Chereads / DOSENKU TENGIL / Chapter 8 - DT. 8

Chapter 8 - DT. 8

Baru saja akan membuka bungkusan keripik singkong, tiba-tiba tangan itu merebutnya dari genggaman. Membuat mulut yang siap menerkam malah menjadi terbuka percuma.

"Kenapa enggak makan malam?"

Aku merapatkan bibir kesal. "Mama masak sop brokoli, capcai campur brokoli, bahkan ada jus brokoli segala."

"Kamu enggak suka brokoli?" Tatapan dan suaranya menunjukkan rasa heran, seakan tidak percaya dengan apa yang aku katakan.

"Fobia," sahutku lesu.

Zay semakin mengernyitkan kening.

"Dulu aku suka banget sama brokoli, bahkan tiap makan mesti ada brokoli. Sampai suatu hari, aku lihat ada ulat gede banget di brokoli yang hampir aku makan. Hijau, menggeliat." Aku bergidik seketika membayangkan makhluk herbivor itu. "Hiiy, geli!"

Zay termangu, seolah tak percaya atas apa yang aku katakan.

"Kenapa? Aneh ya, kalau aku enggak suka brokoli?" Diam-diam aku ambil kembali bungkusan keripik di tangannya.

"Enggak, cuma ...."

Aku menghentikan gerakan gigi, menunggu lanjutan kalimatnya. Namun, dia malah berbalik dan berlalu dari hadapanku.

Apa-apaan? Datang hanya untuk mengganggu tak jelas.

Kuteguk minuman susu dingin dalam botol, menatap punggung yang menghilang di balik pintu. Sudahlah, buat apa aku pikirkan. Yang penting malam ini aku bisa tidur dengan perut kenyang.

***

Pak Herman keluar dari kelas. Aku pun merogoh ponsel yang sedari tadi bergetar selama jam kuliah. Siapa, sih? Mengganggu saja! Huft.

Ckck, pesan dari kontak bernama My Tengil rupanya. Dia yang selalu menyuruhku untuk belajar dengan tekun dan memperhatikan penjelasan dosen, tapi dia juga yang membuyarkan konsentrasiku selama di kelas.

Aku di parkiran, tulisnya.

Baru beres. Otw, balasku.

Kumasukkan lagi ponsel ke dalam tas. Membereskan buku dan balpoin. Aneh, kenapa rasanya semakin tak kumengerti.

Satu lelaki, yang bisa membuat berbagai rasa ada, campur aduk menjadi satu. Cuma dia seorang.

Bahagia, saat dengan cerewetnya memaksa mengantar ke kampus. Padahal dia tidak ada jadwal mengajar. Lalu setelah itu pulang, dan kembali menjemputku nanti.

Kadang membuatku kesal juga kecewa, bahkan cemburu. Kesal, karena tingkahnya itu yang sering membuat aku serba salah. Kecewa, kenapa selama ini dia tidak pernah menyadari perasaanku?

Hah, Alena!

Bagaimana bisa dia merasakannya? Memberikan perhatian lebih padanya saja, kamu tidak pernah!

Lalu, harus bagaimana?

Tidak, jangan sampai Alena. Jangan sampai harga dirimu turun. Tetap jaga image, kamu adalah perempuan berkarisma. Dia yang memaksa menikah, kenapa harus kamu yang bertekuk lutut lebih dulu?

Tampak Zay menyandarkan punggung pada pintu mobil, begitu santai dengan satu tangan memegang ponsel dan yang lain menelusup ke dalam saku celana.

Dia mengangkat wajah. Bibirnya tersenyum kala menyadari jarak kami tinggal beberapa langkah. "Hai!" Dia memasukkan Android-nya itu ke dalam saku celana.

"Hai!" Aku membalas sapaannya. "Udah lama?" tanyaku, ketika sudah berdiri di hadapannya.

Namun, bukannya jawaban yang aku dapat, malah ....

Senyumnya semakin lebar dan kedua tangan yang terulur meraih pinggangku, lalu ....

Dia mencium pipiku!

Begitu cepatnya semua adegan itu, sampai aku tak sempat sadarkan diri.

"Jangan melotot seperti itu, bola matamu hampir keluar." Senyum tertahan dari bibirnya, dan jarak wajah kami hanya lima centimeter. Lima centimeter!

Oh, Lord. Kesucianku ternoda.

Aku memundurkan wajah, bersiap menyerangnya dengan jurus suara halilintar menggelegar. "Ka--"

"Halo, Pak Zay! Halo, Alena!" Suara lain ternyata menyela rangkaian jurus yang hendak aku keluarkan.

