Sudah kubilang, dia itu seperti hantu. Gentayangan, mengawasiku dan selalu muncul secara tiba-tiba.
"Omegot!" Aku yang sedang mendengarkan musik terlonjak kaget karena merasakan tepukan di pundak. Saat berbalik, Pak Zay menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Pak Zay?" Aku melepas earphone segera.
"Sudah kuduga."
"Apanya?"
"Kelakuanmu. Duduk sendirian di taman, dan mendengarkan musik."
Aku memutar bola mata. Ya, habis di mana lagi? Di perpustakaan pasti gampang ketemunya.
"Alena, kenapa bolos di jam kuliah Bu Marina?"
Hah, dia tahu tujuanku ternyata!
Aku meringis, tersenyum memperlihatkan deretan gigi. "Saya kesiangan, Pak. Setengah jam. Bu Marina pasti tidak akan mengizinkan saya masuk," ucapku dengan nada sedih.
Pak Zay berdecak. "Alena!"
"Astaga, Bapak ini. Saya ada di depan Bapak, enggak usah teriak-teriak. Woles," ucapku selembut mungkin demi meredakan amarahnya.
Pak Zay mengembuskan napas, lalu menggelengkan kepala.
"Ini," ucapnya sambil menyerahkan sebuah amplop.
"Ini apa, Pak?"
"Undangan makan siang."
Aku membulatkan mata.
"Aku ingin mengundang orang tuamu, untuk makan siang. Tapi sebelumnya, aku akan mengajak mereka mengobrol bersamaku, di ruanganku. Tau 'kan itu di mana?"
"Apa?"
"Besok, jangan sampai telat," pungkasnya.
Aku memegang dada, menahan sesak yang mendera seiring kepergiannya.
***
"Surat panggilan orang tua?!" Mama terenyak kaget.
Aku mengangguk lemah.
"Seumur-umur, Mama belum pernah dapet surat eksklusif seperti ini, Lena!" Mama masih tampak tak percaya. "Seperti anak SMA saja," lanjutnya sambil menyimpan surat undangan ke atas meja.
Memangnya aku mau? Ini semua gara-gara Pak Rio, kenapa dia harus menyerahkan aku pada si dosen baru itu. Menyebalkan.
"Ya, mau gimana lagi, Ma. Dosen pembimbing akademik Alena yang baru itu jahat banget. Mama bayangin, Ma. Masa tiap Alena--"
"Sudah cukup, melihat kelakuan kamu selama kuliah, Mama sudah menyangka ini akan terjadi. Nanti malam Mama bicarakan sama Papa, semoga Papa punya waktu." Mama berlalu sambil memijit pelipisnya.
Hah, belum apa-apa Mama sudah sewot.
Aku menjatuhkan tubuh di atas sofa. Bagaimana ini?
Sudah dua tahun menjadi mahasiswi, setiap semester mengulang beberapa mata kuliah. Kenapa harus secepat ini orang tuaku dipanggil juga?
Apa kata dunia ...?!
Putri seorang Angga Bakti Raharja M.H, yang notabene adalah seorang pengacara ... hei, tunggu. Ini bagus. Pak Zay hanya dosen muda dan baru. Sedangkan Papa, seorang pengacara. Walaupun tidak terkenal dan masuk televisi, setidaknya Papa mempunyai nama yang cukup disegani.
Pak Zay pasti akan merasa malu karena sudah memperlakukanku seperti ini.
Akhirnya, aku pun memenuhi panggilan sang dosen menyebalkan, tentu saja bersama kedua orang tuaku. Walau sepanjang jalan aku harus menutup kedua telinga, karena mendengar ocehan Papa.
Biar saja, kutahan semua. Demi mempertemukan Papa dengan dosen durjana itu.
Setibanya di depan ruang Pak Zay, aku mengetuk pintu.
"Ya, masuk," sahutnya dari dalam.
"Ayo, Ma, Pa!" ajakku.
"Memalukan," gumam Papa saat memasuki ruangan.
Aku meringis menatap Mama yang masih menampakkan ekspresi kesal.
"Selamat siang ... Om Angga?" Pak Zay yang awalnya seperti akan menyambut kedatangan Mama dan Papa, malah terperangah.
"Ya, saya Angga, Papanya Alena. Dan ini--"
"Tante Ami?"
Aku terpaku melihat semua ini, dan ... sungguh di luar dugaan.
"Jadi kamu ini Zayid, anaknya Arsyad?" tanya Papa tak percaya.
"Iya, Om."
"Astaga, Tante pikir dosennya Alena itu udah bapak-bapak, gendut, botak. Ternyata kamu, Zay?"
Pak Zay tersenyum sambil mengangguk. Dia melirikku, aku berpaling.
Jadilah aku obat nyamuk, di antara reuni Mama dan Papa bersama putra sahabat mereka. Apa-apaan ini?
Sesekali aku menoleh, tampak Pak Zay mengobrol dengan akrabnya. Tanpa canggung atau segan, menceritakan orang tuanya yang juga merindukan orang tuaku.
