Aku mengerjapkan mata lebih dalam. Suara dan silau yang menerpa wajah, walaupun masih terpejam tetap saja terasa.
Aku mengucek mata. "Mas," sapaku, melihat wajahnya yang sudah terlihat segar. Lalu bangkit perlahan. "Lagi ngapain?"
Dia yang tampaknya mengabaikan pertanyaanku, malah memandangi benda di tangannya sambil tersenyum-senyum sendiri. Aneh. Kuturunkan pandangan masih dengan mata yang mengantuk.
What, kamera?!
"Kamu foto aku barusan?" Mataku langsung terbuka lebar.
Dia mengangguk.
"Waktu tidur tadi?"
Kembali memberi anggukan, kali ini disertai senyum dengan mata yang merapat.
"Apa?!" Aku berteriak, lalu melompat bangun. "Sini!"
"Enggak!"
"Sini!"
"Enggak!"
"Sini!" Aku berdiri dengan mengentakkan kaki berkali-kali. Kalah.
Zay sudah memasukkan kameranya ke dalam lemari, bahkan menguncinya.
"Sini, kalau berani!" Dia memegang anak kunci dengan dua jari.
"Ih, sebel!" Aku berbalik, lalu kembali duduk di atas kasur. Memeluk bantal.
"You always look beautiful, honey. Even since I first saw you sleeping soundly on this bed," bisiknya di samping telinga.
"Bohong!" ketusku.
Zay duduk di samping, lalu meraih kedua tanganku. "Kamu tau, setiap malam aku selalu memandangimu, di sana," tunjuknya pada sofa yang terletak di sudut kamar.
"Tiap malam?" cibirku.
Zay meringis.
"Terus perkataan kamu waktu itu, di malam pernikahan kita?"
Zay tersenyum, menggenggam kedua tanganku. "Semua hal di dunia ini butuh proses, istriku. Begitu pun soal cinta. Aku hanya takut kamu ragu." Lalu menepuk pipiku. "Ambil wudu, salat dulu!"
Sedang tubuhku, sulit beranjak. Terasa berat dan kaku.
Kenapa rasanya ... sebahagia ini?
***
Benda itu terjatuh, saat membereskan baju-baju yang sudah aku setrika. Sebuah kotak kecil berwarna merah. Seperti kotak perhiasan. Kuambil dan menelisik setiap bagiannya. Jangan-jangan?
"Alena."
"Eh, Mas." Kusembunyikan segera di belakang punggung.
"Apa itu?" Zay menutup pintu dengan tatap yang tak lepas ke arahku.
"Oh, ini ... ini ...." Aku kebingungan harus menjawab apa.
Mungkin ini hadiah Zay untukku, tapi belum sempat dia berikan. Bisa saja dia ingin menjadikannya kejutan. Iya, 'kan?
Lalu jika hadiahnya sudah kutemukan lebih dulu, itu artinya aku sudah menghancurkan rencananya.
"Alena!"
Hah, dia mendekat. Aku mundur, merapatkan punggung ke lemari. Dia masih menatapku.
"Apa itu?!" Kali ini suaranya terdengar lebih tegas. Seperti sedang berada di kampus saja.
Akhirnya, aku ketakutan. Aku merunduk, mengulurkan benda di tangan. "Maaf ...."
"Di mana kamu temukan ini?"
"Aku beresin baju kamu, terus enggak tau kenapa malah jatuh."
Zay menghela napas. "Tidak apa."
Aku mengangkat kepala. Zay menatap benda di tangannya.
"Apa itu?" Kuberanikan bertanya.
"Oh, ini ...." Kali ini dia yang tampak gugup.
"Apa itu untukku?" Aku mendekat. Mendongkak, menatap matanya.
"Maaf, Alena. Tapi ini--"
"Sini, biar kubuka," pintaku.
"Tunggu." Zay malah menariknya.
