Aku terenyak, saat setumpuk buku dia simpan di hadapanku.
"Apaan ini?"
"Buku. Kamu pikir apa?" Dia berkata sambil berkacak pinggang. "Menu makanan?" Lalu sedikit membungkuk ke arahku.
Aku menarik kursi sedikit lebih jauh dari meja, mengembuskan napas, memutar bola mata, bersamaan. Sembari membatin, kuatkan aku, Tuhan!
"Kemarin Pak Herman melaporkan nilai kuismu."
Aku memejamkan mata. Siaga 45, tidak salah lagi.
"Ini, lihat!" sentaknya.
Terpaksa kuluruskan kembali wajah. Memincingkan mata ke arah selembar kertas yang terpampang dengan nilai E, tepat di depan kepalaku!
"Sudah kubilang, mulailah sering-sering membaca buku materi, bukan novel. Dasar mahasiswi ngeyel!" ocehnya, kemudian menyimpan kertas itu di meja.
"Itu 'kan hanya kuis, bukan ujian," sanggahku santai.
"Ujian atau kuis, yang jelas otakmu itu enggak bisa dipakai buat berpikir. Aku jadi penasaran. Apa sebenarnya yang ada di dalam otakmu?"
Kedua mataku melotot.
"Apa isinya, heh?" lanjutnya. Zay memiringkan kepala dengan kedua tangan terlipat di dada.
Isinya?!
Memang, apa isi otakku?
"Dasar dosen tengil!" umpatku sambil berdiri.
"Tapi aku suamimu."
Kaki yang hendak melangkah, urung mendengar suara lembutnya. Aku kembali berdiri di hadapannya, terhalang oleh meja kayu berisi tumpukan buku itu.
"Aku sudah mengundurkan diri sebagai dosen pembimbingmu. Dan sebagai gantinya, aku menjadi pembimbingmu di rumah. Kurasa itu lebih baik, dan kupikir kamu menyukainya, Alena. Mudah, 'kan?"
Kukedipkan mata, mendengar kata-katanya. Mudah dia bilang?
Menikah dengannya, apa itu mudah?
Dibimbing olehnya, apa itu mudah?
Mengenyahkan semua asumsi-asumsi ini, apa itu mudah?
Juga, menghilangkan debar yang selalu datang secara tiba-tiba, apa itu mudah, Alena?
Akhirnya, aku pun duduk dengan pasrah. Entah malaikat mana yang menyuruhku untuk bersikap baik seperti ini?
***
"Udah." Aku menyodorkan buku padanya.
Zay mengalihkan pandangan sebentar hanya untuk meraih buku, lalu mulai membaca tulisanku.
Sekitar satu menit, wajah serius itu terdiam.
Ini yang tidak mudah, hey ... Pak Dosen!
Saat bersamamu, dalam keadaan hening.
Sungguh, aku suka melihat Anda seperti itu. Terlihat ... seksi!
Manik mata yang menatap tajam, dengan bibir yang merapat sempurna. Ah, bibir itu. Isi otakku mulai berubah nakal. Seandainya saja ....
What? Aku tersentak.
Tidak, Alena! Jangan berlebihan. Jangan terlalu jauh membawa perasaanmu.
Jaga image kamu di depan dia. Jaga!
"Ini salah, Alena!"
"Serius?" Aku memberi eksperi kaget.
"Berpikir sedikit, Alena. Berpikir!" Dia menunjuk pelipisku dengan balpoin.
"Ih, apa, sih?" Aku menepiskan tangannya.
Nah, 'kan. Sikap baiknya itu bisa berubah dalam sekejap, bahkan dalam hitungan menit.
Hah, suami macam apa dia? Istrinya selalu disiksa secara batin!
"Alena, kupikir nilaimu bisa lebih baik di ujian semester enam nanti. Nyatanya, soal seperti ini saja kamu belum bisa?"
Aku hanya memalingkan wajah dari tatapan matanya. Saat seperti ini, kenapa ketampanannya tidak berkurang sama sekali? Eh ....
"Benar-benar bodoh!"
Aku terdiam, tak perlu lagi rasanya membalas kecaman dan teriakannya. Aku memang bodoh, mempunyai otak yang benar-benar dangkal.
Aku berdiri, hendak kembali ke kamar.
"Alena!"
"Apa?" sahutku malas.
"Ceritakan padaku, apa masalahmu?"
Hah, dia menanyakan masalahku?
Bukankah sekarang dia itu masalah terbesarku?
Zay menggerakkan matanya sebagai isyarat agar aku duduk. Kembali kuhempaskan tubuh di atas kursi.
"Kenapa?" Dia bertanya setelah melepas kaca mata dan menyimpannya di atas meja.
Aku tersenyum kecut. "Kamu dosen berpengaruh di kampus, dan aku istrimu. Harusnya hal seperti ini bukan masalah besar, 'kan?"
