Aku memilih dress berwarna merah marun, dengan potongan kerah sabrina dan renda yang menghiasi tepian bawahnya. Ada tali di bagian pinggang juga. Bonusnya, sangat pas di tubuh ketika aku mencobanya.
"Bagus enggak, Ji?" tunjukku pada Jihan yang juga sedang memilih baju.
"Oke!" Dia menautkan jempol dan telunjuknya.
Aku tersenyum penuh semangat. Masuk kembali ke dalam kamar ganti dan menatap pantulan diri di depan cermin. Sambil membayangkan, pasti suamiku pangling saat melihatku memakai dress ini. Sehari-sehari aku hanya memakai t-shirt, kemeja, kadang blouse sederhana. Di Surabaya nanti, aku ingin dia memandangku lebih dari biasa.
Setelah acara belanja selesai, aku dan Jihan menuju food court untuk makan siang. Walau hanya mencari sepotong baju, ternyata kami sudah menghabiskan waktu selama hampir tiga jam.
Aku duduk, menyimpan tas berisi buku dan paper bag di kursi sebelah. Ketika menoleh, Jihan sedang menatapku intens.
"Kenapa?" tanyaku sambil membenarkan posisi duduk.
"Perasaan dari tadi lo senyum-senyum sendiri, Al?" Jihan masih menunjukkan wajah penuh tanda tanya. "Kesambet, ya?" lanjutnya.
Aku hanya tersenyum.
"Hmm, semenjak jadi the real wife lo makin aneh!" rutuknya. Kemudian duduk dan menyimpan tas di atas meja.
"Dih, suka-suka! Lo ngomong gitu, soalnya emang belum ngerasain. Udah kelamaan jomlo, sih!" cibirku.
"Mending jomlo tapi berjaya. Daripada ditelponin, dichat sejam sekali--"
"Lo nyindir gue, hah?"
Jihan meringis. "Sorry-sorry. Maafin gue deh, Nyonya Zayid. Mending kita pesen makanan aja, yuk! Laper," kilahnya.
Aku mendelik, tak urung memanggil pelayan karena sudah merasa lapar juga.
.
Aku merogoh ponsel dalam tas. Pesan dari Pak Suami ternyata.
"Udah beres belum shopping-nya, istriku sayang?" tulisnya.
Aku terkekeh geli selama beberapa detik. Kuhentikan karena melihat Jihan yang sudah menyipitkan mata ke arahku. Tidak enak juga jadinya mau tertawa bebas pun.
"Udah, Sayang. Lagi makan siang dulu," balasku.
"Mau dijemput? Aku baru beres ngajar."
"Enggak usah, Jihan bawa mobil. Biar dia anterin aku."
"Oh, ya udah. Ketemu di rumah aja, ya. Hati-hati."
"Ayayaya, Kapten!"
Kusimpan ponsel di atas meja, ternyata bergetar lagi. Kuurungkan sendok di tangan, menyimpan kembali di piring. Membuka layar ponsel, akhirnya malah tersenyum sendiri. Bagaimana tidak? Zay mengirim emoticon wajah mengecup tanda love.
Ah, pipiku terasa panas!
"Al, mau diabisin enggak spagetti-nya? Kalau enggak biar gue aja yang makan, kesian dia kalau cuma dianggurin." Jihan berkata dengan nada kesal. Sepertinya dia merasa jengkel melihat tingkahku.
Aku melotot seketika. "Gue makan! Noh, lihat, noh!" Aku pun menggulung mie dengan garpu, lalu memasukkannya hingga mulutku terasa penuh.
Sialnya, Jihan malah bergidik. Dasar!
***
"Thanks, buat tumpangannya!" Aku melepas sabuk pengaman.
"Iya. Have fun, ya, di Surabaya entar. Jangan lupa, oleh-olehnya!"
"Dodol, ya?" candaku.
"Bukan. Tauco, Non!" balas Jihan.
"Hahaha. Ya udah, hati-hati!" Aku menutup pintu mobil.
"Bye!" Jihan melambaikan tangan.
Setelah mobil Jihan menghilang dari pandangan, aku pun masuk ke dalam rumah.
"Alena, baru pulang?" Papa Arsyad yang sedang duduk santai di ruang tengah menyapa.
"Eh, iya, Pa. Assalamualaikum." Kuhampiri ayah mertua, lalu mencium tangannya.
"Waalaikumsalam. Abis belanja, nih?"
"Iya, Pa!" Aku tersenyum malu.
"Kata Mama mau ke Surabaya, ya?"
Kuberi anggukan pasti. "Siang ini berangkat."
"Zay setuju buat datang ke acara pernikahan temannya?" Papa Arsyad bertanya seakan tidak percaya.
Aku mengangguk kembali. "Mmm, iya. Zay mau datang katanya."
"Oh, ya sudah. Hati-hati di sana," ucap Papa Arsyad.
Entah kenapa, rasanya seperti ada makna lain dalam kata 'hati-hati'nya. Namun, kutepis segera perasaan itu.
"Alena naik ya, Pa?" pamitku.
Papa mengangguk dengan senyum tipisnya.
