dengan dunia fotografi."

"Alena tau itu." Aku menunduk, menatap isi dalam gelas. Entah kenapa, muncul bayangan Luna dari sana. "Yang ingin Alena tau, tentang masa lalu Zay, Ma," tuturku pelan. Tercekat suara ini, menahan sesak dalam dada. "Ini ... tentang Luna."

Tanganku basah terkena tumpahan teh. Bukan dari gelasku, tapi gelas Mama. Aku menoleh, wajahnya tampak terkejut.

Sebegitu kagetkah Mama, saat aku bertanya tentang Luna? Sama, seperti putranya.

Aku beranjak, mengambil lap di rak piring. Setelah membersihkan meja, aku ambil gelas di tangannya. "Mau aku buatkan lagi, Ma?"

"Enggak usah, Len," sahutnya dengan suara parau.

Aku pun duduk kembali, setelah menyimpan gelas di wastafel. Kali ini kami duduk di kursi yang berseberangan.

"Sejak kapan, kamu tau ... Luna?"

Aku menatap wajah Mama, yang menurutku masih tampak kaget.

"Baru seminggu ini sebenarnya, hanya saja ... ini seperti pukulan telak buat Alena, Ma."

Mama meraih tanganku. "Maaf, harusnya Mama tau ini salah. Sebuah hubungan yang diawali dari kebohongan, itu tidak akan berdampak baik." Lalu air mata mulai menetes dari kedua matanya.

Jawabannya itu, seolah mengerti peliknya masalah yang sedang kuhadapi. Kurasa Mama sudah tahu pokok permasalahannya, tanpa harus kukatakan semua. Terlebih, setelah melihat bagaimana beliau menangis.

Tahu rasanya? Perih sekali, seperti tersayat berkali-kali tanpa tahu kapan darahnya akan berhenti mengucur. Karena kini aku menyadari, ternyata perempuan yang selalu kupuji juga tahu perihal kebohongan anaknya selama ini.

Aku melepas tangan Mama perlahan. "Sebegitu berartikah posisi Luna, sampai Zay sulit melupakannya?"

"Tidak, bukan seperti itu, Alena."

"Pantas Zay enggan kembali ke Surabaya. Apa karena kota itu menyimpan sejuta kenangan untuknya?" Aku menghapus air mata di kedua belah pipi, yang entah sejak kapan berderai membasahi wajah.

Hampir aku bangkit, tapi Mama menahan lenganku. Kuurungkan, lalu duduk kembali.

"Suatu hari, Zay pulang dalam keadaan yang tampak berbeda. Mama dan Papa tau jika itu adalah hari pertamanya mengajar di kampusmu. Dia terlihat muram. Kami pikir Zay tidak menyukai pekerjaannya. Namun, keesokan harinya dia malah berubah semringah. Zay tampak bersemangat pergi ke kampus. Hingga suatu hari dia bercerita, katanya baru saja bertemu dengan Oom Angga dan Tante Ami."

Aku ingat. Itu hari di mana Zay mengundang orang tuaku ke kampus.

"Dia memaksa kami untuk berkunjung ke rumahmu, Len. Dan ... melamarmu."

Aku memejamkan mata. Bukankah ini seperti sudah direncanakannya sejak lama?

"Mama dan Papa sempat menolak, apalagi setelah melihatmu ... mirip Luna." Suara Mama Hani mulai bergetar. "Tapi Zay ... sudah Mama katakan dia itu keras kepala dan egois. Dia bilang sudah melamarmu di kampus, dan kamu menerimanya."

Aku menunduk, menahan wajah di atas kedua tangan. Astaga, kamu memang benar-benar bodoh, Alena!

"Tapi, Mama yakin sekarang Zay sudah benar-benar mencintaimu, Alena."

"Aku enggak yakin, Ma. Sejak kepulangan kami dari Surabaya, Zay berubah. Sikapnya itu ...." Aku memalingkan wajah dari tatapannya.