Aku mendengkus. "Ya sudah, kalau itu bukan untukku." Kuberi raut sedih, lalu menggerakkan kaki untuk melangkah.
"Alena."
Aku berbalik.
Zay tersenyum, memberi isyarat agar aku mendekat. Setelah aku berada di depannya, dia membuka kotak itu. Sebuah kalung, berwarna silver dengan gantungan berbentuk huruf.
Aku meraihnya, menatap lekat benda itu. "L?"
Zay tersenyum gugup.
"L is for Lena, that's right?"
Kali ini dia malah mengembuskan napas. Memasukkan kotak di tangannya ke dalam tas.
"Kamu tau, hanya orang terdekat yang memanggilku Lena?"
Zay kembali tersenyum. Lalu berjalan menuju meja, menyimpan tasnya di sana.
"Oke, kamu jadi orang yang paling dekat denganku sekarang." Kuhampiri dia segera. Merasa berdosa karena sudah membuatnya kecewa.
Zay membalas senyum. "Tapi ini hanya kalung biasa," ujarnya pelan.
"Tidak apa, bukan masalah. Ini bahkan melebihi diamond bagiku."
Zay mengambilnya. "Mau kupakaikan?"
Aku mengangguk senang. Berbalik memunggunginya lalu mengangkat rambut ke atas.
"Cantik?" Aku kembali menghadapnya.
Zay mengangguk. "Cantik."
"Thanks a lot." Kukecup pipinya. "Aku mau beres-beres lagi, ya!"
"Sebentar." Zay menahan pinggangku.
"Ya?"
"Boleh aku memelukmu, A ... Lena."
Aku tersenyum lebar. "Peluk aku, sepuas yang kamu mau!" Kurentangkan tangan, lalu memeluk erat tubuhnya.
"Alena, jangan pernah berpikir untuk meninggalkan aku," bisiknya.
"Kenapa aku harus meninggalkanmu? Di luar sana banyak perempuan yang mengejarmu, 'kan? Aku tidak mau memberi peluang untuk mereka."
Zay melepas pelukannya. "Lalu kenapa kamu tidak pernah mengejarku dulu?"
"Hah, buat apa? Tanpa kuharapkan kamu selalu muncul di hadapanku."
Zay melebarkan mata. "Dasar mahasiswi ngeyel."
"Dasar dosen tengil!"
Akhirnya hanya ada tawa di antara kami.
***
Menikmati Sabtu malam di kota Bandung. Berjalan-jalan di taman, membeli jajanan, bercengkerama, bercanda dan tertawa sambil bergandengan tangan. Benar-benar kenikmatan yang tak akan mungkin aku dustakan.
"Sini duduk!" Zay menarik lenganku ke sebuah kursi kosong.
Cukup ramai karena waktu masih menunjukkan angka delapan.
"Dek, sini!" Tiba-tiba Zay melambaikan tangan pada seorang pengamen laki-laki. Masih muda, sepertinya berusia belasan.
"Permisi, Kang, Teh. Mau request lagu?" tanyanya diiringi senyum ramah.
"Coba nyanyiin lagunya Armada, Perempuan Paling Berharga." Zay memberi instruksi.
"Oh, gampang itu. Sebentar," ujarnya. Lalu memetik senar gitar mengambil nada.
"For you," bisik Zay di samping telinga.
"Enggak kamu aja yang nyanyi, gitu?" selorohku.
"Lebih baik aku berdiri di kelas menerangkan Bab Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Tata Negara. Daripada aku--"
Aku tertawa melihat ekspresinya.
"Malah ketawa?"
"Aku pikir kamu kamu tuh gentle dalam segala hal," gurauku sambil memegang perut.
"Menerangkan materi sama bernyanyi itu beda, Sayang!" tegasnya.
Lagi aku tergelak, bahkan air mata meleleh dari kedua ujung mata. Aku mengusapnya saat pengamen itu mulai menyanyikan lagu.