Aneh. Dulu saat undangan pernikahan itu datang, Mama Hani sempat mengira Zay tidak akan datang. Lalu sekarang, Papa Arsyad pun seakan kurang percaya jika Zay positif pergi ke Surabaya.
Apa aku harus bertanya pada suamiku? Mungkin ada sesuatu yang dikhawatirkan orang tuanya.
Hah, konyol! Lelaki dewasa seperti dia, pasti sudah bisa menangani semua masalahnya sendiri.
Sesampainya di kamar, aku langsung mengambil koper. Memilih beberapa baju, menyiapkan segala keperluan untuk kepergian kami.
"Hai, Sayang!" sapanya saat masuk kamar.
"Hai, Mas!" balasku dengan hanya melirik sekilas.
"Semangat banget yang mau traveling?" Zay duduk di tepian ranjang, memerhatikanku yang masih asyik menata isi koper.
Aku tersenyum sebentar. "Anggap aja ini bulan madu kita. Iya, 'kan? Makanya aku maksa kamu buat bawa aku ke Surabaya." Aku berdiri tegak, melingkarkan kedua tangan di lehernya. "Hanya ada aku dan kamu. Kita berdua," bisikku.
Zay meraih tangan kananku. "Akan aku kabulkan permintaanmu, Permaisuri." Lalu menggenggamnya erat, dan menciumnya. "Kalau gitu aku mandi dulu, habis itu kita berangkat," lanjutnya.
Aku mengangguk, melepas rangkulan tanganku. Lalu teringat sesuatu. "Mas, tadi aku beli baju. Aku mau minta pendapat kamu, kira-kira cocok apa--"
"Whatever you wear, you are always beautiful." Zay yang sedang melangkah menuju kamar mandi, menyempatkan memujiku.
Tanganku yang hendak meraih paper bag terhenti. Berganti menjadi menutup mata. Ah, malu jadinya.
***
Pukul empat sore waktu setempat, kami menginjakkan kaki di Bandar Udara International Juanda. Langit masih nampak cerah, ditemani hawa yang mulai terasa sejuk.
"Akhirnya, keluar dari Bandung!" seruku sambil mengangkat lengan.
"Emang belum pernah keluar kota?" Zay bertanya seperti melihat sesuatu yang aneh pada diriku.
Aku menoleh, menampakkan deretan gigi. "Dulu pernah ikut kompetisi ke beberapa kota, bahkan sampai Medan. Tapi ... naik kapal, bukan pesawat."
Dia berdecak beberapa kali. "Kasian," ejeknya sambil mengacak puncak kepalaku. Lalu tertawa ketika melihatku mengembungkan pipi. "Ayo, ke musola dulu! Kita belum salat Asar," ajaknya.
"Makan dulu dong, laper!" pintaku dengan kedua tangan membenahi rambut yang sedikit acak-acakan karena ulahnya.
"Tadi di pesawat kamu ngemil, loh?"
"Itu cuma cemilan. Cemilan cepuluh cebelas. Yang utama dan nomor satu tetep aja makan," dalihku. Mengangkat telunjuk ke atas.
Zay menggelengkan kepala. "Kurus-kurus gini nafsu makannya gede, ya?" ucapnya sambil mencubit pipiku.
Kutepis segera. "Ih, apa sih? Aku enggak kurus, ya! Ini namanya langsing, i-de-al!" sungutku.
Kali ini dia tertawa. Lalu menggerakkan kepala sebagai isyarat, kembali menggandeng tanganku. Kami masuk ke sebuah kafe di kawasan bandara.
"Kamu yang pilihin. Aku ke toilet bentar, ya!" ucapku sambil menyimpan tas, lalu pergi setelah melihat anggukannya.
Kulayangkan pandangan, melihat kesibukan orang-orang. Sambil mengingat kembali cerita Zay di pesawat tadi. Dulu keluarganya pindah ke Surabaya saat dia berumur lima tahun. Ketika masih sama-sama di Bandung, Papa Angga dan Papa Ardyad memang cukup dekat. Sebagai sahabat semasa kuliah, mereka masih sering berkomunikasi layaknya seorang saudara, meskipun Papa Arsyad sudah berada di Surabaya. Namun, semua terputus saat Papa dan Mama juga pindah ke Jakarta. Terlebih setelah kelahiranku, Mama dan Papa menjadi lebih sibuk.
Keluarga Sabdika kembali ke Bandung ketika Zay masih menjalani study S2-nya di Amerika Serikat, Suffolk University Boston. Hebat, 'kan, dia? Tentu saja. Karena kepintarannya itu, menjadikannya berpeluang mendapat beasiswa.
Sedang aku, justru malah terpuruk di saat baru menginjak kelas tiga SMA. Zay benar, aku pun cukup pintar semasa SMA dulu. Kendati disibukkan dengan latihan juga pentas menari, nilaiku selalu berada di atas rata-rata. Sayang, semua hancur seketika setelah kejadian itu. Minatku pada dunia, melebur sudah.