Sakit. Ada yang terkoyak di balik dada, setiap mengingat foto-foto itu. Aku merasa kemistri di antara mereka sudah terbangun sejak lama, terlihat dari cara Luna yang tak sungkan berekspresi di depan kamera, dan Zay yang pintar mengabadikan semuanya ke dalam foto.

"Apa alasan Zay menikahi Alena, hanya karena wajah kami yang mirip?"

"Dulu mungkin, tapi sekarang Mama sudah melihat Zay berubah."

"Lalu kenapa Zay masih menyimpan banyak foto Luna. Mama tau, itu artinya Zay belum sanggup melupakannya?"

"Itu masalahnya kenapa seminggu ini kalian jauh-jauhan?" Mama Hani memberi pertanyaan menohok itu. "Tapi, Len. Luna sudah meninggal," tegasnya.

Aku menghapus air mata di kedua pipi dengan kasar. "Yang Alena kecewakan adalah ... ternyata Zay enggak sepenuhnya sayang Alena. Iya 'kan, Ma?"

***

"Jadi Pak Zay pergi ke Jakarta?" Jihan menarik kursinya agar lebih dekat denganku.

"Mmm," sahutku malas.

"Lo kenapa, Al? Dari tadi diem mulu. Sakit gigi?"

Aku menolehnya, lalu memberi senyum setengah terpaksa.

"Ah, lo kangen sama suami lo. Iya, 'kan? Nih, buktinya pakai kaca mata segala. Mata lo agak sipit. Abis nangis, ya?" Jihan membulatkan mata dan bibir.

"Udah, ah. Udah sore. Gue mau pulang," pungkasku untuk menghindari lebih banyak pertanyaannya.

"Yey, si Eneng nuju bad mood, euy!" Jihan malah mengejek. "Ya udah sono, gue mau ke perpus dulu," sambungnya.

"Gue duluan!" teriakku di pintu kelas.

Jelas mataku agak sembab, semalaman dan seharian ini aku tidak tidur. Wajah Luna terus melintas di depan mata. Bahkan caranya tersenyum, tertawa. Begitu terekam jelas di ingatanku.

Tidak aneh, jika Zay begitu terobsesi. Memaksakan kehendaknya untuk menikah denganku. Karena satu alasan, aku mirip dengan Luna.

Baru saja menginjakkan kaki di paving trotoar, sebuah mobil berhenti tepat di depan mata. Mobil mewah yang jarang dimiliki oleh kalangan biasa seperti keluargaku.

"Hai!" Suara itu terdengar bersamaan dengan kepala yang muncul dari balik jendela belakang.

"Elang?"

"Apa ada hantu di sini?"

Aku mengedarkan pandangan. "Hantu?"

"Terus kenapa kamu kaget gitu?"

Aku menatapnya, berdecak kesal.

Pintu terbuka. "Ayo, naik!"

"Ke mana?"

"Ikut saja!"

Tadinya ingin menolak. Hanya saja memikirkan di rumah pun percuma, yang ada aku kembali memikirkan kisah Zay dan Luna.

Aku mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil.

"Kamu sakit, Alena?" Seraut cemas terlihat di wajah Elang.

Aku membetulkan posisi kaca mata. "Semalam begadang, banyak tugas," elakku.

"Butuh dokter?"

"Enggak usah. Aku baik, kok."

"Oke. Kupikir dengan membuatmu senang, itu sama artinya dengan memberi obat. Iya, 'kan?" Elang terkikik. "Vitamin hati," lanjutnya sambil kembali duduk menghadap depan.

Aku pun ikut memalingkan wajah ke arah jendela. Menatap suasana penghuni kota dengan berbagai rupa. Ada yang sedang tertawa bersama kawannya, ada juga yang duduk melamun sendirian.

Aku tersenyum.

Ini dunia, Alena. Berbagai kisah bisa tercipta. Ada yang menangis, ada yang tertawa. Ada yang berdiri pongah atas kemenangan, juga ada yang terpuruk menangisi kekalahan.