"Halo, Vania!" Zay tersenyum manis, tapi bukan padaku.

Belum sempat tersalurkan rasa shock atas ciumannya tadi, lalu kini kembali harus merasakan ledakan itu.

Ya, ledakan setiap kali bertemu Vania. Mahasiswi yang dinobatkan sebagai The Most Favorite Girl Of The Year, guncangannya bisa melebihi tingkat ubun-ubun. BMKG pun tidak bisa menentukan hitungan SR-nya, kurasa.

"Hai, Vania! Mau ke mana?" Aku berputar, dan sengaja merapatkan tubuh ke samping Zay. Kini hanya satu tangannya yang melingkar di tubuhku, parahnya secara otomatis aku menggenggam jemarinya di perutku!

Jangan tanyakan kenapa aku bisa bersikap seperti itu?

Aku pun menarik napas, mengeluarkannya cepat. Semua emosi, lenyap seketika.

"Cuma mau nyapa Pak Zay, kok!" Bibir tipis Vania tersenyum lebar. Dengan tangan yang memilin ujung rambut.

Aih, terlihat sekali sebagai perempuan centil kelas kakap!

"Makasih! Kamu memang mahasiswi teladan sepanjang masa!" Aku berseru, lalu menoleh ke arah Zay. Dia tersenyum sambil membelai pipiku.

Vania tertawa, terkesan dipaksakan menurutku.

Tahan Alena, tahan!

Vania bukan apa-apa, kamu istrinya.

Nah iya, 'kan. Aku cemburu!

"Pak Zay, saya mau bertanya tentang--" Suara lembut Vania terdengar mendayu-dayu di telinga.

"Oh, aku lupa, Sayang! Kita harus cepat-cepat pergi, aku mau ajak kamu ke suatu tempat." Tanpa terduga Zay menarik tubuhku agar menghadap ke arahnya.

"Oh, ke mana itu suamiku?" Aku balas tersenyum, dua kali lipat penuh arti.

"Kejutan!" Zay tertawa, hanya dua detik sebenarnya.

Bisa kulihat wajah Vania yang memerah. Entah itu marah, cemburu, emosi, atau malu mungkin.

"Ah, maaf Vania. Kami harus pergi sekarang. Pertanyaannya nanti saja, ya? Sampai jumpa!" Zay melambaikan tangan. Lalu menyeret lenganku menuju pintu penumpang.

Aku bernapas lega setelah berhasil duduk dengan akting sempurna. Drama pun berakhir.

"Akhirnya." Zay duduk dan memasang sabuk pengaman.

Cih, dasar laki-laki ...!

Aku hanya mengerucutkan bibir menanggapi senyumannya.

Mendadak hatiku menjadi dongkol. Sepertinya dia hanya memanfaatkan keberadaanku. Entah berapa puluh kali kelihaian sandiwaraku ini dijadikan topeng olehnya.

Padahal, jauh di lubuk hatiku. Aku kadang berharap, jika kejadian barusan itu bukanlah sekedar akting ataupun sandiwara belaka.

Ah ... nasib, terima saja Alena!

Status pernikahan kalian ternyata cukup ampuh untuk menciutkan nyali para perempuan penggoda dosen di sebelahmu ini.

Aku dimanfaatkan, perih memang. Karena jauh di lubuk hatiku, sebenarnya aku ....

What?

Stop! Berhenti Alena.

Bangun ... bangun ... bangun!

Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya cepat.

Fiuhh.

Ini memang terlalu ganjil. Dosen sekeren dia, harus menikah dengan mahasiswi biasa sepertiku. Padahal, banyak perempuan yang terang-terangan mengejarnya. Tak jarang sebelum kami menikah, aku sering melihatnya mengobrol dengan para mahasiswi berpengaruh di kampus.

Lalu, kenapa dia harus memilihku menjadi istrinya?

Alena, si mahasiswi ngeyel, sedikit stupid dan tidak mempunyai prestasi apa pun.

Bahkan di bulan pertama pernikahan kami, aku sempat mendapat surat kaleng yang isinya terang-terangan menyampaikan protesnya padaku, karena sudah mencuri idaman hatinya. Aku tidak pantaslah, tidak cocoklah, tidak serasilah, beda level, beda kasta. Huft, agak sakit sebenarnya.

Lain halnya dengan Vania, dia juga salah satu pemberontak itu. Hanya kadar nekatnya lebih tinggi, dia menunjukkan sikap tak sukanya secara langsung. Seperti beberapa menit lalu, tanpa rasa canggung sedikit pun.