"Kan kuutarakan kepadamu
Semua yang ada di hatiku
Aku mencintai kamu
Dengarkan janjiku
Kan kusayangi kau sampai akhir dunia
Dan kujadikan kamu wanita
Paling bahagia di seluruh dunia
Karena kamulah satu-satunya
Jadi terimalah oh cintaku
Jangan kau patahkan hatiku
Aku mencintai kamu
Dengarkan janjiku
Kan kusayangi kau sampai akhir dunia
Dan kujadikan kamu wanita
Paling bahagia di seluruh dunia
Karena kamulah satu-satunya
Kan kusayangi kau sampai akhir dunia
Dan kujadikan kamu wanita
Paling bahagia di seluruh dunia
Karena kamulah satu-satunya."
Entah kenapa, mendadak bintang di langit sana seperti berjatuhan di hadapanku. Aku terpesona, aku terdiam. Merasakan kerlap-kerlip cinta di hatiku.
"Waw, bagus!" Zay memberikan selembar uang dua puluh ribu.
"Wah, terima kasih, Kang. Permisi!" seru pengamen itu, lalu pergi setelah Zay memberi sebuah anggukan kepala.
Aku menyandarkan kepala di bahu tegapnya. Tak ayal seperti muda-mudi yang sedang asyik berpacaran di seberang sana. Ternyata cukup menyenangkan, berpacaran setelah berbulan-bulan menikah.
"Alena ...."
"Hmm ...."
"Suka?"
"Apanya?"
"Malam ini."
"Mmm, aku suka."
"Bagus."
Aku terkekeh geli, menyadari sosok yang berbeda jauh dari biasanya. Ternyata di balik sifat galaknya, masih tersimpan sisi lembut dan romantis.
"Ke sana, yuk! Rame tuh," tunjuknya pada kerumunan orang-orang.
Aku mengangguk, lalu mengikuti langkah kakinya. Saat tinggal beberapa langkah dan suasana semakin jelas terlihat, hatiku merasa tidak enak. Suara musik berdengung kencang. Lagu hip hop. Entah kenapa, dadaku menjadi sedikit sesak.
"Break dance." Zay memberitahukan, masih dengan langkah membawaku ke sana.
Aku berhenti.
Zay menarikku.
"Pulang," pintaku.
"Kenapa? Kamu bilang mau malam mingguan sepuasnya." Zay terheran.
Aku menggeleng.
"Kita cuma nonton doang, Sayang. Aku enggak bakal minta kamu nari," kelakarnya.
Leluconnya itu membuatku semakin kesal. "Aku bilang pulang!"
Zay mengernyitkan keningnya. "Yakin?"
"Pulang atau aku pulang sendiri?"
Zay mengembuskan napas. "Oke!"
Sepanjang jalan, pikiranku berubah kalut. Semua kebahagiaan yang Zay berikan beberapa menit lalu, seakan terbang, berganti dengan kelebatan bayang-bayang itu. Potongan demi potongan kejadian, kilasan masa lalu terus berganti, memenuhi ruang yang tersisa dalam otak.
Memori itu muncul, mencuat. Lalu menampakkan setiap detailnya. Kepalaku semakin panas, melihat reka adegan yang pernah aku lalui.
Kacau. Aku kacau.
Kepalaku mendadak pening dan berat. Hingga menyentuh satu titik yang mengakibatkan rasa sakit, seperti ditusuk ribuan jarum secara berulang.
Aku memegang kepalaku, mencengkeram gumpalan rambut.
"Alena, are you OK?" Zay menyentuh pundakku.
Aku tepis tangannya kasar.
"Alena!"
Inginnya menjerit, melampiaskan rasa ini. Namun, baru saja bibir terbuka, seluruh saraf di tubuhku lemah.
.
"Alena, kamu sudah bangun, Sayang?"