Tampak Zay mengembuskan napas gusar. "Alena, itu enggak semudah yang kamu lihat." Suaranya mulai agak lembut, lagi. Dia bangkit dari kursi, memutari meja dan menghampiriku. Membungkukkan setengah badan, bahkan kedua tangannya bertumpu pada pinggiran kursi yang aku duduki.
"Dengar. Mungkin bisa saja aku memanipulasi semua nilai kamu jadi baik, tapi bukankah itu enggak adil buat kamu. Kamu lulus, dengan predikat Sarjana Hukum. Buat apa kalau tidak sebanding dengan kemampuanmu?" Wajahnya agak merunduk, dengan sorot mata yang teduh sekali terasa.
Embusan napasnya, hangat menerpa wajah. Aroma tubuhnya, membuat aku kesulitan bergerak.
"Alena, tell me." Sebelah tangannya bergerak, lalu mengangkat daguku.
Dag dig dug ... serr jantungku. Saat bola mata hitam itu menatap kedua mataku.
Lalu sebelah alisnya terangkat. Sebagai isyarat, 'apa?'.
Oh, no!
What happened? Bagaimana ini?!
"Alena," bisiknya lembut.
"Y-ya?" Suaraku mendadak sengau. Sumpah, aku gugup saat harus sedekat ini dengannya! Apa yang akan dia lakukan?
"Kamu ... lapar, ya?"
Bughh ....
"Aww!"
Rasakan! Aku kepalkan tangan ke arahnya yang sedang menikmati kesakitan dari dorongan mautku.
"Alena!"
"Alena!"
Aku tak peduli. Aku tutup pintu ruang kerjanya, muak rasanya!
Sial!
Kenapa dia bisa mendengar suara perutku yang keroncongan?
***
"Di mana?"
"Kampus!"
"Kenapa berangkat duluan?"
Malas lihat wajah kamu!
"Lagi mau aja. Enggak boleh?"
Terdengar desah kesalnya. "Pulang nanti--"
"Apa? Hukuman lagi?! Kamu mau hukum aku--"
Tut ... tut ... tut.
"Dasar! Enggak jadi dosen, enggak jadi suami. Ngeselin!" Aku tatap layar ponselku yang sudah gelap. Ya, sudah. Bagus juga dia memutuskan sambungan. Aku melangkah kembali menuju kelas.
"Alena!"
Heuh, suara cempreng itu lagi!
Harusnya aku pasang kertas di belakang punggung, bertuliskan Don't Disturb Me!
"Bisa enggak sih, jangan pakai teriak-teriak?" Aku berkacak pinggang setelah Jihan ada di hadapan.
"Kenapa? Tampang lo, kusut banget. Dihukum lagi ama suami, atau ...?" Jihan menyipitkan mata.
"Ngomong lagi gue jitak kepala lo, Ji!"
Dia melotot, lalu mengatupkan bibir. Pasti dia sudah tahu kondisiku sekarang.
Entahlah, sejak semalam pikiranku mendadak kalut tak menentu. Gara-gara suami menyebalkan!
Setelah jam kuliah beres, aku menuju kantin. Rasa lapar selama mengikuti pelajaran tadi sudah tak tertahan.
"Bu, bakso satu, ya!"
"Jangan, Bu!"
Hah, suara itu? Mungkinkah?
Kutengokkan kepala, benar saja.
"Kamu?"
"Ya."
"Bukannya, ngajar di SMA 5 itu?"
"Udah beres."
"Terus, kenapa sekarang di sini?"
"Maaf, baksonya jadi enggak, ya?" Ibu penjual bakso menyela obrolan kami.
"Enggak jadi, Bu. Istri saya belum makan nasi." Zay tersenyum ramah.
Ciih, bisa-bisanya dia tersenyum manis seperti itu pada ibu penjual bakso. Lalu padaku?
Ibu penjual bakso membalas senyum. "Iya, tidak apa, Pak."
"Maaf, ya, Bu." Zay menganggukkan kepala. "Sini!" Tiba-tiba dia meraih lengan kananku, lalu menarik paksa tubuh yang lemah ini.
Dengan langkah payah, aku ikuti tujuannya.
Zay membuka pintu mobil, menggerakkan kepala sebagai isyarat agar aku masuk. Dengan sisa tenaga, kuturuti semua perintahnya.
"Ini, makan dulu. Aku tau kalau kamu udah makan bakso, pasti pedes asem. Iya, 'kan?" Zay menyodorkan sebuah tempat nasi berwarna biru langit dengan gambar kartun domba.
OMG! Kotak nasi siapa itu, lucu sekali?
"Ayo, makan!" perintahnya lagi. Dengan sorot mata yang ... tanda apakah itu?
Karena terdesak, ya ... sejujurnya desakan rasa lapar tak tertahan. Aku raih benda di tangannya, lalu membukanya. Nasi goreng dengan banyak hiasan. Ada bakso, sosis, telur, udang.
