Aku memasuki ruang perpustakaan dengan langkah lesu. Memilih salah satu meja tak berpenghuni. Kuempaskan tubuh di atas kursi, lalu melepas tas dari pundak, menyimpannya di atas meja.
Hari ini ada buku yang harus dikembalikan. Kubuka tas, mencarinya. Alangkah terkejutnya ketika kudapati benda itu, ada selembar kertas tertempel di sampul depan.
SORRY
-Zay-
Sorry?
Apa maksudnya?
Aku berpikir selama beberapa detik.
Astaga, aku lupa. Bukankah ini hari ke tiga aku berangkat sendiri ke kampus?
Akhirnya kusandarkan punggung, menatap kertas itu. Ah, kenapa tiba-tiba merasa bersalah padanya?
Apa mungkin karena pagi ini aku kembali berangkat tanpa pamit, sampai harus sembunyi-sembunyi dari Mama Hani dan Papa Arsyad karena takut ditegur?
Alasannya? Tentu saja gara-gara kejutan Zay seminggu lalu itu. Hingga detik ini, aku masih belum mengeluarkan sepatah kata pun padanya. Jangankan berbicara, setiap dia bertanya aku pura-pura tidak mendengar. Enggan membalas tatapannya pun.
Nyaman? Tidak sama sekali. Kupikir ini akan jadi pembalasan terbaikku, nyatanya ....
Seminggu ini, aku malah tersiksa karena ulahku sendiri yang terus menjauhinya. Bahkan beberapa hari lalu ketika dia memaksa mengantar dan menjemputku, aku tak sanggup berkata atau pun berbuat apa-apa.
Mungkin itu alasannya, selama tiga hari ini dia tidak mencegah ketika melihatku berangkat tanpa pamit pada orangtuanya.
Aneh? Memang. Parahnya aku tak pernah tahu, apa alasannya sampai aku seperti ini?
Lagi pula, kenapa harus marah. Bukankah niatnya itu baik?
Baik?
Tidak-tidak, ini tidak baik.
Aku benar-benar tidak suka dengan usahanya untuk mencari tahu tentang masa laluku. Aku kesal dengan sikapnya. Karena ulahnya itu, membuat luka yang sudah aku obati hingga sembuh, kini harus kembali berdarah.
***
Aku keluar dari kelas. Berjalan pelan di lorong kampus, dengan kepala tertunduk. Malas yang menggelayut. Kalau bukan karena ujian, lebih baik aku bolos.
"Eheum!"
Dari ekor mata, bisa kulihat sepatu siapa itu. Wangi tubuhnya sudah lebih dulu menyerobok hidung.
"Gimana ujiannya?" Dia berjalan mensejajari langkahku.
Awalnya aku tak ingin menjawab, tapi mengingat note-nya tadi pagi, kurasa dia juga merasa bersalah. "Bukankah Anda sudah tau bagaimana kapasitas otak saya, Pak Dosen?" sahutku akhirnya.
Zay terkekeh. "Jangan merendah, Alena. Aku tau kamu pintar. Saat SMA dulu bukankah kamu salah satu murid berprestasi di sekolah?"
"Itu dulu," elakku dengan nada terkesan ragu.
"Jika dulu kamu pintar, lalu kenapa sekarang harus berubah?"
"Aku tidak berubah, aku hanya ...."
"Hatimu yang belum sanggup menerima ini semua. Iya, 'kan?"
Derap kakiku berhenti, menatap punggungnya yang terus menjauh. Beberapa detik kemudian, dia pun berhenti. Perlahan tubuhnya berbalik, senyum tipis terukir di wajah lembut itu.
"Come on!" Kepalanya bergerak memberi isyarat.
"Ke mana?"
Namun, dia malah berjalan cepat menghampiri, lalu menggandeng lenganku. "Lupakan sejenak status kita sebagai mahasiswi dan dosen," ucapnya.
Kuikuti langkah kakinya, menatap sejenak wajah Zay dari samping.
Dia tersenyum dengan pandangan lurus ke depan.
Serius? Apa ini dia?!
Sebenarnya agak malu, bergandengan seperti ini di dalam area kampus. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang menggoda kami. Zay menanggapinya dengan tawa.
Ketika kami melewati mahasiswi-mahasiswi yang tampak berbisik-bisik, sengaja kusandarkan saja kepala ke pundaknya. Bersikap manis, menebar senyum pada semua orang.