Jangan terlarut dalam duka mendalam. Bukankah dulu pun kamu pernah terjatuh? Lalu seiring waktu kamu bangkit perlahan.

Harusnya kini kamu bisa belajar dari hal itu.

Aku melirik ke samping, Elang sedang bernyanyi-nyanyi sendiri mengiringi musik yang mengalun dari tape.

Tersadar akan satu hal. Kenapa kini pusingnya tidak ada sama sekali?

Apa karena ketakutanku pada Elang sudah sirna?

Kembali kucuri pandang. Elang tampak begitu menikmati lagu-lagu pop Indonesia itu.

Ya, kini aku yakin. Dia memang Elang dan masih menjadi Elang. Gayanya yang tak acuh dan santai ; celana jin belel dan kaos. Itu yang aku suka darinya.

Juga perhatiannya. Dia masih sama seperti dulu.

Kembali aku memandang jalanan. Sedikit terkejut saat menyadari Pak Jim membawa mobil memasuki halaman parkir.

Klub?

"Kok, tempat gini?" tanyaku setelah turun dari mobil.

Elang turun dibantu Pak Jim, lalu menghampiri setelah mengapit kruk di lengan kanannya.

"Kenapa? Dulu di Jakarta kita sering, 'kan." Dia bertanya saat berdiri di depanku. "Sudah kukatakan, ikut saja!"

Klub, memang tempat seperti ini sering kami kunjungi. Sekadar kumpul-kumpul bersama teman, tapi itu dulu. Aku selalu mengikuti ajakannya, karena ini adalah salah satu tempat agar kami bisa menari sepuasnya. Berhubung tubuhku tinggi dan bongsor, dengan mudah bisa ikut masuk tanpa pemeriksaan.

Aku berjalan di samping Elang, meski dengan langkah agak lambat.

Pintu terbuka. Klub masih sepi. Aku menyapukan pandangan, benar-benar hening dan gelap.

"Kok, enggak ada orang?" Aku mulai was-was.

Elang memutar tubuhnya. "Surprise!" teriaknya.

Namun ternyata, teriakan memekakkan telinga itu bukan berasal dari bibir Elang saja. Mereka bermunculan dari segala arah, bersamaan lampu yang mulai menyala.

"Kalian?" Aku menutup mulut dengan satu tangan. Menahan rasa kaget dan haru yang bercampur menjadi satu. "Kenapa bisa, El?"

"Tadi pagi saat berangkat dari Jakarta, aku putusin ajak mereka." Elang mengulum senyumnya. "Kamu suka?"

"Aku cukup terkejut," sahutku.

"Welcome to the party! Hari ini kita akan merayakan atas kembalinya Alena dalam hidup kita." Elang berseru.

Aku memukul bahunya pelan sambil tertawa kecil.

"Oke, geng. Jangan menunda waktu, nikmati segera. Let's the dance!" Elang kembali berteriak.

Belum habis rasa terkejutku, musik sudah bergema. Satu persatu orang-orang mulai menari. Mereka, temanku sewaktu di sanggar tari.

"Hai, Al! Lo tau, El sampe mohon-mohon biar kita datang?" Grace menghampiri, lalu memelukku. "Dari dulu El emang perhatian banget sama lo."

"Kalian udah enggak marah?"

Grace menggeleng. "El benar, ini enggak adil buat lo," jawabnya, lalu menepuk pundakku. "Gue seneng kita bisa kumpul lagi. Ayo gabung!" Lalu dia berlari masuk ke dalam kerumunan orang-orang yang sedang asyik menikmati musik.

Seketika suasana klub berubah. Lagu On The Floor   mengalun diiringi lampu kerlap-kerlip mengisi ruangan.

Tampak Elang menggoyang tubuhnya, walau hanya tangan yang bergerak. Dia tampak asyik tertawa, bercengkerama dengan yang lain.

Hei, El! Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuat aku senang.