Dalam hitungan detik, mulutku sudah penuh. Tak peduli rasa malu karena Zay sedang menatapku dengan senyum tertahan. Sudahlah, dia tidak akan tahu bagaimana rasanya kelaparan karena belum memakan sebutir nasi pun dari pagi.
"Alena."
"Hmm ...."
"Kamu lucu!"
Aku menoleh, menghentikan kunyahan. Entah kenapa, tiba-tiba seperti ada duri yang tersangkut di tenggorokan. Segera aku raih air mineral di atas dashboard mobil.
Air yang tinggal setengah botol itu habis, tak bersisa.
Tunggu! Ini ... botol bekas dia, 'kan?
Aku berpaling, demi melihat pipinya yang mengembung menahan tawa.
Sial!
"Hahaha!" Akhirnya tawa itu menggelegar.
"Kenapa ketawa?" Hampir aku membanting botol kosong di tangan ke arah wajahnya. Sayang, dengan gesit dia merebut dan melempar ke jok belakang. "Ini enggak lucu!" bentakku.
"Ya ampun, aku lupa! Mama pernah bilang jangan pernah memuji perempuan yang sedang khusyuk makan." Zay menggelengkan kepala berkali-kali dengan tawa renyahnya. "Sorry, sorry!" Dia berdehem setelah meredakan tawanya.
Aku memalingkan wajah, sambil mencebikkan bibir. Padahal sesungguhnya, hatiku berdebar tak karuan. Ah, jika saja aku punya keberanian. Ingin kuteriakkan tentang semua perasaan ini.
"Makan lagi." Zay meraih tempat nasi yang kusimpan di dashboard mobil.
"Udah kenyang!" ketusku.
"Hmm, manja."
"Apa?"
Zay malah tersenyum. "Alena, Alena. Benar apa kata Papa kamu. Kamu tuh fisiknya doang yang dewasa, tapi pikirannya masih mirip gadis ABG."
"Biarin. Masalah buat kamu?" tanyaku dengan nada tinggi.
"Ini ... cukup berat buat aku Alena." Raut wajahnya berubah juga nada bicaranya.
Aku mengernyitkan kening. Tidak biasanya dia bicara dengan nada seserius ini.
Zay memutar posisi tubuhnya menghadap depan, dengan mata yang menatap lurus ke arah sana. "Kamu tau, sehari sebelum kita menikah, Papa kamu udah mewanti-wanti supaya aku selalu jagain kamu?"
Hmm, Papa. Tentu saja, lelaki pertama yang selalu memanjakanku itu. Pasti berat melepas anak gadis manjanya ini, pada lelaki yang mengikrarkan dirinya sebagai suami.
"Papa bilang, Alena masih suka merajuk, manja, pecicilan, urakan. Papa khawatir kamu enggak bisa lulus kuliah dengan nilai baik. Makanya, aku kasih janji. Aku bilang, Alena pasti berhasil menjadi Sarjana Hukum, tepat pada waktunya."
Aku menatap setiap gerakan bibirnya. Itukah ciri seorang lelaki sejati sepertinya?
Wait, aku ralat. Dia belum menjadi lelaki sejati, titik!
"Alena, maaf. Jika aku terlalu keras dalam mendidik ... tunggu, kenapa janggal rasanya menyebutkan mendidik pada istri sendiri?" Zay menoleh, mengarahkan matanya tepat pada wajahku.
Aku mengerjapkan mata seketika, lalu memutar kepala ke arah jalanan. Malu rasanya, tertangkap basah saat asyik menatapnya.
"Alena, walaupun kita belum menjadi suami istri yang sempurna, setidaknya izinkan aku menjadi sosok sempurna di mata Papa kamu."
Apa maksudnya?
"Aku terlanjur berjanji sama Papa, membantu kamu hingga mendapat gelar Sarjana nanti," lanjutnya diakhiri senyum.
Ada setitik rasa bahagia. Karena ternyata, dia memang lelaki sejati yang berani mengambil risiko sebagai suami sekaligus dosen.
Sebagiannya lagi kecewa mendalam. Apa benar, hanya sebatas mendapat gelar Sarjana?
"Udah makannya?" Zay mengambil kotak nasi di atas pangkuanku. "Enak enggak?"
"Enak," jawabku pelan yang baru tersadar dari lamunan. "Aku baru tau kamu bisa masak."
"Bukan aku yang buat, aku 'kan alergi udang. Jangankan masak, pegangnya aja merinding."
"Terus siapa?"
"Serly."
"Serly siapa?"
"Anak kelas dua belas IPS dua."
"Murid SMA kamu?" Aku melongo.
Zay mengangguk. "Hmm, enggak enak kalau ditolak. Makanya aku bawa, aku tau kamu belum makan." Senyumnya mengembang lagi.
Antara senang dan kesal.
Senang atas perhatiannya, kesal karena ....
Dasar, dosen tengil!
*****
--bersambung--