***
Mobil berhenti di sebuah jajaran ruko. Bukan ruko besar, hanya pertokoan kecil dan biasa. Bahkan tampak sepi. Mungkin karena letaknya yang jauh dari keramaian.
"Ayo, turun!" Zay sudah membuka pintu mobil untukku.
Masih banyak pertanyaan di benak, hanya saja aku malas ; malas untuk menolak, juga malas bertanya lagi. Membantah tak sanggup, berpendapat pun percuma. Hah, hidupku lemah sekali semenjak bersamanya.
"Masuk!" ajak Zay saat pintu sudah terbuka.
"Studio ... foto?" gumamku karena melihat berbagai peralatan yang ada di dalam ruang.
"Iya, studio foto. Milikku."
Aku mengernyitkan kening, pertanda masih belum mengerti.
"Aku sama sepertimu, Alena. Mempunyai mimpi. Tapi jalan hidup, mengharuskan aku berada di titik ini." Zay berdiri menatap tembok yang dipenuhi berbagai macam gambar. Mungkin hasil karyanya.
"Kamu ... fotografer?"
"Dulu, waktu kuliah. Ya, setidaknya dua tahun lalu aku masih sempat menekuni profesi ini, sebelum jadi dosen."
"Terus, kenapa malah jadi dosen?"
Dia berbalik, dengan senyum terkulum di bibir. Lalu mengangkat kedua bahunya. "I don't know!"
Aku tahu, sebenarnya dia menyimpan banyak cerita dari tiga kalimat itu. Namun, hanya dengan mengatakan tidak tahu, sudah jelas dia juga sedang tidak ingin membahasnya.
"Sini!" Dia melambaikan tangan.
Zay membawaku ke lantai dua, di mana terpajang banyak foto hasil editannya. Bagus, kurasa dia benar-benar menyukai dunianya ini.
"Dulu, waktu SMA aku suka fotoin benda di sekitar, seperti bunga, ayam, kucing, burung. Bahkan aku enggak bisa bepergian tanpa kamera. Lalu saat duduk di bangku kuliah, aku ikut bergabung dalam komunitas pecinta seni. Beberapa kali terlibat dalam pameran. Semua orang memuji hasil karyaku." Zay menatap selembar foto pegunungan. Indah, cahaya senja membuat fotonya itu semakin hidup.
Aku masih setia menatap, mendengarkan setiap perkataannya.
"Sayangnya, bagaimanapun juga aku kuliah di fakultas hukum, atas kemauanku sendiri. Well, kecintaanku pada dunia seni hanya akan menjadi hobi, sepertinya." Dia menyimpan kembali foto itu di atas meja.
"Lalu tempat ini?" Aku bertanya saat dia hendak mengambil foto bergambar rumah tua.
Zay mengurungkan tangannya, lalu berbalik menghadapku. "Kebetulan temanku jual murah. Aku beli, sepulang study S2. Sebelum sibuk menjadi dosen, beberapa kali aku dapat job. Salah satu temanku mempunyai Wedding Organizer, dia sering meminta bantuanku untuk pengambilan foto prewedd. Kadang di hari pernikahan juga, jika aku ada waktu senggang." Senyum tipisnya perlahan menjadi tawa.
"Papa ... tau?" tanyaku ragu.
"Tau, tapi Papa paham jika bakatku ini hanya sebatas hobi saja. Sejak kecil Papa sudah mengajarkanku tentang konsekuensi, begitu juga saat aku memilih jalur hukum sebagai duniaku. Lagi pula, sepertinya aku mulai menikmati profesi baruku, sebagai dosen. Ini lebih menantang, aku harus bisa menjaga citraku. Dosen galak, tegas, dan berkarisma," paparnya, diakhiri mata kanan yang mengedip.
Aku terperangah. Astaga, ini kedua kalinya aku curiga. Apa benar ini Pak Zay yang kukenal?
Jangan-jangan, dia sudah sering memotret para model cantik dan seksi? Sampai menjadikan kelakuannya tengil seperti sekarang ini.
"Tak jauh beda dengan kamu, Alena."
Apa maksudnya?
"Papa kamu, seorang pengacara tersohor. Alfa, seorang notaris. Janggal rasanya, jika seorang Alena harus menjadi ... dancer?"
Bayangan kabut menutupi pandangan. Seperih ini ketika dia membahas cita-citaku dulu?