Oya, perlu diketahui. Vania itu dulu adalah saingan Gweny. Jika Gweny mendadak pindah kuliah, beda dengan dia yang masih tetap bertahan di kampus ini. Apa alasannya? Maaf, aku tak ingin memikirkan itu.

Wow, you are the best Alena!

Kamu bisa mengalahkan perempuan sekaliber mereka.

"Alena."

"Alena."

"Alena ...!"

"Ya ampun, biasa aja ngomongnya!" Aku mengusap daun telinga.

"Aku panggil dari tadi, kamu malah senyum-senyum sendiri."

Bodoh! Aku memalingkan wajah, yang sesungguhnya menyembunyikan rasa malu.

"Emang ada ap ... hei, ke mana ini?" Aku tersadar saat tahu mobil berjalan melewati belokan yang seharusnya kami lalui.

"Bukannya tadi aku udah bilang?"

"Apa?"

"Yang tadi, di kampus."

"Yang mana?" Aku masih belum mengerti.

"Aku mau ajak kamu ke suatu tempat."

"Bukannya bohong?"

"Semua omonganku tadi enggak ada bohongnya!" Nada suaranya terdengar sedikit kesal.

Berarti, yang tadi kamu bilang ... Sayang, juga ciuman itu ....

Aku mengusap wajahku dengan telapak tangan.

"Kenapa?" Rautnya tampak keheranan.

"Ah, enggak kok!" Aku alihkan tangan menggaruk leher, kembali membuang muka.

Rasanya ....

Mendadak, melumer hate adek, Bang!

Demi menghilangkan kegugupan, aku lebih memilih bermain dengan hewan kesayangan. Alien yang hidup di ponsel, yang sudah aku pelihara selama setahun. Awet, dan mudah untuk mengurusnya.

Karena asyiknya, hingga tak terasa mobil berhenti. Tersadar setelah mendengar Zay menutup pintu mobil.

Aku layangkan pandangan. "Hah, SMA 5?"

"Turun." Zay sudah membuka pintu untukku.

"Mau ngapain ke sini?" Aku bertanya selepas turun.

"Ikut aja." Zay menggenggam tanganku.

Antara ingin terlepas, dan berlanjut.

Opsi kedua aku pilih. Lebih baik diam dan menuruti ajakannya. Kami berjalan memutar, masuk dari bagian belakang sekolah. Suasana kegiatan sekolah memang masih berlanjut.

"Apa ini?" Mataku terbelalak saat kami berhenti di sebuah ruang persegi. Kosong, hanya ada cermin di salah satu sisinya.

"Di sekolah ini ada eskul dance." Zay melepas tangannya, lalu berjalan menjauh dariku. "Alena, maaf sebelumnya. Aku ... udah lancang, nanya-nanya tentang kamu sama Alfa."

Sontak aku berjalan cepat menghampirinya, lalu menarik tangannya yang hendak menyelusup ke dalam saku celana. "Nanya apaan?"

"Slow, Alena. Slow! Bisa enggak, sih, jadi perempuan itu lembut dikit?" Zay mengangkat kedua tangan sampai dada.

"Mau ngapain kamu nanyain aku sama Kak Alfa?" Bersikukuh aku bertanya dengan suara lantang, bahkan kepalaku mendongkak menatap wajahnya.

Zay menumpukan kedua lengannya di atas bahuku. "Aku tau, ternyata kamu emang enggak pernah mau kuliah jurusan hukum. Karena kamu, selalu bercita-cita menjadi seorang dancer. Iya, 'kan?"

Aku merunduk, berusaha mencerna ucapannya. Kenapa dia harus menanyakan itu pada kakakku?

"Alena, jika ujian kali ini kamu berhasil dengan nilai baik. Aku janji, aku turuti permintaan kamu yang tak pernah Papa Angga kabulkan." Suaranya terdengar begitu lembut.

Aku angkat perlahan wajahku kembali, menatap lurus matanya.

"Kamu, ingin punya sanggar tari, 'kan?"

Hah, apa-apaan ini?

Aku lepas kedua lengannya cepat, mengangkat telunjuk ke arah wajahnya. "Kamu boleh mengatur, membentak juga memarahiku. Tapi untuk soal ini, aku mohon jangan ikut campur," desisku.

"Kenapa?"

"Bukan urusanmu!"

"Alena ...."

"Pulang!"

Zay mengusap wajahnya dengan desah napas berat, "Ya," sahutnya.

Akhirnya sepanjang perjalanan pulang, aku memasang wajah muram. Aku sadar Zay terus melirik ke arahku, tapi tak kuindahkan karena rasa kesal dan emosi masih bercampur di balik dada.

*****

--bersambung--