Dampaknya setelah tinggal di Bandung aku enggan keluar rumah. Akhirnya Papa dan Mama kesulitan mengaturku. Beruntung mereka memilihkan guru pribadi yang baik hati dan sabar. Aku bisa lulus SMA, dan masuk universitas yang cukup bergengsi.
Setelah memastikan wajahku cerah bersinar dan tidak kusam akibat perjalanan selama hampir satu jam setengah tadi, aku keluar dari toilet.
Saat sedang melangkah menuju meja, Zay terlihat sedang mengobrol dengan seorang perempuan. Dari tampilannya seperti wanita karier kantoran. Memakai rok sepan hitam dan blazer senada, dipadu kemeja putih gading. Sungguh tampak berkelas.
Aku berdehem ketika sampai di samping meja, baru setelah itu Zay menyadari kehadiranku. Perempuan itu berpaling, menghentikan gerakan bibirnya yang menurutku sedang menginterogasi Zay. Anehnya, suamiku tampak kewalahan melayani serangan perempuan di hadapannya.
Detik kemudian, perempuan itu menatapku dengan ekspresi kaget, menurutku.
"Alena, namanya Alena." Zay memberi jawaban atas raut tanda tanyanya. Lalu berjalan selangkah, berdiri di sampingku. "Kenalkan, ini ... istriku." Zay menekan kepemilikannya.
Wajahnya bertambah shock. "Istri?"
"Ya, istriku. Kami sudah menikah tujuh bulan," imbuh Zay.
Matanya bertambah melotot. "Tujuh bulan?"
Aku yang merasa kurang mengerti atas gelagat mereka, hanya bisa memperhatikan. Perempuan itu tampak semakin tak percaya, lalu Zay yang seperti berusaha meyakinkan dengan tatapan dan anggukan kepala.
"Kenalkan, aku Alena," ucapku memecah kebekuan suasana. Sayang, uluran tanganku tidak dibalasnya.
"Wow, perfect Zay! Aku pikir selama ini kamu--"
Zay menggelengkan kepala, kemudian mengedipkan mata agak lama. Seperti sebuah isyarat meminta diam.
Perempuan itu mengangkat tangan ke udara, seraya berucap, "Oke. Aku pergi!" Dia berlalu meninggalkan kami.
Zay duduk, dengan tubuh yang terlihat begitu lemah tak berdaya. Aku pun ikut duduk di sampingnya.
"Mantan?" Aku coba menebak.
"Bukan."
"Siapa?"
"Teman kuliah."
"Tapi, ekspresinya tadi--" Aku berhenti saat melihat sorot mata Zay. Seolah tak ingin membahas itu lebih lanjut.
"OK, leave it. Enggak penting!" Aku menepiskan tangan.
.
Sesampainya di hotel kami beristirahat sejenak. Acara resepsi di mulai pukul tujuh malam, ada waktu untuk mengumpulkan kembali tenaga. Aku berdiri di balkon hotel, menatap pemandangan senja di Surabaya. Menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya kembali.
Berharap ... rasa yang terpendam dalam dada bisa terbuang. Ya, rasa itu. Rasa yang sudah beberapa waktu ini tidak aku rasakan. Debar-debar aneh dalam dada. Gemuruh yang membuat sesak tak tertahan. Membuat segumpal darah di dalamnya ... seperti tertusuk duri.
Kenapa bisa?
Apa ini cemburu? Aku cemburu karena melihat Zay bertemu dengan teman semasa kuliahnya. Tidak. Jika hanya cemburu semata, aku tak harus segelisah ini.
Aku meraba dada. Detaknya masih bertalu. Ah, kenapa rasanya seperti ini? Apa mungkin ini ketakutanku, saat aku menyadari Zay sedikit berubah. Ya, dia berubah. Semenjak kepergian kami dari bandara, dia terlalu banyak diam. Bisa aku pastikan, karena selama di perjalanan menuju hotel, tak ada sepatah kata pun yang dia tunjukan padaku. Hanya pada sopir taksi, itu pun seperlunya. Perjalanan yang kuharapkan akan terasa hangat dan penuh canda, kini berubah hambar.
Aku berbalik, menatapnya dari balik kaca jendela. Zay duduk di tepi ranjang membelakangiku, menahan dagu dengan kedua tangan yang dia tumpukan di atas lutut.
Hasrat di hati, ingin sekali kudekati dia. Bertanya tentang perasaannya, atau keresahannya. Jujur saja, tak bisa kupungkiri dalam otak ini ada banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan.
Namun, apa daya. Baru saja melihat sorot matanya, urung sudah niatku. Walau kepalaku ini kadang bekerja lambat, tapi aku sudah bisa membedakan kondisi Zay, hanya dari raut wajahnya.
Aku berbalik kembali, menikmati angin sore yang berembus pelan. Dalam hati terus menguatkan diri.
Terima saja Alena. Kalian menikah tanpa saling mengenal lebih dulu. Kamu tidak tahu, seperti apa dia sebelum bertemu denganmu?
Hmm, apa mungkin bukan hanya aku yang pernah tersiksa dengan problema dalam hidup?
Mungkin Zay pun sama. Bedanya, dia enggan berterus terang.
*****
--bersambung--