Sesekali pula Pak Zay menoleh ke arahku, lalu memberi senyum. Membuatku harus berpaling ke sana ke mari.
"Jadi, maksud Zay mengundang Oom dan Tante ke sini, untuk membicarakan tentang ... Alena." Pak Zay berbicara dengan nada ragu.
"Oh, Alena. Tidak apa Zay, kami justru sangat berterima kasih jika kamu mau berusaha membantunya agar lebih baik." Papa menatap Pak Zay, lalu menatapku.
Ah, tidak. Jangan Papa!
***
Rencanaku gagal, menjatuhkan Pak Zay di mata orang tuaku. Nyatanya, sejak hari itu mereka malah sering menanyakan tentang sosok menyebalkan di seantero muka bumi ini, Zayid.
"Sejak kapan kamu kenal dia, Len?"
"Kenapa enggak bilang kalau dosen kamu itu dia?"
"Apa dia punya pacar?"
"Sesekali ajak dia ke sini, suruh ajak keluarganya."
Apa? Jangan!
Berkali aku menghindar, mencoba mencari seribu alasan.
Hingga tanpa diduga, waktu itu datang jua.
Matahari sore masih menampakkan cahaya sempurnanya saat aku baru saja turun dari angkutan umum, lalu menyusuri jalanan menuju rumah. Sampai di depan gerbang, aku terkejut luar biasa.
Kenapa ada mobil itu?!
Aku berlari menuju teras. "Mama! Papa!"
"Lihat, seperti itu kelakuannya. Masuk rumah bukannya mengucapkan salam, malah berteriak memanggil Mama dan Papa. Ckckck," ejek Kak Alfa yang berdiri di ambang pintu.
"Apaan, sih? Rese!" gerutuku.
"Ma, Pa, Om, Tante. Alfa pergi dulu, ya! Yuk, Zay! Assalamualaikum," ucapnya, lalu berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman.
Terdengar jawaban salam dari arah dalam, tapi kenapa banyak sekali suara yang menjawab salam Kak Alfa?
Tunggu, Kak Alfa berpamitan pada beberapa orang. Ma, Pa, Om, Tante dan ... Zay.
Apa?
Ragu aku melangkah, ingin memastikan secara pasti.
Saat berdiri di muka pintu, aku menutup mulut seketika.
Astaga, benar saja. Mataku dibuat melotot, saat melihat Mama dan Papa sedang asyik bercengkerama bersama Pak Zay dan dua orang sebaya mereka. Hah, pasti itu orang tua si dosen tengil. Tentu saja, siapa lagi? Tidak mungkin Pak Zayid yang terhormat membawa tetangganya.
"As-as-assalam-mualai-kum," sapaku ragu.
"Waalaikumsalam." Mereka pun menjawab serempak.
"Lena, sini!" Mama melambaikan tangan.
Aku tersenyum kecut, melangkah pelan menghampiri.
"Jadi ini Alena?" Perempuan di samping Pak Zay menatapku.
Aku mengangguk hormat, lalu mencium tangan mereka. Parahnya, Pak Zay ikut mengulurkan tangannya. Terpaksa aku jabat saja walau sedetik.
"Alena! Kok, gitu?" tegur Papa.
"Enggak apa, Om," ucap Pak Zay dengan ramahnya.
Dasar caper!
"Sini duduk dulu, Len!" pinta Mama.
"Alena cape, Ma. Mau--"
"Alena, duduk." Kali ini Papa yang meminta, dengan nada rendah, tapi tatapannya itu membuatku tak sanggup membantah.
Lagi-lagi aku terpaksa mendudukkan tubuh di samping Mama. Menjadi tim pendengar tentang nostalgia, kisah persahabatan juga cerita masa kecil anak mereka. Siapa lagi, Kak Alfa dan Pak Zay. Katanya dulu kakakku dan si dosen itu berteman baik, sangat dekat. Hingga merasa saling kehilangan saat keluarga Om Arsyad pindah ke Surabaya. Kak Alfa sampai sakit.
Tiba-tiba, terdengar celetukan Papa.
"Kamu tau enggak, Len? Zay ini cuma beda setahun sama Alfa. Malah dulu waktu Mama masih hamil, Papa sama ayahnya Zay sempat berencana jodohin anak pertama kita. Eh, ternyata yang lahir sama, cowok juga!"
Gelak tawa menggelegar. Semua tertawa, termasuk dia. Hanya aku yang diam.
"Enggak sangka, ya, Am. Candaan aku sebelum pergi ke Surabaya biar kamu punya anak gadis, ternyata terkabul. Putri kamu bener-bener cantik," puji mamanya Pak Zay.
Aku hanya tersenyum kecil, menahan gugup dan malu. Saat kuarahkan kedua mata pada satu titik, ternyata dia juga sedang menatapku.
Dia tersenyum. Anehnya, kali ini malah membuatku merunduk malu. Ah, kenapa rasanya senyum itu sungguh ... manis?
Lalu, dadaku terasa berdebar. Lain dari biasanya.
Huaa, apa ini?
Jangan sampai, Ya Tuhan!
*****
--bersambung--