Lebih perih lagi ketika tahu dia sudah mengetahui masa laluku ... sejauh itu. Ini membuatku, sedikit sakit. Seperti ada setitik luka dalam relung hati, dan kini dia sentuh, tanpa tahu bagaimana rasanya saat tempat itu terjamah.
Aku berpaling.
"Lihat aku, Alena."
Kembali kutatap dia, walau sedikit ragu.
"Alena, ambil sisi positifnya. Mungkin Papa Angga ingin kamu menjadi orang yang kuat, tegar, atau ... taat pada hukum. Bisa jadi, jika suatu hari nanti kamu menjadi pengacara hebat, kamu bisa menggunakan ilmumu untuk membantu banyak orang. Iya, 'kan?" Sebelah tangannya bertumpu di atas pundakku.
"Mungkin kamu kecewa, karena hobi yang sempat kamu jadikan cita-cita tidak bisa kamu raih. Tapi, tidak bisakah kamu menikmati hidupmu, sesuai alur yang kamu jalani?"
Sebuah sentuhan di pipi, mengusap setetes air yang membasahi.
"Jangan karena ambisimu, yang tidak bisa kamu raih ... kamu korbankan masa depanmu. Jadi dancer enggak, sarjana enggak lulus! Ckckckck." Kepalanya menggeleng beberapa kali.
Fiuh, dia kembali menjadi lelaki menyebalkan!
"Atau mungkin, kamu lebih memilih menjadi ... istriku?" Intonasinya agak rendah di akhir kalimat.
Deg. Rasa apa ini?
Mendadak hatiku berdebar, dengan rasa panas di kedua pipi.
"Jangan melotot seperti itu, mengerikan!" Kedua bola matanya terbuka lebar, diiringi sebuah tepukan di pipi.
Aku merunduk seketika. Mengatur detak jantung yang tak menentu. Hingga tak terasa lagi harum tubuhnya di hadapanku.
Saat aku mengangkat wajah, terlihat dia sedang memegang kamera. Entah kamera jenis apa, DSLR atau apa itu.
"Mau foto?" Dia mengangkat kameranya.
"Ihh, apaan? Enggak ah, wajah aku lagi jelek!" Aku menutup wajah, mengintip di balik jemari.
Dia hanya tertawa.
Itu malah membuatku terdiam, demi melihat pesona di wajahnya.
"Pulang, yuk!" Zay membenahi kembali kamera itu.
Aku mengangguk. Tak sanggup lagi rasanya jika harus berlama-lama berduaan di tempat sepi seperti ini. Apalagi melihat sikapnya itu. Membuatku grogi terus.
Sempat kulihat dia membuka laci meja, mengeluarkan amplop coklat dari dalam saku jaket dan menyimpannya ke dalam sana.
"Apaan?"
Dia hanya tersenyum tipis, lalu menggeleng samar.
Aku pun mengedikkan bahu, berjalan mendahuluinya keluar dari ruko.
"Kapan terakhir kali ke sini?" tanyaku saat dia mengunci pintu.
"Mm, dua hari sebelum menikah. Tapi aku suruh temen buat tengok dan bersih-bersih tiap minggu," ujarnya santai.
"Lama bener. Enggak kangen sama obsesi kamu ini?" selorohku.
Zay berdiri tegak di depanku. "Dulu ini memang impianku, tapi sekarang sudah berubah."
Kuberikan sebuah senyum miring, biasanya dari raut wajah seperti itu dia akan memberi candaan atau gurauan aneh.
"Kamu mau, menjadi impianku selanjutnya?" Dia menarik tangan kananku, lalu menyimpan anak kunci di telapak tangan yang dia buka sendiri. Kemudian menutupnya kembali, bahkan menggenggamnya kuat.
Aku menggigit bibir bagian bawah. Ah, nervous lagi.
Zay mencondongkan tubuhnya. "Alena, wajah kamu merah."
Bisikan itu terasa menggelitik tengkuk leher.
"Kamu terlihat lucu saat malu. Itu yang membuatku ketagihan menggodamu." Bibirnya menyeringai.
Oh, Tuhan. Andai aku sanggup, ingin aku memukul wajahnya. Memastikan ini hanya sebuah ilusi semata ataukah memang kenyataan?
Namun, terlalu kejam sepertinya jika harus kupukul. Iya, 'kan?
*****
--bersambung--