Dari sini aku melihat, dia yang dulu selalu menunjukkan perhatiannya padaku lewat caranya sendiri.

Dengan sosok lain, yang tiba-tiba datang dan tergesa ingin segera memiliki. Tanpa memedulikan bagaimana kehidupanku selanjutnya.

.

"Kamu nari-nari gitu, kaki kamu enggak apa-apa?" Aku bertanya cemas di sela perjalanan pulang.

"Justru dengan gini, aku makin semangat buat sembuh total," sahut Elang santai.

"Kamu rutin terapi?"

"Iya, dong!" Elang mengangguk. "Kamu tau Dokter bilang apa di pertemuan terakhir kami?" lanjutnya.

"Apa?"

"Kondisi kakiku semakin membaik, tulang dan sarafnya mulai bekerja normal."

"Alhamdulillah." Aku tersenyum.

Elang memiringkan kepalanya, menatapku dengan senyum kecil yang menyiratkan rasa heran. "Biasanya kalau kamu dengar kabar bagus itu, teriak hore atau asyik?"

Aku tersenyum samar, lalu membuang pandangan.

"Boleh aku ngomong sesuatu, Alena?"

"Ya."

"Aku pikir kamu emang berubah, sedikit lebih dewasa. Bukan artian tua lho, ya? Sekarang kamu lebih pendiam, enggak kayak dulu. Tadi aja diam terus, padahal kita happy-happy."

"Aku udah lama enggak gerakin tubuh, kaku," ucapku asal.

"Sejak kecelakaan itu?"

Aku memalingkan wajah ke arahnya, tersenyum kecut.

"Bertahun-tahun aku cari kamu, Alena. Seminggu setelah sadar dari koma, aku baru tau kamu pindah. Sayangnya, Mami langsung membawaku ke Singapura. Waktu itu kedua kakiku lumpuh, aku enggak bisa berontak sama sekali."

Aku merunduk. Meremas jemari yang mulai lembab.

"Tapi itu sudah berlalu, Len-len. No problem. Duduk bertahun-tahun di atas kursi roda bukan sesuatu yang buruk, kok!" kelakarnya.

Sayang, candanya itu tidak lucu sama sekali untukku.

"Saat Vino mengatakan dia sudah tau rumahmu, aku bertekad untuk bisa berjalan. Dan lihat, walau masih memakai satu tongkat aku bisa menemukanmu dengan mudah!"

"Jadi bunga itu darimu?"

"Tentu saja. Aku ini pria romantis, kata para mantanku!"

Aku tertawa. "Konyol!"

"Alena."

"Ya?"

"Aku rindu tawamu."

"Kamu ...." Kutonjok bahunya pelan.

"Alena. Tidak ingin bertanya siapa pacarku saat ini?"

"Buat apa?" Aku terkekeh.

Sempat kulihat raut Elang yang berubah, tapi segera berpaling menghindari percakapan lagi. Berpura-pura menikmati perjalanan.

"Udah sampai, Non Alena." Pak Jim memberitahu.

Aku menengok ke arah jendela, benar saja mobil sudah berhenti di depan rumah. Aku lupa tidak sempat meminta Pak Jim untuk berhenti di persimpangan.

"Aku turun," pamitku.

"Alena!"

"Apa lagi, El?" Aku memutar kembali tubuh.

"Siapa My Tengil?"

Aku menautkan kedua alis selama tiga detik. Tersadar akan satu hal. "Oh, itu--"

"Tidak apa, jangan sekarang. Masih ada hari esok." Elang tersenyum.

"Oke, aku pamit." Aku keluar dari mobil, lalu mengucapkan terima kasih pada Pak Jim.

Mobil itu kembali melaju menembus kegelapan.

Tinggal aku sendiri, terdiam dalam satu pertanyaan.

Siapa My Tengil? Bahkan saat bersama Elang tadi, aku sama sekali tidak sempat memikirkannya.

*****

--bersambung--