"Mama." Aku mengerjap beberapa kali. "Alena ... di mana?" tanyaku bingung.
Wajah lembut itu tersenyum, lalu membelai pipiku. "Rumah sakit. Zay bilang tadi kalian jalan-jalan, terus kamu pingsan waktu pulang. Makanya dibawa ke sini," terang Mama Hani.
Aku tercenung beberapa saat. Mengingat apa yang terjadi padaku?
"Alena!" Suara histeris dari pintu. Rupanya Mama dan Papa.
Mama berlari, lalu berhambur memeluk. "Lena, Sayang. Kamu baik-baik aja, 'kan?"
"Aku baik, Ma." Kutatap wajahnya. "Ma, aku mau pulang. Aku enggak mau di sini," pintaku pada Mama.
"Jangan, istirahat dulu di sini," bujuk Mama Hani.
"Iya, keadaan kamu masih lemah, Alena." Papa Arsyad ikut memberi anjuran.
"Ma ...," rengekku kembali. Memelas pada orang tua kandungku.
Mama menatap Papa. Sebuah anggukan disertai kedipan mata Papa berikan.
"Mau ke mana?" Zay yang baru masuk ruangan, berjalan cepat saat melihatku sudah berdiri di samping ranjang.
"Alena mau pulang," jawab Mama Hani.
"Kenapa? Dokter belum kasih izin kamu pulang, 'kan?" protes Zay.
"Zay, nanti Papa jelasin." Papa menepuk pundak Zay. Memberi sebuah tatap penuh arti.
***
Lewat tengah malam, Mama dan Papa baru pulang. Sementara aku memilih beristirahat di kamar, menikmati kesakitan luar biasa yang menghantam.
Tidak. Bukan di ragaku, tapi di sini, di dalam jiwa.
Entah apa yang Mama dan Papa bicarakan dengan suami dan mertuaku, aku pasrah.
Pintu kamar terbuka lalu tertutup kembali, tampak Zay melangkah lesu. Dia memberi seulas senyum saat melihatku masih duduk bersandar.
"Masih pusing?" Zay duduk di sampingku, lalu membelai lembut kening dan pipi.
Aku menggeleng lemah.
"Mau langsung istirahat, atau aku buatin sesuatu?" tawarnya.
"Enggak usah," lirihku.
"Ya udah, bobo aja, ya! Lusa nanti aku izinin kamu absen kalau masih sakit." Lalu sebuah kecupan mendarat di kepala. Dia pun beranjak.
"Mas, Papa sama Mama ngomongin apa?" tanyaku dengan suara agak bergetar. Ketakutan semakin menjadi.
Zay duduk kembali. "Katanya dari kecil kamu emang enggak suka rumah sakit, makanya mau pulang."
"Itu aja?"
Zay mengangguk lalu berdiri lagi.
"Mereka bohong lagi, Mas ...."
Zay berbalik, dengan kedua alis bertaut. "Mereka orang tua kamu, masa bohong?"
Aku memalingkan wajah, bersembunyi dari tatapan mata penuh tanda tanya itu. Bibirku sudah tak sanggup lagi berkata, yang ada hanya suara tangisan mengisi kesunyian malam.
Terasa sebuah pelukan, lalu dia menarik kepalaku agar tenggelam dalam dadanya.
"Maaf, aku masih belum berani menceritakan masa laluku," ucapku dengan nada bergetar.
Pelukannya malah semakin erat. "Kita semua memiliki masa lalu. Aku, kamu, semua orang. Tapi kita tak harus terus membawa bayangan itu di setiap langkah. Kita hidup untuk hari esok, lusa, dan seterusnya. Kita hidup untuk masa depan, Alena." Hela napas berat terasa mengentak pelan kepalaku.
"Maaf ... mungkin Mama sama Papa terus berusaha menutupi masa laluku. Tapi kamu tau, justru ini semakin membuatku tersiksa dan ... takut."
*****
--bersambung--